Share

02

Beberapa hari telah berlalu semenjak kedatangan Max ke farmasinya. Hal yang tidak terduga adalah ketika sepucuk surat dengan amplop berwarna putih gading yang disegel dengan segel lilin berlambangkan simbol kerajaan dikirimkan kepada Iris. Iris telah disetujui oleh kerajaan untuk menggantikan ayahnya di posisi farmasi kerajaan dengan syarat masa percobaan selama satu tahun. Tidak hanya itu, satu hari setelah kedatangan surat tersebut, ada orang kerajaan lagi yang datang, mengukur badan Iris untuk membuatkan seragam. 

Hal itu hanya berlangsung selama dua hari. Iris akan menjadi gila kalau lebih dari dua hari.

Di hari pertamanya untuk memulai kehidupan barunya, Iris terbangun dengan suara gaduh di dapur. Karena posisi kamarnya berada tepat di atas dapur, suaranya terdengar lebih keras. Iris hanya dapat mendesah keras.

“Iris! Sampai kapan kau ingin tidur?” Myra berseru memanggilnya sambil menaiki tangga menuju kamarnya.

Cahaya fajar menembus masuk melalui gorden yang tidak sepenuhnya menutupi jendela, memberikan sedikit penerangan di dalam seluruh kamar. Iris berguling membalik badan hingga menghadap dinding dan mengerang di bawah bantal. “...aku sudah bangun...” gumamnya.

“Kau tidak terdengar seperti orang yang sudah bangun,” kata Myra dari balik pintu dan membuka pintu kamar Iris. “Iris?” Wanita paruh baya tersebut mengintip dari balik pintu.

“Ya, ya... aku bangun...” Suara Iris terdengar serak dan belum sepenuhnya sadar.

Rambutnya kusut, kausnya kusut, seprai sudah tidak rapi dan lepas dari posisinya, selimut membelit di kakinya dan sebagian sudah berada di lantai. Iris bukan orang yang memiliki posisi tidur yang tenang, ia cenderung banyak bergerak dalam tidurnya.

Terbangun dari tidurnya, Iris duduk di kasur dan masih belum sepenuhnya sadar. Kamar ini redup, jendela yang hanya satu tertutup gorden, tidak membiarkan cahaya matahari sepenuhnya masuk ke dalam, menciptakan corak-corak bayangan pada dinding.

Kamar yang berbentuk persegi panjang. Pada sisi kiri sejajar dengan dinding, tempat tidur dengan bantal, seprai dan selimut yang tertata dengan sempurna, pada sisi lainnya buku-buku yang berjajar di rak disusun dengan sangat rapi, buku-buku lainnya yang ditumpuk di atas meja tulis tepat di bawah rak tersebut beserta sebuah lampu meja, disebelahnya ada sebuah lemari pakaian terbuat dari kayu. Di antara tempat tidur dan meja tulis, terpasang jendela kayu yang tinggi dengan gorden abu-abu.

Iris melirik keluar jendela dan rasa kantuknya menghilang saat itu juga. Iris membaca hingga larut malam dan akhirnya tertidur dengan buku masih berada di pangkuannya. Ia berjalan keluar kamarnya dan menemukan ibunya berdiri beberapa meter di dekat pintu kamarnya.

Myra menatap penampilan Iris dari atas hingga bawah, menatap lingkar hitam pada bawah matanya dan ia mengerutkan kening. “Kupikir kau beristirahat semalam,”

“Aku hanya... lupa waktu,” gumam Iris.

“Kau kurang tidur?” tanya ibunya dengan sedikit khawatir. Myra menyentuh dahi dan leher Iris, mencoba memastikan suhu tubuhnya. “Ayahmu bilang kalau ia sering melihatmu di tengah malam, membaca.”

“Itu salah satunya. Kedua, mungkin aku terlalu gugup sehingga sulit untuk tidur.” kata Iris dan itu hampir benar. Setiap harinya dilewati dengan perasaan gugup dan cemas.

“Apa kau akan baik-baik saja?” tanya Myra. Mereka berjalan turun menuju dapur. Wanita paruh baya tersebut tersenyum kecut pada Iris, menatapnya cepat ke atas dan ke bawah.

Iris menyadari tatapan ibunya dan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Bu." Wanita paruh baya itu masih sedikit meragukan putri namun memilih untuk mempercayainya.

“Aku akan baik-baik saja.” Iris mengulang perkataannya dengan penekanan, ia perlu menyakinkan ibunya.

“Baiklah kalau begitu,” kata Myra.

Iris melangkah masuk ke kamar mandi yang terletak tepat di sebelah kamarnya. Merapikan rambut panjangnya dan merias wajahnya agar tidak terlihat pucat dan berpakaian.

Di bawah, Iris mendapatkan ayahnya bekerja sambil memeluk pinggang ibunya dan mencium pipinya. Melihat itu, Iris tersenyum. Ia senang melihat orang tuanya sangat bahagia— Ibu dengan lipstiknya yang cerah, rok panjang dan atasan bercorak bunga. Ayah menatapnya seolah ia masih seorang wanita muda yang cantik.

Myra memiliki rambut hitam, sama seperti Iris, tapi penuh garis-garis putih cemerlang.  Itu muncul tiba-tiba sekitar dua tahun yang lalu. Kerutan yang muncul sudut matanya semakin terlihat dengan jelas. Meskipun Myra masih termasuk usia yang muda untuk seorang wanita yang telah menikah dan memiliki dua anak.

Ruangannya tidak terlalu besar, namun cukup untuk sebuah keluarga dinding yang di cat warna putih dan jendela yang menghadap taman di belakang bangunan. Di tengah-tengah, ada meja makan untuk empat orang dengan kursi-kursi tertata di setiap sisi meja.

Di meja, ada sedikit kopi dan Iris meringis ketika minuman pahit yang masih hangat meluncur turun ke tenggorokannya. “Lebih baik daripada tidak sama sekali.” gumamnya pelan.

Kedua orangtuanya menoleh dan menatap Iris. “Kau terlihat lebih baik,” kata ayah. Ayahnya terkekeh. Senyumnya sangat lebar, Iris tidak bisa menahan tawanya. Dan itu pertanda bagus.

“Benar,” Myra menimpal. “Kau terlihat mengesankan,” mengeringkan tangannya dengan kain lap terdekat.

“Iris!”

Iris menoleh dan melihat adik perempuannya menatapnya dengan kedua mata berbinar-binar. “Anna, bagaimana menurutmu?  Apakah kakakmu ini cantik?“ tanya Iris.

”Tentu saja!“ jawab Anna dengan semangat. Iris tertawa dan memeluk adiknya dengan sayang.

Myra menghela nafas dengan putus asa, tetapi tidak dengan hatinya. ”Iris, kau harus tahu kalau kau sangat cantik.“

”Lalu kenapa tidak ada yang datang untuk mengajakku kencan?“ tanya Iris.

“Itu karena kau selalu menghabiskan waktu di farmasi dan membaca buku.” kata ibunya sebal. “Orang-orang seumuran denganmu dapat membagi waktu kerja dan waktu untuk mencari teman kencan. Kenapa kau tidak bisa?” lanjutnya.

“Karena aku tidak mau?” kata Iris tidak yakin. Iris sangat menikmati kegiatannya di apotek. Ia adalah tipikal gadis kutu buku yang lebih menikmati hidupnya dengan membaca buku dan melakukan berbagai hobinya daripada keluar untuk bersosialisasi.

“Aku tidak percaya ini” kata ibunya dengan sebal lalu ia pergi menuju ruang lainnya.

Iris menatap ayahnya dengan bingung. “Apa aku mengatakan hal yang salah?” tanyanya 

“Ibumu hanya menginginkan yang terbaik untukmu, itu saja.” Pria paruh baya tersebut bersandar di kursinya, sedikit bersantai sebelum ia bangkit berdiri untuk memulai kegiatannya sehari-hari sebagai pemilik farmasi.

“Aku tahu itu,” Iris bergumam pelan, bersandar pada kursi.

Ketika mereka selesai sarapan, Iris mulai membersihkan meja sementara Ayahnya tetap duduk di kursinya sambil menyesap kopi. “Ngomong-ngomong, ayah kira kau sudah terlambat,” kata Ayahnya tiba-tiba. Kedua mata Iris langsung terbelalak.

“Oh iya!” Iris langsung berlari ke arah pintu depan dan meraih kopernya yang telah disiapkan.

Anna muncul dari pintu menuju taman belakang. Kedua tangannya memeluk sebuah pot tanaman kosong yang cukup besar. “Apa kau mau pergi?” tanyanya.

Iris berbalik menatap adiknya. Anna adalah Iris versi kecil. Mereka memiliki banyak persamaan secara fisik. Perbedaan di antara mereka adalah perbedaan usia sembilan tahun dan kepribadian mereka yang sangat berlawanan. Berbeda dengan Iris yang lebih suka kegiatan dalam ruangan, Anna lebih aktif di luar ruangan seperti bermain ke taman, bersosialisasi dan lain-lain.

Ketika Anna baru berusia delapan tahun, ia adalah harapan terbaru keluarga mereka. Ia memiliki bakat dan ketika bakatnya pertama kali terlihat, Iris bertanya seperti apa rasanya.  Dengan caranya yang lucu dan berbicara seperti anak berusia delapan tahun lainnya, Anna mengatakan itu seperti berenang dalam aliran sihir.

Sekarang setelah ia berusia dua belas tahun, ia akan segera bisa menyalurkan bakat tersebut, seperti menyalakan keran.  Itulah sebabnya Ben serta Myra sangat bahagia akhir-akhir ini. Anna akan menjadi kuat. Ia dapat memiliki masa depan yang nyata, yang tidak bergantung pada farmasi yang tidak memiliki masa depan yang jelas.

Tetapi untuk memastikan masa depan itu, Anna perlu pergi ke sekolah dan itu membutuhkan uang. Banyak uang yang tidak dimiliki oleh keluarga mereka dan tidak akan sampai kapanpun jika ayahnya terus memberikan semua obat secara gratis.  Setiap uang yang tersisa digunakan untuk pendidikan Anna, memastikan ia memiliki setiap kesempatan. Iris bisa membenci adiknya karena itu, tetapi ia tidak.

Anna tidak langsung menjawabnya. Gadis kecil itu berpikir sejenak sebelum menjawab, “Ya.” serunya.

Iris mengacak-acak rambut Anna. “Apa kau perlu berpikir keras untuk menjawab?” tanyanya dengan tawa.

Anna terkekeh pelan dan bertanya, “Apakah aku boleh meminta kamarmu?”

“Astaga,” seru Iris. “Apakah itu yang kau mau sejak awal?” tanyanya pura-pura cemberut.

“Ya.” jawab Anna dengan mudahnya. Iris menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang adiknya pikirkan.

Orangtuanya menghampiri mereka. Iris memeluk mereka satu per satu dan berjanji untuk bertemu mereka lagi. Iris baru berjalan dari rumahnya menuju istana sekitar sepuluh menit dan ia sudah membenci hari itu. Saat itu adalah puncak dari musim panas— sinar matahari terasa sangat panas. Tangannya merogoh ke dalam tas kulitnya dan mengeluarkan sebuah apel yang ia bawa untuk makan di jalan.

Burung-burung berkicau dimana-mana— di pepohonan, di udara dan bertengger di kursi-kursi taman. Di kiri dan kanan jalan, situasi sangat ramai. Semua orang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, seolah tidak mengenal perbedaan antara hari kerja dan hari libur.

Kota tersebut berada di pinggir laut dengan tanah lapang luas ditumbuhi rerumputan hijau, luasnya berhektar-hektar, yang sekitar lebih dari setengahnya sudah dimiliki oleh warga yang memiliki peternakan dan perkebunan. Penduduk kota ini adalah pedagang, peternak dan petani, sementara mayoritas anak muda menghabiskan waktunya untuk sekolah. Pada saat musim panen, laki-laki, perempuan dan anak-anak memakai topi jerami untuk menjaga matahari yang bersinar tepat di atas kepala, sebagian orang-orang meluangkan waktu sejenak untuk meregangkan punggung mereka. Pemandangan kebun buah di kejauhan, orang-orang yang bekerja di sana memetik buah dari cabang tipis di puncak pohon-pohon.

Seperti sebuah kanvas dengan warna-warna beragam, merah, kuning, hijau. Jalan-jalan berbatu yang padat, dengan kabut di udara dan asap kelabu dari pembakaran batu bara kapal laut, kapal-kapal dari setiap jenis di pelabuhan dan hiruk-pikuk perdagangan.

Pelabuhan penuh dengan kapal-kapal para nelayan yang setiap harinya berada di sana untuk mencari uang, pergi ke tengah lautan untuk mencari ikan segar, jalan-jalan menuju perairan dengan rapi, dan bangunan-bangunan dicat dengan berbagai warna seperti merah, biru, kuning, hijau. Bahkan gudang-gudang yang terletak dekat dengan dermaga juga dicat dengan warna-warna cerah. Ombak menggoyangkan kapal seperti sebuah mainan di atas air.

Perjalanan menuju istana membutuhkan waktu tiga puluh menit. Di depan gerbang istana, Iris mengadah ke atas, memperhatikan istana di hadapannya. Berbeda dengan bangunan lain di sekelilingnya, bangunan yang satu ini dikhususkan dengan ukuran, desain yang mengagumkan dan bahkan udara yang tercium pun tak terlepas dari kemegahan. Deretan jendela-jendela besar dan tinggi serta balkon pada lantai dua hingga lantai yang paling atas, lantai empat. Dinding berwarna putih dengan hiasan ukiran batu serta berbagai macam patung-patung kecil dengan lentera yang akan menerangi luar bangunan setiap beberapa meter pada malam hari.

“...Wow…” Iris tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Walaupun ia sudah tinggal di kota tersebut bertahun-tahun, namun ia hampir tidak pernah mendekati istana. Iris menghabiskan waktunya di dalam farmasi hampir seluruh hidupnya. Di saat yang sama, kegembiraan yang dirasakan oleh Iris telah menghilang dan sekarang ia dihadapkan dengan berbagai imajinasi terburuk  di dalam kepalanya, yang mungkin akan terjadi apabila ia berbuat salah.

Iris menoleh sekelilingnya, mencari cara untuk masuk dan ia menemukan dua orang pengawal pintu gerbang istana yang berjarak beberapa meter dari posisi ia berdiri. Kedua pengawal tersebut membawa senjata yang menyerupai tombak, berseragam berwarna hitam dengan simbol kerajaan yang di bordir dengan menggunakan benang emas pada bagian kanan dada.

Di satu sisi, Iris ingin sekali kembali dan membatalkan semua ini, namun ia tidak mungkin melakukan hal tersebut karena keluarganya. Di sisi lain, ia juga penasaran seperti apa keadaan farmasi istana. Selama perjalanan ke istana, Iri hanya dapat membayangkan saja seberapa besar atau seberapa lengkap peralatan yang dimiliki. Iris menggelengkan kepalanya dan menarik nafas dalam sebelum ia mendekati pengawal tersebut.

“Berhenti!” seru satu pengawal tersebut.

“Sebutkan nama lengkap dan apa tujuanmu disini!” seru pengawal satunya.

Iris dapat merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya dan ia pun mulai sulit bernafas karena ia merasa sangat gugup. Tentu saja, ditambah oleh tatapan tajam dari dua pengawal di hadapannya sangat tidak membantu. Iris mencoba untuk mengambil nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia melakukannya selama beberapa saat hingga ia dapat menemukan keberaniannya lagi untuk berbicara.

“Iris Campbell.” katanya dengan suara tegas. Tangan kanannya merogoh ke dalam saku mantelnya, mengeluarkan secarik surat yang tertera segel resmi kerajaan.

• • •

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status