Galau nggak, kalian kalau jadi Nadya?
“Jadi, apa boleh kubawa Tasya?” Nadya berpaling. Jelas saja tidak. Dan Ali tahu itu. “Aku dibayar untuk menjaga anakmu, suka atau tidak suka.” Nadya mendengkus. Dia bangkit. Mengabaikan pening yang berdenyut setiap kali melangkah, Nadya berjalan memasuki kamar dan duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan mengepal. Hatinya geram menerka apa yang sebenarnya Pramono pikirkan. Membiarkan laki-laki lain datang saat istri sendirian di rumah, apa dia sudah gila? Nadya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama kontak orang yang belum lama meneleponnya tadi. Nada sambung mendengung berkali-kali. Pramono tak kunjung mengangkatnya. Hingga pada putaran ke enam, terdengar sapaan salam di ujung sana. “Assalamualaikum, ada apa, Sayang. Mas lag—“ Belum selesai Pramono mengucap, Nadya memotongnya, “Apa Mas gila?” ucapnya ketus. Gerahamnya beradu. Debar jantungnya berkejaran. Begitu marah sampai tubuhnya bergetar. “Dek, kenapa kok tiba-tiba
Nadya tersentak bangun saat antara sadar dan tidak dia merasa seseorang baru saja keluar dari kamarnya. Seiring kesadaran yang mulai terkumpul, pandangannya mengedar. Tak ada siapa pun di sana. Artinya, itu hanya perasaannya saja. Namun prasangka itu segera lenyap, tepat ketika pandangannya tertuju pada pintu kamar. Dia yakin benar, tidak betul-betul menutupnya tadi. Lalu, benarkah ada seseorang? Siapa? Mas Pram kah? Nadya bertanya-tanya. Tepat ketika menurunkan kakinya dari ranjang, Nadya menyadari sebuah selimut telah menutupinya. Kini dia yakin, seseorang memang baru keluar dari kamarnya. Nadya mengusap wajah. Dia merasa, hanya terlelap sebentar. ‘Jam berapa sekarang?’ Gelisah, Nadya melangkah turun. Cahaya berdenyar, memenuhi ruangan sesaat setelah ditekannya sakelar lampu. Wajah yang semula sedikit segar, seketika berubah pias begitu menoleh ke dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Dua jam sudah dia tertidur. Dan itu jelas bukan waktu yang singkat. ‘Astaga,
“Asya mau ikut Uncle.” Ali mengulum senyum saat terlintas lagi bayangan Tasya yang merengek meminta ikut dengannya. Bagaimana bahagianya diinginkan seorang anak mendadak memenuhi hati, menagih rasa untuk juga memiliki. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada anak yang bukan darah dagingnya? Apa karena ada bagian dari Nadya di sana? Ali memarkirkan mobilnya. Tepat setelah dia melangkah keluar dan berbelok menuju, seorang wanita muncul di depannya. “Dari mana, Al?” Andini. Langkah Ali terhenti. Pandangannya memindai wanita itu sesaat sebelum mencoba melewatinya. “Aku menunggumu hampir satu jam.” Wanita itu menahan lengan Ali. Ali menghela membuang napas kasar. “Tak ada yang menyuruhmu menunggu, bukan?” “Ibu yang nyuruh,” sahut Roro dari arah pintu. “Bukan kebiasaanmu pulang terlambat. Dari mana kamu, Al?” “Ada urusan, Bu.” Ali menarik lengannya dari cekalan Andini dan melanjutkan langkah masuk. Namun, langkahnya kembali terhenti saat mendengar ibunya bertanya: “Jadi baby sitter Tas
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore dan belum ada tanda-tanda tamu undangan Nadya akan datang. Dilihatnya deretan makanan di meja yang sengaja dipesan delivery agar lebih praktis dan hemat waktu. Lagi pula, daripada jamuan, sepertinya, Nadya lebih butuh persiapan mental untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Bersatunya dua hati, mungkin. Nadya menghela napas dalam sekali lagi. Serakah, barangkali itulah sebutan yang tepat ditujukan padanya, saat satu sisi hatinya tak rela dengan niat mengenalkan Ali pada Annisa. Tapi di sisi lain, dia tak ingin rumah tangganya berantakan hanya karena pikiran dan hati yang kini mulai memihak. Tak peduli kalau pun ada alat pengukur kadar cinta dan cintanya lebih besar pada Ali, fakta bahwa Pramono adalah suaminya dan di rumah tangga mereka ada Tasya yang harus dia prioritaskan dengan segenap kesadaran, tidak bisa diabaikan. Tok-tok! Suara ketukan seketika mengalihkan perhatian Nadya pada gadis kecil dengan lego di depannya. Ternyata Ta
Andai ada aku yang lain, aku pun tak rela menyerahkanmu pada yang lain. -Nadya Arfianti — Ali menenggak minuman bersoda di depannya seperti orang kehausan. Lalu meletakkannya kembali dengan sedikit tekanan. Annisa tersentak kaget, dan menatap bingung laki-laki itu dan Nadya bergantian. “Baiklah, ayo, Sa.” Ali bangkit. “Ya? K—kemana?” tanya gadis itu. “Kemana pun, mewujudkan keinginan kakakmu itu.” Ali menatap Nadya dingin bersamaan dengan tatapan bingung Annisa pada orang yang sama. Nadya mengangguk, isyarat agar Annisa setuju. “Uncle, Uncle, Asya ikut,” rengek bocah di sebelah Ali yang diam-diam menguping mereka. Ali memandang Tasya sesaat lalu menarik bibirnya samar. “Boleh.” Diraihnya bocah empat setengah tahun itu. Sebuah kecupan mesra mendarat di pipinya. Ali melangkah keluar membawa serta Tasya dalam dekapan. Nadya berpaling pada Annisa, menggenggam tangannya erat. “Gih, Sa. Tolong jaga Tasya.” “Tapi, Mbak ...” “Ali laki-laki baik. Kamu lihat sikapnya ke Tasya, ‘kan
“Siapa yang mengizinkan kamu melibatkan Annisa? Ha?” geramnya, “apa pilihanku melajang, membuat kamu rugi?” Sekali lagi pandangan mereka saling mengunci. Menyadari Ali begitu marah, Nadya berpaling. Namun, dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya begitu saja. Demi menahan perempuan itu tak berpaling, dengan tangan kanan Ali mencekal dagunya hingga buku jarinya memutih. “Aku tidak memaksa kamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun.” Ali mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Berharap dengan begitu berhenti menyesal dan memulai hidup baru. Berharap dengan begitu dia pun sadar bahwa Nadya tak mungkin lagi dia miliki. “Bahkan ketika aku bisa saja membawa kamu lari, aku memilih membiarkan kamu menikah dengan Pram. Apa masalah kamu, ha?” Sekali lagi ... dia mengatakan itu pada dirinya sendiri. Pandangan mereka mengunci sekarang. Dengan hati kacau, Nadya berusaha mendorong laki-laki di depannya meski berakhir sia-sia karena Ali masih menahan dagu dan lengan kirinya. Nadya melangkah
Dan inilah akhirnya. Akhir dari semua cerita masa lalu yang belum selesai. Ketika hati gagal menahan diri, maka nafsu akan menguasai. Rindu menggebu yang lama terbendung akhirnya meluap dan terurai hingga melanggar batas. Di depan kamar Nadya, masih dengan bertelanjang dada, Ali terduduk dengan dua kaki terlipat. Waktu menunjukkan pukul delapan lima puluh malam saat terdengar dering panjang telepon dari kamar Nadya. Ali menoleh tanpa benar-benar melihat pintu yang tertutup itu. Menyadari siapa yang telepon, Ali menajamkan pendengaran demi mendengar apa pun suara di dalam, dan dia akhirnya tahu suara isak itu berhenti. Di kamar, menyadari ponselnya berdering, Nadya tersentak seperti tersangka yang tertangkap basah melakukan kejahatan. Dia yang semula berada di depan pintu, menyeret tubuh hingga ranjang untuk meraih ponsel. Nama Pramono muncul sebagai penelepon. Nadya berdeham. Dengan tangan gemetar menyeka sisa air mata di pipi. Sekuat hati berupaya menenangkan diri dan menampakkan
Mendengar suara panggilan, Nadya dan Ali terenyak. Keduanya memandang satu sama lain. “Ibu, Mas,” bisik Nadya. Ali tersenyum. Ditatapnya lekat perempuan dalam kuasanya itu. “Inilah salah satu hal yang kubilang kita hadapi bersama.” Lalu sebuah kecupan melayang di pipi Nadya. Rindu di hatinya belum juga lunas meski perempuan itu telah berada dalam dekapannya. Dalam pelukannya. “Nad!” panggilan itu kembali terdengar diiringi ketukan di pintu. Nadya gusar. Sebaliknya, Ali tak bergeming. Alih-alih berhenti, dia justru menjatuhkan diri, mengangkat Nadya ke atasnya. Nadya mengernyit. Kedua tangannya ke depan, menahan. “Tapi, itu ibu, Mas, aku harus buka,” bisiknya lagi. Kecemasan tampak jelas di wajahnya. Seperti tak ingin mendengar apa pun, Ali memejamkan mata. Kedua tangannya bergerak seirama. Nadya mendesis. “Mas!” Nadya menggeram pelan, berharap Ali mendengarkan. “Aku harus buka pintu!” Ali menghentikan gerakannya. “Lalu membiarkan ibumu tahu?” tanyanya menatap lekat wanita itu.