Supir taksi itu bicara padanya. Mahira mengutuk Riga karena ia tak paham apa yang dikatakan si supir. Sekarang, bagaimana Mahira bisa memberi alamat untuk diantar pulang? Dan ... apa nama tempat yang ia dan Riga tinggali?"Can you speak English?" Mahira gemetaran saat bicara. Seumur hidup, ini pertama kalinya ia benar-benar menggunakan bahasa asing untuk bicara dengan orang asing."Oh, sure."Mahira memegangi dada lega. Walau ia tak tahu alamat tempat tinggal Riga, setidaknya ia bisa memberi ciri-ciri tempat itu, 'kan? Semoga saja Mahira masih bisa mengingat kosa kata bahasa Inggris yang dulu pernah ia pelajari saat di sekolah.*** Turun dari taksi dan melihat lapangan rumput luas yang dikenali, Mahira tersenyum girang. Usai membayar ongkos, perempuan itu segera berlari.Mahira senang luar biasa. Ternyata, isi kepalanya masih ada. Perempuan itu masih bisa mengingat apa yang dulu pernah dipelajari di bangku sekolah. Walau tidak seluruhnya, dan ia harus beberapa kali selisih paham deng
Hujan yang turun sejak pagi membuat suasana hati Mahira makin sendu. Ditengah segunung rindu untuk keluarga, perempuan itu masih harus sedih karena sikap Riga.Pria itu sering pergi belakangan ini. Katanya, mengurusi pekerjaan. Mahira percaya saja. Kalau pun Riga berbohong, memang dia bisa apa?Sehari-hari, Mahira hanya bisa berdiam diri di rumah. Mengerjakan tugas rumah, lalu bosan sepanjang hari. Sedikit bagus kalau Riga pulang, ia bisa punya teman bicara sebentar. Namun, akhir-akhir ini, hanya Albert yang datang untuk menjaga rumah.Di tengah lamunan, Mahira melihat beberapa anak datang ke tanah lapang di depan rusun. Bocah-bocah itu mulai bermain bola di tengah hujan.Pemandangan itu membuat ujung bibir Mahira tertarik ke atas. Anak-anak itu saling berteriak, saling mengejar, lalu tertawa-tawa. Sungguh penampakkan yang sedikit menghibur hati.Tak ingin hanya menontoni, Mahira turun ke bawah dengan lift. Ia datangi anak-anak itu, kemudian meminta izin untuk diajak bermain. Walau bu
Ada yang mengetuk rumah Riga pukul tiga dini hari. Riga yang memang belum tidur, keluar dari kamar dan membukakan pintu. Bukan orang yang lelaki itu lihat, tetapi sesuatu.Ia mengambil secarik kertas yang ditaruh di atas benda itu. Di sana ada tulisan. Yang menegaskan kalau benda yang dikirim khusus untuk Mahira.Riga menatapi benda itu dengan tatapan dingin. Ia sudah tebak ini akan terjadi. Baginya, ini bukan masalah. Tinggal menyingkirkan benda itu saja dan selesai. Namun, ini tak bisa sesederhana itu lagi sekarang.Lelaki itu membiarkan pintu rumahnya terbuka. Ia ke kamar untuk membangunkan Mahira. Setelahnya, Riga membawa sang istri ke depan pintu."Ini yang kau inginkan?" ucap Riga saat menemukan istrinya membeku dengan tatapan membeliak."Ri--Riga ...." Mahira menarik napas. Tangannya yang gemetar menutup mulut. Perempuan itu luar biasa terkejut dan takut."Aku sudah bilang untuk tak memberinya uang.""Di--dia ibunya Joseph?" Air mata Mahira tumpah di pipi. "Ke--kenapa? Apa--apa
"Riga membunuh kekasihnya Damian," kata Alex mengulang.Lelaki itu meraih tangan Mahira, saat dilihatnya wajah perempuan itu diliputi gusar. Ia berikan senyum teduh, berharap itu bisa membuat Mahira lebih tenang.Alex memulai cerita dengan menyebutkan nama kekasih saudara kembarnya. Agnes."Riga tahu kalau Agnes hanya ingin balas dendam pada Damian. Agnes bahkan merayu Riga di belakang Damian. Karena itu, tanpa pikir dua kali, tanpa memberitahu siapa pun, Riga melenyapkan Agnes."Meski berusaha bersikap tegar, tetapi Mahira tetap saja merasakan tangan dan bibirnya bergetar. Bagaimana bisa begitu mudah bagi Riga untuk melenyapkan seseorang, bahkan tanpa memberitahu dulu alasannya?Sebenarnya, Riga ini siapa?"Setelah Agnes tewas, saat Damian berusaha membalaskan kematian kekasihnya, Riga memberitahu kami alasan dia melakukan itu. Beberapa percaya, Damian salah satu yang tidak ingin percaya."Alex menambahkan. "Kami kira, yang selama ini diam-diam mengincar nyawa Riga adalah anaknya bib
Telapak tangan Mahira terasa lembab saat memegangi kenop pintu. Menarik napas beberapa saat, perempuan itu menarik benda di depannya hingga terbuka.Mahira mengenyit. Dua orang, sepasang manusia berdiri di depan pintunya. Dua orang yang asing, belum pernah ia temui dan terlihat sangat ... bekelas.Yang pria, meski rambutnya sudah setengah memutih, dengan setelan kemeja dan celana jin, lelaki yang Mahira taksir lebih tua dari ayahnya itu masih terlihat gagah. Garis wajahnya tegas, tulang pipinya lumayan tinggi, dan matanya hitam.Satu lagi seorang wanita dengan pakaian terusan berwarna hitam. Tatapannya tampak menyelidik, meski melempar senyum ramah pada Mahira."Apa kau Mahira?"Ia mengangguk. Cukup heran karena ternyata tamunya bisa menggunakan bahasa yang serupa dengannya."Kalian siapa?"Mahira sudah belajar dari keadaan. Pun, kata Riga, kalau ada yang bertamu, jika tidak dikenal, maka lebih baik tidak diperbolehkan masuk. Dan Mahira menuruti saran itu, sebab tak ingin menjadi sasa
"Paman dan Bibi itu punya bisnis yang agak menyeramkan."Baru datang beberapa menit yang lalu, Alex menghampiri Mahira yang sedang menonton di ruang tamu. Bertanya kabar, melempar banyak senyum, kemudian sepupunya Riga itu memulai topik utama dengan kalimat yang terus-terang saja, membuat Mahira penasaran.Tidak menoleh, sejak tadi bersikap tak acuh, Mahira sebenarnya sudah tahu maksud Alex datang sore ini. Pasti untuk menjelaskan sesuatu. Mahira sudah paham polanya.Bila ia berselisih paham dengan Riga, maka Alexlah orang yang akan menengahi. Memberi penjelasan yang Mahira inginkan, yang tak bisa suami si perempuan lakukan.Menyebalkan. Sungguh Mahira jengkel dengan sikap Riga ini. Memang, apa sulitnya lelaki itu sendiri yang memberi penjelasan?"Sayang? Kau dengar aku?"Mahira menengok pada lelaki di sampingnya. "Kau sepupunya Riga atau babunya? Kenapa kau selalu mau disuruh melakukan ini?"Alex mengulum senyum. Matanya berbinar karena akhirnya Mahira sudi menatap."Aku tidak suka m
Alex tercenung saat mendengar Riga selesai berucap."Apa katamu?" Pria itu bertanya untuk memastikan tidak salah dengar.Riga yang duduk di sofa melirik. "Pertemukan aku dengan Damian," ulang lelaki itu.Untuk pertama kalinya, Riga ingin menghadapi Damian. Menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Selama ini, pria itu hanya diam saja, membiarkan sepupunya terus menuduhnya sebagai pembunuh."Kalian mau saling menghabisi?""Kalau itu memang bisa menyelesaikan ini semua."Riga ingin menyudahi satu per satu masalahnya. Damian ini salah satunya. Ia ingin menjelaskan, bahwa pelenyapan yang ia lakukan pada Agnes, semata karena ingin melindungi Damian. Bukan seperti tuduhan Agnes, yang berkata Riga marah karena Agnes menolaknya.Kalau pun nanti Damian tidak percaya, maka jalan terakhir untuk menyudahi ini, seperti yang Alex katakan tadi harus terjadi, tak masalah. Yang penting, masalah ini harus selesai.Riga tak ingin terus-terusan dibuat cemas. Ia tak mau terus-terusan tak pulang ke ruma
"Kenapa menatapku seperti itu? Makanlah. Aku membuatnya khusus untukmu, Mahira."Pada Alex yang tersenyum di depannya, Mahira bergerak mundur hingga punggung rapat dengan kepala ranjang. Makanan yang pria itu suguhkan ia tatapi lekat."Kenapa, Mahira? Apa kepalamu masih sakit?"Hal terakhir yang Mahira ingat sebelum terbangun di tempat asing ini adalah, ia dan Alex mengalami kecelakaan. Kepala Mahira memang agak sakit, tetapi bukan berarti ia lupa semua hal.Lelaki di tepian kasur berusaha menyentuh rambut Mahira. Namun, si perempuan segera tepis."Makanlah. Kau pasti lapar."Mahira menumpuk keberaniannya. Perempuan itu membalas tatapan dingin lelaki di hadapan."Di mana Alex?" tanyanya dengan suara bergetar.Laki-laki itu tersenyum jenaka. "Alex? Aku di sini." Dia mengangkat rambut yang menutupi dahi. "Lihat? Aku punya bekas luka."Mahira menggeleng ingkar. Ia jauh lebih yakin dengan apa yang dilihat. Pertama, Alex selalu menambahkan panggilan 'Sayang' tiap kali bicara padanya. Dan k