“Anak Muda!” Tetua kedua melesat dengan satu cakar terjulur pada Hoaren.Teph!Cakar itu hinggap di bahu kanan Hoaren. Akan tetapi, dia sudah bersiap untuk itu sehingga cakar sang tetua tidak mampu menembus pertahanan tenaga dalamnya.Desg!Sebaliknya, dengan menggeser sedikit bahunya, Hoaren telah mampu memaksa tetua kedua menjauh dan dia sendiri melompat dua langkah ke belakang.“Kau!” Tetua kedua tertegun. “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menguasai jurus-jurus Shaolin?”Hoaren menyeringai sementara dua biksu muda dengan toya dan sepasang ruyung terlihat ragu-ragu, berdiri di belakang tetua kedua.“Benar!” sahut biksu muda bertoya sembari menunjuk Hoaren. “Kau mengalahkan adik kami dengan jurus Tinju Baju Besi. Dari mana kau mempelajari itu?!”Hoaren menyeringai dan berkata, “Aku tidak perlu menjawab keingintahuan kalian.”“Lancang!” hardik biksu muda dengan sepasang ruyung di tangannya.“Lagi pula,” lanjut Hoaren tanpa menghiraukan si biksu muda. “Bukan hanya Shaolin saja yang pun
“Terima kasih karena sudah mengantar kami,” ucap Feng pada si pemilik kapal.“Silakan, Tuan Muda,” balas pria paruh baya tersebut. “Nona!”Feng dan Huang turun dari kapal yang telah berlabuh di salah satu dermaga yang ada di Kota Haikou.Sang pemuda tersenyum mendapati sang kekasih memandang ke sana dan kemari, seolah mengawasi sestuatu di tengah keramaian pelabuhan itu di pergantian senja ke malam hari saat ini.Dia menghela napas lebih dalam. “Di sini jauh lebih ramai.”Huang melirik ke samping kiri. “Tentu saja,” ujarnya. “Dari apa yang pernah kupelajari, Hainan adalah pulau yang berada di antara lalu-lalang kapal-kapal dagang. Jadi, sudah pasti mereka jauh lebih sibuk daripada kawasan lain.”Feng tersenyum menahan tawa. Dia bukannya tidak mengetahui akan hal ini, namun lebih kepada upayanya untuk membuat Huang tidak begitu tegang dalam perburuan mereka terhadap Hoaren.“Kurasa,” ujarnya kemudian, “untuk saat ini, lebih baik kita mencari tempat penginapan terlebih dahulu. Bos kapal
Hoaren menyeringai memandangi Huang yang begitu kesal terhadapnya dan masih berdiri di dermaga bersama Feng.“Bodoh!” umpatnya.Dan ketika dia berbalik, seorang anak buah kapal memergokinya yang menumpang secara gelap di kapal besar tersebut.“Hei, kau tidak seharusnya―”Sang awak kapal terdiam ketika Hoaren dengan cepat memperlihatkan satu tael emas di depan wajahnya.“Apakah ini cukup untuk membuatmu tutup mulut?” Hoaren menyeringai. “Hmm?”Bola mata sang awak kapal membesar dan Hoaren tahu pasti bahwa ABK yang satu ini sangat tergoda pada satu tael emas di tangannya.“Simpanlah dan aku tidak akan mengatakan pada siapa pun tentang ini!”“Te-Terima kasih, Tuan Muda,” ujar sang awak kapal seraya menerima satu tael emas itu dengan tergesa-gesa, dan menyimpannya ke balik pakaiannya. “A-Akan saya atur satu kamar untuk Anda nanti.”Hoaren menepuk-nepuk bahu sang awak kapal. “Bagus, bagus, itulah yang aku harapkan!” ujarnya. “Sekarang, aku ingin melihat-lihat dulu seisi kapal ini.”“Si-Sil
Guru Ma tidak ingin menikmati makan malam di geladak sebab angin laut di malam hari yang lumayan kuat. Jadi, He Hwan memerintahkan anak buahnya untuk menyediakan makanan bagi Guru Ma yang vegetarian di kamarnya saja.“Guru, silakan,” kata He Hwan yang dia sendirilah orang yang menghidangkan makanan bagi si Guru Besar. “Semoga Guru suka dan menikmati makanan ini.”“Amitabha,” Guru Ma tersenyum. “Tuan He, Anda tidak saja dermawan tapi juga budiman. Terima kasih, semoga apa pun yang Anda cita-citakan dalam hidup mendapat keberkahan dari langit.”He Hwan tersenyum lebar. “Terima kasih atas doa berkatnya, Guru. Silakan, mari dinikmati.” Dia melirik pada Daiyun. “Guru Kecil, Anda juga, mari silakan.”“Shan cai, shan cai,” ucap Daiyun. “Terima kasih banyak, Tuan He.”“Tuan He.”Si pemilik kapal yang akan keluar dari kamar itu memutar badan. “Guru, Anda membutuhkan sesuatu?”Kembali Guru Ma tersenyum. “Tidak,” jawabnya. “Hanya saja, apakah Nona Huang dan Tuan Muda Feng masih di kamarnya?”He
Di dalam kamar mereka, Feng duduk di atas sebuah peti panjang yang lebih berfungsi sebagai penyimpan pakaian atau barang bawaan penumpang, di sisi kiri dari pintu.Huang melepas lapis pertama pakaiannya, pakaian yang didominasi warna merah dengan sulaman benang emas di beberapa sisinya.“Kakak!”Feng mengangkat wajah dan meliri pada sang kekasih, di arah kanan dari pintu.Huang juga melirik sang kekasih dari ujung bahunya. “Apakah engkau tidak merasa aneh pada Guru Ma tadi?”Feng tersenyum dan menghela napas lebih dalam. “Aneh seperti apa yang engkau maksudkan, Adik?”Huang mengendikkan bahunya. Lalu melepaskan pakaian lapis kedua yang di dominasi oleh warna putih.“Entah kenapa,” ujarnya seraya menggantungkan pakaiannya itu pada gantungan yang menempel di dinding. “Aku merasa bahwa Guru Ma menyembunyikan sesuatu dari kita.”Feng mendesah halus dan kembali tertunduk. Masalahnya, sang kekasih kini hanya memakai pakaian lapis terakhir saja di tubuhnya, dan itu cukup tipis untuk dapat me
“Tuan Muda,” sapa seorang anak buah kapal pada Hoaren.Zhou Hoaren sedang berdiri di dekat haluan kapal, seolah menikmati pemandangan matahari tenggelam di sisi kanannya.“Ini arak yang Anda minta,” sang ABK menyodorkan satu kendi kecil pada Hoaren.“Ah, ini yang sangat aku butuhkan sekarang,” Hoaren menerima kendi itu dan langsung mereguk isinya. “Sempurna!” ujarnya. “Angin senja kali ini terasa lebih sejuk, kurasa udara malam akan lebih dingin lagi.”“Sekarang memang di ujung musim penghujan,” kata si ABK. “Hmm, Tuan Muda?”“Ya?” Hoaren melirik pada awak kapal yang telah dia suap tersebut. “Apa lagi yang kau inginkan?”“Tidak,” sang ABK tersenyum. “Saya hanya ingin memastikan, hmm, apakah Tuan Muda merasa jenuh?”Hoaren terkekeh dan kembali mereguk arak di dalam kendi hingga wajahnya sedikit memerah.“Itu tidak perlu lagi dipertanyakan,” balasnya. “Beberapa hari di atas kapal, membuat tubuhku terasa pegal-pegal. Terlebih lagi, di kapal ini kalian tidak menyediakan perempuan. Apa yan
“Kakak,” ujar Huang, “Kau dengar itu?”Feng mengangguk. “Guru Ma!”Keduanya bergegas bangkit dan keluar dari kamar dengan membawa pedang masing-masing. Meski kapal terombang-ambing oleh gelombang laut yang besar, namun keduanya masih dapat mengimbangi langkah mereka.“Guru Ma! Guru Ma!” Feng mengetuk-ngetuk pintu kamar sang Biksu Besar. “Guru Ma, ini saya, Feng!”Pintu terbuka dan wajah Daiyun menyapa keduanya.“Tuan Muda Feng,” ucap sang biksu muda. “Nona Huang, masuklah!”Feng dan Huang menemukan bahwa Guru Ma duduk di atas dipannya sembari bersemadi, dia jauh kelihatan lebih tenang dibanding mereka bertiga.Muda-mudi saling pandang. Sepertinya tidak banyak yang harus mereka khawatirkan terhadap Guru Ma.“Daiyun,” ucap Feng kemudian. “Tetaplah berjaga-jaga di sisi Guru Ma, aku dan Adik Huang hendak melihat ke atas!”Daiyun mengangguk. “Shan cai, shan cai … Berhati-hatilah, Tuan Muda, Nona Huang, bajak laut biasanya tidak kenal belas kasih.”“Jangan khawatir,” Huang tersenyum. “Kami
Sang perompak tewas dengan lidah terjulur dalam cengkeraman mematikan Hoaren.Hoaren menyeringai dan menjatuhkan si perompak begitu saja. “Hmm, apakah aku harus menyamar menjadi bagian dari begundal-begundal ini?”Untuk sesaat, dia menjadi ragu akan rencananya semula. Bagaimanapun, Hoaren adalah tipikal manusia yang tidak mau terlihat kotor dalam berpakaian. Pakaian para bajak laut itu pastinya tidak sebersih yang dia kenakan, konon pula mewah.“Apa aku punya pilihan?” gumamnya seraya menatap mayat si perompak, lalu menyeringai tipis.Dan kemudian, dia menyeret mayat itu ke dalam sebuah kamar.Sementara itu, di tengah gelombang yang menggila akibat badai yang belum reda sama sekali, kapal dagang kedua dan ketiga juga telah hancur sebagian akibat serangan empat kapal bajak laut.Jerit tangis dan raung kematian tumpang-tindih di tengah deru angin yang setajam pedang. Kilat menyambar di sana-sini seakan membutakan mata, menutup jalan kebebasan. Dan petir yang sahut menyahut, tak berhenti