[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana.
Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri.
"Ayo, An!"
Aku tercegat sejenak. Teman-temanku
Sampai sekarang Julian belum mengatakan apa-apa soal dirinya. Itu membuat Ana khawatir. Diam-diam ia menguping pembicaraan Julian di telepon. Soal penikahan. Ana tak mengerti jelas apa yang terjadi. Ia ingat waktu di pantai, Julian juga tak terlalu menanggapi ketika ditanya apa dia sudah menikah, atau minimal dia punya pacar. Ana tak tahu kehidupan seperti apa yang ditinggalkan kakaknya di Paris, sementara Julian sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana. Ana merasa bersalah untuk itu, dan perasaan itu membuatnya semakin terbebani.Ana membuka pintu kamarnya, ia temukan Julian berada di ujung koridor apartementnya. Laki-laki itu buru-buru menjejalkan ponsel ke saku celana ketika sadar Ana menghampirinya.Langit pagi yang indah yang kemudian mereka perhatikan. Masih ada garis-garis jingga yang terpancar di ufuk timur. "Telepon
"Kau duluan saja! Aku ke kamar mandi sebentar!" ucap Julian sebelum mereka sempat masuk ke ruangan Dokter Ruin.Ini pertama kalinya Ana datang bersama Julian ke rumah sakit. Julian yang meminta Ana untuk pergi bersama. Tentu saja Ana tidak bisa menolak setelah Julian tidak bicara padanya hampir tiga hari lamanya, makan dan tidurnya juga jadi tidak karuan. Entah apakah Julian perlu waktu untuk menerima kenyataan, yang jelas Ana dibuat hampir gila karena masalah itu. Dan semua itu, tentunya salah laki-laki berjas putih yang selalu sok tahu."Kau bilang kau sahabatku!" teriak Ana setelah menampar Ruin di depan pasien-pasiennya. "Tapi, kau samasekali tidak mengerti aku," katanya lagi.Ruin diam saja sambil memegangi pipinya. Ini reaksi wajar dari Ana yang sudah ia perkirakan sebelumnya.
Saat kembali ke apartement milik Ana, Julian dihujani pandangan menyeringai perempuan itu. Siapa pun akan heran ketika melihat orang-orang yang katanya dari kamar kecil, kembali dengan wajah lebam dan berdarah. Baik Julian maupun Nara, mereka berdua sama saja."Kau puas sudah menghajarnya?" Ana setengah berteriak.Julian yang menyandarkan pantatnya di meja makan tidak bisa berkata apa-apa."Lihat wajahmu ini!" Ana mengangkat dagu Julian dengan jarinya, kemudian mengusapkan obat luka ke wajah Julian. "Lihat! Julian yang punya wajah tampan dan jadi perhatian para perempuan, sekarang sudah nggak keren lagi!" Ana menggesar sedikit tubuhnya, mengarahkan Julian pada cermin yang tertempel di dinding belakang Ana."Kukira perempuan lebih suka sama cowok yang punya banyak bekas luka. See
Ana turun dari mobil, taman luas dengan hamparan rumput hijau menghadangnya. Tempat itu sejuk meskipun matahari bersinar cukup terik di hampir pukul dua hari itu. Ana sudah tak sabar bertemu Paman Toro. Setidaknya ia akan mencium aroma khas sebuah keluarga jika berkunjung ke sana.Dari sebuah dinding kaca besar, Ana melihat Paman Toro sedang duduk bersama anggota keluarganya yang lain. Orang tua itu sempat tertegun ketika menyadari kehadiran Ana. Sesaat ia berjalan cepat ke luar hanya untuk menyambut Ana."Aku merindukan Paman!" Ana memeluknya. Ia ingat bagaimana Paman Toro memaksanya untuk tinggal di rumah yang ia pijak sekarang ketika ia bercerai dengan Nara. "Kau sudah kuanggap seperti puteriku sendiri," katanya berulang kali. Tentu saja Ana tahu itu tulus dan untuk setiap kali datang ke sana, Ana merasa masih memiliki keluarga.
Ana menjadikan bahu Julian sebagai tempat bersandar saat ia tertidur, untuk itu Julian hanya menggunakan satu tangan untuk menyetir mobil sport hitamnya. Dari rumah Paman, mereka akan menyusuri jalan beraspal di daerah pesisir untuk menuju ke rumah lama mereka. Julian menikmati suasana saat itu, aroma laut yang perlahan membangkitkan memori masa remajanya. Untuk sesaat, ia ingin agar perjalanan mereka jadi lebih panjang. Julian tak pernah keberatan, jika saja jalan yang akan dilaluinya berat, lama dan sangat panjang, asalkan itu bersama Ana. Rasa cintanya pada Ana membuatnya terkekang dalam perasaan tak menentu sepanjang tahun dan entah sejak kapan, Julian tetap memilih jalan itu.Matahari telah kembali keperaduan, satu bintang mulai memancarkan cahayanya di ufuk barat. Ana baru saja mengangkat wajahnya dari bahu Julian. Tangan kanan Julian masih memegang stir, hanya saja mobil yang mere
Berita tentang anak sulung Segovia yang telah kembali rupanya begitu cepat menyebar. Sejak Julian turun dari mobil, banyak yang menghadangnya, sekadar menunduk sebagai sebuah penghormatan dari pegawai ke pemimpinnya. Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah menjadi budaya di Mount East. Julian tak terlalu mengerti arti sebuah penghormatan. Ia hanya membawa ajaran ayahnya, bahwa dirinya harus terbiasa diperlakukan seperti itu. Julian bahkan tidak diperkenankan untuk tersenyum untuk membalas sambutan hangat orang lain padanya. Satu hal lagi yang penting, bahwa punggungnya harus tetap tegak apa pun yang terjadi. Ayahnya selalu bilang di punggung itu berlindung ribuan pekerja. Kau harus bisa dipercaya sebelum mereka menjatuhkan kepercayaan padamu sebagai pemimpin. Jangan pernah melirik ke samping, apalagi berpaling ke belakang. Bicaralah dengan tetap menghadap ke depan. Dan untuk sesaat, Julian menjadi orang yang sangat arogan.
Dikubahi langit pekat, Julian berdiri dipagar balkon sambil memperhatikan laptopnya yang masih menyala di atas meja di tengah balkon. Julian tak menyangka urusan perusahaan bisa membuatnya tak tidur di hampir tengah malam itu. Ketika itu Julian mencoba mempertimbangkan permintaan Ana untuk melupakan saja soal perusahaan. Bukan karena itu tidak penting, tapi saat ini Analah yang terpenting. Soal "janda", "beranak satu", dan "penyakitan" juga mengganggunya. Ada apa dengan stereotipe itu? Buatnya Ana tetaplah Ana. Seseorang yang tak habis-habisnya menjalari pikirannya."Paman! Apa aku menggangu tidurmu?" Julian bicara di telepon.Orang yang menjadi lawan bicaranya saat itu, agaknya tak perlu bertanya tentang alasannya menelepon di larut malam. Media pasti sudah menayangkan tentang kembalinya pengusaha muda, Julian Andreas Segovia. Dan Juli
Pukul empat subuh, ketika Julian terusik oleh sesuatu. Julian belum sadar sepenuhnya ketika ia menegakkan tubuhnya sembilan puluh derajad di atas sofa. Cahaya remang-remang hanya datang dari lampu di meja samping tempat tidur, yang samar-samar menyoroti kegelisahan Ana saat itu. "Ana!" Julian menghampiri Ana dan tangannya bergetar saat mengusap rambut perempuan itu. Ana memegangi perutnya, tubuhnya menekuk seperti janin yang berada di rahim ibu. Ada gumpalan-gumpalan keringat yang melapisi kening Ana saat itu. Terdengar rintihan yang semakin membuat Julian panik. Ana bahkan menggenggam tangan Julian begitu erat seakan berharap Julian menolongnya. Tapi, "Apa yang harus kulakukan?" Julian menarik kunci mobilnya. Ia mengangkat tubuh Ana dan dengan setengah berlari, Julian membawa Ana.