Bu Sinta menyerahkan amplop yang berisi uang, dan amplop tersebut terlihat cukup tebal. Begitu melihat amplop yang diserahkan bu Sinta itu, Hani langsung tersenyum penuh arti dan langsung memasukkan barang berharga itu ke tas yang dijinjingnya.
Di lain sisi, bu Sinta tidak berhenti melihat ke luar mobilnya, karena beliau merasa tidak yakin setelah tadi bertemu bu Niken di tempat yang tidak diduganya. Karena hal itu, bu Sinta jadi cemas akan ketahuan oleh rekan lainnya.
“Apa bu Sinta sudah terlanjur mencintai pak Rio?” intonasi dan raut wajah Hani benar-benar menunjukkan sikap yang meremehkan bu Sinta. Namun, karena pikiran bu Sinta saat ini lagi tidak fokus, jadi beliau tidak terlalu memikirkan sikap yang diberikan Hani tersebut.
“Kamu sudah saya kasih uang itu, jadi kamu harus menepati janjimu.” Ucap bu Sinta dengan sangat tegas meski tatapan matanya masih terlihat tidak fokus. “Kalau sampa
Bu Aliyah pulang ke rumah bersama anak-anaknya dengan langkah yang lelah meski raut wajahnya berusaha menutupi kelelahan itu secara apik. Hari ini, bu Aliyah akhirnya menepati janjinya dengan anak-anaknya untuk bermain ke studio main khusus anak-anak. Sebenarnya, sudah sejak beberapa hari yang lalu bu Aliyah dan pak Rio berjanji mengajak anak-anaknya untuk ke tempat ini bersama. Namun, setiap hari janji itu dibatalkan oleh pak Rio, dengan alasan ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal.Akhirnya, karena bu Aliyah merasa kasian dengan anak-anaknya, beliau pun mengajak ketiga anaknya itu untuk ke tempat impiannya tidak bersama dengan pak Rio. Awalnya Dania bertanya tentang alasan mereka kesana tanpa ayahnya, tapi untungnya bu Aliyah bisa beralasan dengan masuk akal, karena beliau berkata bahwa ayahnya sedang ada kerja yang akan membuat ayahnya itu bisa menjadi orang yang hebat. Mendengar kalimat itu, tentu Dania merasa bangga telah memiliki sosok ayah yang hebat di p
Bu Sinta memasuki area parkiran Sanggar Seni Kenangan dengan hati yang bergembira, karena semalam beliau telah menghabiskan waktu yang berharga bersama dengan pak Rio, pria yang saat ini sangat beliau cintai. Senyuman di wajah bu Sinta tidak kunjung menghilang, sehingga hal tersebut memancing bu Larni yang melihatnya untuk mempertanyakan akan hal itu.“Ada kabar gembira apa Bu hari ini?” tanya bu Larni dengan nada suara yang sangat menunjukkan keramahannya.Bu Sinta tersipu malu, lalu beliau berkata, “Tidak ada apa-apa Bu, saya hanya merasa bahagia dengan kehidupan saya saat ini.” Bu Sinta tidak menjawabnya dengan terang-terangan, beliau dengan sengaja menjawab bu Larni secara gamblang.Bu Larni menyenggol ringan tubuh bu Sinta. “Nggak mau cerita nih,” canda bu Larni dengan tawa khasnya.Kali ini bu Sinta tersenyum ramah kepada bu Larni, lalu beliau berkata, &ldquo
“Kalau bu Aliyah ingin tahu tentang perasaan wanita yang menjadi orang ketiga dalam kehidupan keluarga yang sudah bahagia, bu Aliyah bisa tanya langsung ke bu Sinta, sepertinya beliau sudah pengalaman dalam hal tersebut.” Ucap Hani dengan sangat enteng.Sontak kalimat yang tidak terduga itu membuat semua orang yang ada di kelas merajut menatap bu Sinta dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Bahkan, karena saat ini di dalam kelas merajut juga ada ibu-ibu lain yang tidak terlalu dikenal oleh bu Sinta pun, sampai ikut memandangi bu Sinta dengan tatapan penuh selidik.“Apa maksudnya?” tanya bu Tia yang baru saja datang dengan dandanannya yang sedikit terlihat berlebihan. Namun, meski begitu tampilannya itu tidak mampu mengalihkan perhatian orang-orang dari bu Sinta.“Apa maksudmu Hani?” kali ini bu Nikenlah yang bertanya.“Aku hanya asal bicara, tetapi aku lihat res
Hari ini terasa berat untuk bu Sinta. Setelah di pagi hari beliau merasa sangat bahagia dengan kenangannya bersama pak Rio, tetapi kebahagiaan tersebut segera sirna setelah datang ke Sanggar Seni Kenangan dan munculnya Hani yang bagaikan api yang membakar itu.Kelas terasa berlalu lebih lama dari biasanya, sehingga yang ada dalam pikiran bu Sinta hanyalah rumah dan keluar dari tempat ini. Bahkan, ketika beliau sedang merajut syal yang ada di depannya, jarum yang dipegangnya sempat menggesek jari manisnya sedikit, namun untungnya jari bu Sinta tidak sampai mengeluarkan darah yang membuat banyak orang panik. Jadi, tidak ada yang menyadari tentang kondisi bu Sinta tersebut.Sampai akhirnya jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB yang berarti sudah waktunya ibu-ibu di sanggar untuk pulang. Bu Sinta langsung membereskan barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. Namun, ketika baru saja bu Sinta hendak keluar dari Sanggar Seni Kenangan, tiba-tiba m
Tubuh dan perasaan yang gemetar membuat bu Sinta tidak bisa menghampiri sosok suaminya yang sedang menatap beliau dengan jarak yang cukup berdekatan. Ketika bu Sinta membalas tatapan mata suaminya itu, bu Sinta sempat merasa ada sepasang mata lainnya juga yang sedang menatap beliau dengan serius.Ketika tubuhnya sudah bisa diajak kompromi, bu Sinta pun melangkahkan kedua kakinya menuju pak Helmi. “Ada apa?” tanya bu Sinta ketika sudah sampai tepat di depan suaminya itu.“Masuklah,” ucap pak Helmi dengan membukakan pintu mobil untuk bu Sinta. Melihat bu Sinta tidak kunjung menerima perintah dari beliau, membuat pak Helmi menarik pergelangan tangan bu Sinta dan sedikit memaksanya untuk masuk ke mobil tersebut.“Nggak usah seperti ini,” mendapat perlakuan paksaan dari pak Helmi, membuat bu Sinta merasa enggan untuk mengikuti perkataan suaminya itu. Bu Sinta mencoba memberontak dari perlak
Dalam perjalanan pulang, awalnya bu Aliyah dan pak Rio saling diam sampai akhirnya bu Aliyah memecah keheningan tersebut. “Ada apa? Kenapa tiba-tiba menjemputku?” tanya bu Aliyah tanpa menoleh ke arah pak Rio yang juga sedang fokus menatap ke depan.“Apa aku tidak boleh menjemputmu? Bukankah sudah menjadi hal yang wajar seorang suami menjemput istrinya?” ucap pak Rio dengan sangat entengnya.Mendengar perkataan pak Rio, membuat bu Aliyah tidak habis pikir. “Wajar kalau suami itu tidak berbuat aneh-aneh di belakang istrinya, tapi kalau si suami berperilaku seperti itu, maka itu akan menjadi hal yang mencurigakan.” Jawab bu Aliyah dengan jujur.Mobil berhenti tepat ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, lalu pak Rio menoleh ke arah bu Aliyah dan berkata, “Aku juga berniat untuk membahas tentang permasalahan kita waktu itu. Aku rasa aku belum memberikan pembelaan diri
Bu Tia dan bu Niken memilih untuk mengunjungi kafe sejenak, sepulangnya dari Sanggar Seni Kenangan. Sejujurnya, bu Tialah yang mengajak bu Niken untuk pergi sejenak ke kafe seperti ini, karena mereka ingin membahas tentang permasalahan bu Sinta dan bu Aliyah. Bu Tia merasa ada yang aneh, meski beliau tidak tahu apa sebenarnya yang membuat aneh itu.Bu Tia dan bu Niken sudah duduk dengan saling berhadapan, dan sekarang mereka sedang menunggu minuman yang mereka pesan datang. “Ibu juga merasa ada yang aneh nggak?” tanya bu Tia tak lama dari setelah mereka duduk.Bu Niken sempat menaikkan kedua alisnya sejenak, lalu beliau berkata, “Masalah bu Sinta dan bu Aliyah?” tanya bu Niken.Bu Tia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tapi beliau menjawabnya dengan anggukan kepala.“Saya merasa biasa saja, kalo berumah tangga memang seperti itu, pasti ada aja masalah yang bisa membuat
Bu Sinta tak melepaskan pelukannya sedikitpun dari tubuh anak semata wayangnya. Begitu bu Sinta masuk ke rumah mertua, bu Sinta melihat sosok Zahra yang tertidur dengan tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Jujur, ketika melihat sosok Zahra terlihat kesakitan seperti itu, membuat bu Sinta marah kepada dirinya sendiri, karena sudah membiarkan anaknya itu jauh dari pelukannya.“Kita langsung ke rumah apa rumah sakit?” tanya pak Helmi dengan jujur. Pak Helmi memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ketika Zahra sakit pun, beliau hanya bisa meminta tolong ibunya untuk merawat anak kesayangannya itu.“Apa kamu masih tanya meski sudah melihat kondisi Zahra yang seperti ini?” tanya bu Sinta dengan ketus.Tak seperti biasanya, pak Helmi sedikit takut dengan respon bu Sinta yang terlihat sangat marah itu. Sehingga, pak Helmi tidak mengatakan sepatah katapun dan langsung mengemudikan mobilny