Hari berganti. Semalaman Adeera dibuat tak bisa tidur membayangkan hidupnya setelah Elang pergi nanti. Berat sekali memang tapi ia sadar, keluarga lebih utama dari seorang sahabat.[Gue sama Elang udah di depan.]Adeera menghela napas berat saat membaca pesan yang dikirim Reynan. Lalu gegas menyeret langkah ke luar kamar.“Loh, nggak sarapan dulu?“ tanya Anjas yang sudah siap di meja makan. Adeera menggeleng.“Rey sama Elang sudah jemput,“ jawabnya.“Ya suruh mereka masuk dong. Kita sarapan bareng,“ sela Vina yang sedang menata sarapan.“Bawa bekal aja deh,“ jawab Adeera. Vina mengangguk.“Dah siap?“ tanya Reynan sambil melirik ke arah Adeera.“Sudah. Jalan, Mang! Tuan sama nyonya ada meeting dadakan,“ jawab Elang sambil tersenyum jahil.“Dih, Lu kira gua supir Lu ngapa,“ balas Reynan, nyo
Waktu bergulir begitu cepat tapi tidak bagi Adeera. Dua bulan rasanya berjalan sangat lamban. Kepergiaan Elang nyatanya membuat hidupnya berubah. Bukan hanya merenggut keceriaan tapi juga bobot tubuhnya.Reynan sendiri bingung harus berbuat apa. Sebisa mungkin ia melakukan apapun supaya gadis pujaannya ceria tapi belum kunjung membuahkan hasil. Adeera masih setia menatap kosong bangku yang dulu dihuni Elang.“Deer, beneran Lu nggak mau ke kantin?“ tanyanya pada Adeera yang kini tengah memandangi layar ponsel. Dua bulan berlalu setelah kepergiaan Elang, tapi hanya beberapa kali saja pemuda itu menghubunginya. Pesan dan panggilan Adeera pun jarang tersentuh.“Nggak deh. Lu aja, gue masih mau di kelas,“ tolak Adeera. Reynan hanya mendengkus kasar. Ingin memprotes tapi tak berani, jadilah ia mengayun langkah ke keluar kelas sambil sibuk mencari cara supaya Adeera tak murung lagi..
“Gimana ujiannya, Lang? Lancar?“ tanya Anggun saat Elang baru merebahkan tubuhnya di karpet.“Alhamdulillah lancar, Mbak. Angga sama Ibu kemana, Mbak?“ Elang balik bertanya. Matanya celingukan mencari sosok Angga. Anak Anggun yang biasanya menyambut dirinya dengan riang.“Lagi ke acara ulangtahunnya anak pak RW.“ Anggun menjawab dengan mata terus menatap pada layar laptop yang menyala.“Gimana orderannya, Mbak? Lancar?“ “Alhamdulillah, Lang. Lancar banget, oh iya bentar lagi kurir pick up, nanti tolong kamu keluarin ya,“ ujar Anggun.“Siap, Mbak.“ Elang menjawab. Matanya tertuju pada tumpukan kerajinan yang sudah dikemas.Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa, satu tahun sudah Elang berdomisili di Yogyakarta, lebih tepatnya Bantul. Selama itu, pahit manis ketirnya kehidupan sudah ia selami.Selang tiga bulan pindah, sang ayah
“Kenapa kamu cengar cengir gitu?“ tanya Anjas sambil melirik anaknya yang tersenyum malu-malu.“Enggak, Yah. Nggak kenapa-kenapa,“ jawab Adeera. Anjas tersenyum miring lalu merendahkan kecepatan.“Kamu lagi kasmaran ya?“ tanyanya. Mata Adeera membulat sempurna, pipinya pun sontak menghangat.“En-enggak. Ayah apaan sih,“ gerutunya sambil memalingkan wajah.“Ayah pernah muda, Nak. Sudah khatam sama tingkah orang kasmaran,“ kata Anjas dan Adeera bergeming.“Ayah nggak akan larang kamu pacaran tapi ayah jangan sampai salah pilih, Nak. Jadikan dia masa depanmu bukan hanya persinggahan atau kenangan,“ tutur Anjas sambil mengusap puncak kepala sang anak.Adeera terdiam. Dalam hatinya bertanya-tanya, apakah benar yang dikatakan sang ayah? Ia sedang jatuh cinta. Ia memang tak bisa memungkiri perasaan yang selalu hadir di saat ia bersama Reynan. Tatapan, perlakuan dan perhati
Momen perpisahan SMA telah tiba. Adeera begitu menawan dengan kebaya berwarna sage dengan bawahan rok jarik senada. Begitupun dengan Reynan, ia tampak gagah dengan setelan jasnya.“Kita masuk sekarang?“ tanya Reynan sambil mengulurkan tangannya.Adeera mendengkus kasar lalu mengangguk dan menyambut tangan sang kekasih, meski ada rasa kecewa di hatinya. Dulu saat pertama kali mendaftar SMA, ia berangan-angan bisa lulus bersama Elang. Namun harapannya itu sudah pupus. Ditambah semenjak ia dan Reynan menjalin hubungan sebagai kekasih, sahabatnya itu tak bisa dihubungi. Semua nomor dan akun sosial medianya tidak aktif. Menumbuhkan setumpuk kekecewaan di hati Adeera.“Kenapa cemberut?“ tanya Reynan sambil menatap wajah sendu Adeera.“Kamu kangen sama Elang?“ lanjutnya saat Adeera tak kunjung membuka suara.“Seandainya Elang ada sama kita, pasti aku bahagia banget,“ cetus Adeera sambil menahan a
POV AdeeraAku duduk dengan tegak sambil mengaduk jus alpukat yang baru saja diantar pelayan. Pandangan lurus ke depan, pada sosoknya yang empat tahun ini menjadi kekasihku. Kata orang, dicintai itu sangat menyenangkan tapi bagiku sekarang, hal itu malah terasa menyiksa. Reynan Pradipta, lelaki yang di awal masa pacaran kami selalu membuatku nyaman, kini justru sebaliknya. Dia terlalu over protektif, membuatku seperti burung dalam sangkar. Dia memang punya segalanya. Wajah rupawan, bergelimang harta dan punya segunung cinta untukku, tapi nyatanya tak mampu merobohkan dinding keraguan di hati ini. Alih-alih ingin segera jadi istrinya, aku malah dihantui kekhawatiran yang bermuara pada ketakutan untuk membina hubungan yang lebih serius.Bayangkan, empat tahun berpacaran dan selama itu aku tak diperbolehkan memiliki sahabat. Sekalipun perempuan. Bukan hanya itu, dia juga mengatur segala sesuatu yang kulakukan. Lucunya lagi, Mamah justru mendukung, tapi kali ini aku tak dapat lagi mena
Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa, hari ini aku akan menjalani sidang skripsi. Walau sudah berlatih sekuat tenaga, tapi tetap saja tubuhku rasanya panas dingin. “Semangat, Ay ... Aku yakin kamu pasti bisa.“ Reynan memberikan sebotol air mineral.“Makasih, Rey,“ ucapku sambil menerimanya dan segera membasahi kerongkongan yang terasa kering.“Jangan nervous, Ay.“ Reynan mengusap peluh di dahiku. Aku mengangguk dan tersenyum tipis, meyakini kalau diri ini bisa lancar menjalani sidang. Satu mahasiswi sebelumku sudah keluar. Gegas aku berdiri, mendekap bundel skripsi dengan mantap lalu mengayunkan sambil merapalkan doa dalam hati saat namaku dipanggil..Senyumku mengembang sempurna saat penguji menyatakan aku lulus dengan predikat memuaskan. Setelah mengucapkan terimakasih, buru-buru aku keluar dan spontan memeluk Reynan yang tengah berdiri di depan ruang sidang.“Ay!“ pekiknya sambil membalikan badan. Aku tertawa geli dan buru-buru memasang ekspresi sedih.“Gimana? Kamu lulus kan
Seorang pria bertubuh tegap keluar dari mobil Lexus LX dengan gagahnya. Kemeja blue navy dipadukan blazer senada membungkus tubuh atletisnya, jam tangan kenamaannya melingkar di tangan kiri sementara tangan kanan memegangi ponsel berlogo apel. Penampilannya semakin paripurna dengan kacamata hitam yang bertengger di pangkal hidung mancungnya. Sementara di belakangnya, seorang lelaki usia paruh baya membuntuti sambil memegangi tas kerja. Mereka masuk ke sebuah gedung berlantai tiga lalu disambut dengan bungkukan kepala para pegawainya.“Gimana perkembangan produk terbaruk kita?“ tanyanya begitu masuk divisi marketing.“Sejauh ini baik, Pak. Walau prospeknya belum signifikan, hanya saja kita ada kendala,“ terang ketua divisi marketing. “Kendala?“ Lelaki itu membeo dengan mata menyipit.Si ketua divisi mengangguk, “i-iya, Pak.““Bagaimana bisa?“ tanya lelaki itu dingin. Dengan tangan bersidekap dan menyapukan pandangan pada semua, membuat wajah mereka memucat seketika.“Saya sudah meninj