“Ga, mau ke mana?” tegur Zidan saat acara makan siang untuk merayakan pernikahan Dirga dan Reta selesai digelar.Langkah Dirga terhenti sebentar. Dia menoleh ke arah papanya yang sedang mengobrol bersama dengan adik-adik Dirga.“Ke kantor. Ada rapat dan sore nanti aku harus ke Jepang,” jawab Dirga. Dia menunjukkan koper biru tua yang ada di tangannya itu.“Ini hari pertama pernikahanmu, Ga. Di rumah dulu saja,” suruh Zidan. “Kamu nggak menghargai Reta sebagai istrimu.”“Aku sudah menuruti keinginan Papa dan Mama buat menikah. Sekarang terserah aku dong mau ngapain. Yang penting aku udah nikah, kan?” timpal Dirga. Dia mengingatkan kembali perjanjiannya dengan Zidan dulu. “Udah ya, Pa. Aku ada kerjaan menumpuk dan belum aku urusi gara-gara sibuk menyiapkan pernikahan ini.”“Reta bagaimana?” tanya Zidan. Dia mencoba bersabar menghadapi anak sulungnya yang memang terlampau bandel sejak kecil itu.“Reta kan harus pengobatan. Mendingan langsung bawa ke Singapura aja,” tutur Dirga. “Aku suda
Reta mengikuti pemeriksaan awal ke rumah sakit untuk melihat saraf kaki dan punggungnya. Dia mengikuti rangkaian pemeriksaan dan hasilnya keluar sekitar satu jam kemudian.“Dok, bagaimana dengan kondisi saya? Apa masih ada kemungkinan bagi saya untuk berjalan?” tanya Reta penuh harap. Dia termasuk sudah telat untuk menjalani terapi saraf dan jalan karena tak memiliki biaya. Namun, dia tetap berharap bahwa dia bisa kembali jalan kaki.“Ada beberapa saraf yang terjepit tapi masih bisa dikembalikan ke posisi semula dengan operasi dan terapi,” tutur si dokter. “Setidaknya Anda harus melakukan operasi dan terapi. Butuh waktu lama untuk penyembuhan. Sekitaran satu atau dua tahun.”Reta terkesiap dalam kebingungan. Ada harapan besar bagi dia untuk kembali sembuh. Namun, dia butuh waktu maksimal dua tahun agar bisa sembuh.Sebuah sentuhan lembut jatuh di kedua pundak Reta. Reta tersentak dan tersadar dari lamunan kebingungannya.“Reta, Mama nggak masalah soal biaya pengobatanmu kok,” bisik Ru
Dirga berdecak usai menonton video kiriman sang mama. Dia masih berada di Jepang sekarang. Selain memang ingin lari dari situasi pernikahan yang tidak dia inginkan sejak awal, dia memang memiliki beberapa tender proyek pembangunan gedung milik orang Indonesia yang dikembangkan di Jepang.Tentu saja Dirga tak bisa semudah itu bepergian. Dia harus bertanggung jawab mengecek harian proses pembangunannya dan mengawasi rancang bangunan sesuai dengan desain dan kekokohan bangunan atau tidak.“Dia terlihat lebih sehat,” gumam Dirga. Telunjuknya mengusap tepat di bagian wajah Reta tampak di layar ponselnya. Dalam hati, Dirga turut berbahagia karena Reta menunjukkan hasil pengobatan yang positif.Sebuah ketukan terdengar dari luar ruang kerja Dirga. Segera Dirga berhenti menatap ponselnya. Dia menaruh ponselnya di meja dan mempersilakan tamunya masuk.Tampak asistennya datang dengan setumpuk laporan progres pembangunan yang memang Dirga inginkan. Dirga termasuk tipe orang yang ketat dalam hal
“Kemasi barangmu,” ucap Pimpinan perusahaan arsitek di mana Margareta bekerja. “Kamu sudah membuat klien istimewa kita kecewa dan gajimu selama bertahun-tahun pun tak akan bisa mengganti kerugian ini.” Margareta tertegun. Dia tak tahu jika kesalahan yang dia lakukan akan berdampak besar pada karirnya. “Pak, saya bisa jelaskan—“ “Tidak perlu dijelaskan. Semua ini sudah sangat merugikan perusahaan kita dan kamu harus bertanggung jawab. Kemasi barangmu secepatnya sekarang!” balas pria bertubuh jangkung itu. Margareta tahu dia memang melakukan kesalahan saat menemui klien yang merupakan seorang influencer ternama itu. Ya, pria bernama Jason itu memang menjadi klien premium di perusahaan tempat Margareta bekerja. Pria itu ingin membuat sebuah desain kafe unik untuk tempat nongkrong para influencer. Margareta membuat desain kafe yang hommy dengan konsep artsy untuk Jason. Dia selalu membuat laporan mingguan. Anehnya, Jumat lalu, Jason mengajak Margareta bertemu. Mereka bertemu di sebua
Kepala Reta terasa berkunang-kunang. Pandangannya perih saat kelopak matanya terbuka dan cahaya menerobos masuk ke dalam penglihatannya.Agar tak begitu perih, Reta mengerjap-ngerjapkan pandangannya. Dia memfokuskan pandangannya. Tampak atap berwarna putih.“Reta, kamu sudah sadar?”Terdengar ucapan Ninda, teman kuliah Reta yang kini memiliki usaha sebuah kafe komik di Bandung. Reta ingin bicara. Sayangnya, lidahnya terasa kelu sekarang.“Aku panggilkan dokter sebentar,” ujar Ninda. “Sabar ya, Ret. Sabar.”Ninda memencet tombol pemanggil perawat. Tak berapa lama, seorang dokter dan perawat datang.Reta hanya bisa berbaring pasrah di ranjang. Dia mencoba mengingat apa saja yang dia alami sebelum dirinya terdampar di atas ranjang yang dipenuh dengan aroma disenfektan menyengat ini.“Ini angka berapa?” dokter mengecek ingatan Reta.“Satu, Dok,” jawab Reta setelah dirinya bisa diajak bicara.“Nama Anda?”“Reta. Margareta.”“Pekerjaan?”“Arsitek,” ucap Reta. Dia menjawab apa saja yang dita
“Gimana?” Ninda melangkah menghampiri Reta.Sudah berjalan tiga bulan semenjak Reta keluar dari rumah sakit. Tiap seminggu sekali Reta periksa ke rumah sakit untuk latihan menguatkan syaraf bawah tubuhnya.Reta tahu harapannya itu tipis. Namun, masih tersisa harapan besar dalam hati Reta bahwa dirinya akan bisa berjalan lagi.“Ini aku lagi cek email. Katanya hari ini pengumuman buat wawancara perusahaan,” terang Reta.Ninda menyodorkan makanan ke depan Reta. “Makan dulu, Ret. Jangan sampai kurang gizi,” ujar Ninda.“Aku belum gitu laper, Nin,” Reta membuka email masuk teratas. Hatinya berdebar-debar.Sorot mata Reta membaca satu per satu tulisan yang ada di email itu. Penolakan. Reta mendesah resah. Lagi-lagi dirinya ditolak.Dia berdecak. “Kenapa ya? Padahal, aku udah kirim semua portofolio terbaikku,” ucap Reta sedih. Dia sungguh berharap ada satu saja perusahaan yang mau memanggilnya untuk ikut wawancara pekerjaan.“Ret, cek lagi. Itu kan ada banyak email masuk,” Ninda menunjuk lay
Reta menunggui kliennya di rumah sakit. Kliennya itu sudah ditangani oleh dokter sepenuhnya. Kini Reta tinggal menunggu kedatangan pihak keluarga dari kliennya itu."Ret, udah kamu hubungi kan keluarganya?" tanya Ninda mengecek. Ninda menoleh ke arah lorong di mana orang-orang biasanya datang membesuk pasien. Tak tampak kedatangan seorang pun di sana.“Tunggu bentar lagi. Aku udah kirim pesan sama ttelepon ke alamat kantornya Bu Rumi kok," balas Reta.Pandangan Reta kembali mengarah ke kartu nama milik Rumi. Dia kembali menelepon kantornya dan memberitahu bahwa Rumi sedang di rumah sakit.“Iya, terima kasih informasinya. Sekarang anak Bu Rumi sudah ke rumah sakit,” jawab bagian administrasi perusahaan Rumi.Reta menghela napas lega. Setidaknya sudah ada anak Rumi yang datang ke rumah sakit.“Nin, kita balik duluan aja. Kamu kan ada acara habis ini. Kalau mepet berangkatnya nanti kena macet,” tutur Reta.“Nggak apa-apa nih kita tinggal?”“Tadi anaknya udah jalan ke sini kok. Kita balik
Baru saja keluar dari lokasi tes wawancara, ponsel Reta sudah berdering. Reta merogoh saku roknya. Dia bisa melihat nama Rumi ada di layar ponselnya.Reta menggerakkan kursi rodanya ke pinggiran. Dia menerima telepon di tepian lorong tempat dirinya tes wawancara tadi.“Iya. Apa kabar, Bu Rumi,” sapa Reta dengan ramah. “Apa Ibu sudah baik-baik saja?”“Reta, makasih ya. Berkat kamu, saya tertolong,” balas Rumi dengan sangat ramah.Hati Reta merekah mendengarkan suara ramah Rumi. Mendadak dia memiliki intuisi bagus tentang kontrak kerjasamanya dengan Rumi.“Bu Rumi masih di rumah sakit? Atau, sudah pulang?” tanya Reta. “Beneran udah baikan, kan, Bu?”“Sekarang lagi persiapan pulang ke rumah. Saya tidak betah lama-lama di rumah sakit.”“Saya senang Ibu bisa sehat lagi. Kemarin saya kaget dan khawatir. Saya kira Ibu kenapa-kenapa. Apalagi, kita kan lagi di kafe, Bu. Mendadak saya jadi teringat kejadian kasus kopi sianida. Takutnya nanti saya dituduh yang tidak-tidak,” celoteh Reta setengah