Ethan bergegas menuju rumah Grace, tapi Grace sudah berangkat kerja dan dia hanya bertemu dengan beberapa pembantu di sana. Kedua orangtua serta adik-adiknya pun tak ada di rumah.
Tanpa berpikir lebih panjang, Ethan segera pergi menuju bar tempat Grace bekerja. Di dalam perjalanan dia terus memikirkan Grace.
“Apakah kejadianku akan kembali terulang pada Edward? Aku tak yakin Edward mampu mengatasinya. Laki-laki tua itu benar-benar kejam dan tak pandang bulu, bahkan mampu menyingkirkan semua lawan bisnisnya dengan segala taktiknya,” kata Ethan sembari menyetir.
Tak sampai setengah jam, Ethan sampai di bar. Dia langsung berlari ke arah ruang ganti di tempat biasa Grace bersiap-siap sebelum tampil, dan tebakannya pas. Grace ada di sana sedang bersiap-siap.
“Grace!” seru Ethan membuat Grace berhenti memulas wajahnya.
“Ethan? Ada apa?”
“Ikut aku sekarang. Kau jangan banyak tanya.”
“Ta-tapi pekerjaanku?”
“Aku yang akan berneg
“Edward, kenapa aku tak pernah menyadarinya, Ethan,” ujar Grace pelan serupa bisikan. “Kenapa?” “Aku menyadari sesuatu, mungkin aku memang egois, keras hati, tapi aku tak pernah berniat menyakitinya.” “Grace, kali ini semua keputusan ada padamu. Kau harus bisa memilih; aku, Edward, atau Kevin. Tapi sekalipun kau sudah memilih, aku mungkin tetap tak akan pernah mundur.” “Ethan, apa benar aku menyakiti Edward?” “Bukti apa yang kurang? Apa kau pernah tahu jika Edward pernah melukai tangannya? Vanes pernah bercerita, beberapa bulan lalu saat kembali ke rumah dalam keadaan hancur dan berantakan, dia melukai telapak tangannya dengan menekan sebuah gelas di dalam genggamannya. Aku tak tahu masalah apa, yang aku ingat Vanes berkata saat itu dia habis bersamamu.” Grace teringat di malam saat dia dan Edward bertengkar di hotel. Edward merobek gaunnya, setelah itu Edward meminta maaf dan menawarkan diri mengantarkan Grace pulang dan dia menolak d
“Semua keputusan ada padamu. Menyerah dan kau kembali padaku, atau kau ingin melanjutkan yang berarti kau harus menghadapiku. Jika kau memilih menghadapiku, itu artinya kau siap menentangku dan kau akan menerima segala resikonya. Aku akan membuatmu kehilangan segalanya, Ed.” Kehilangan segalanya? Harta? Tahta? Apakah dia siap? “Apa jawabanmu?” tanya Mr. Jason dengan tenang. Dia tak akan peduli sekalipun Edward berlutut dan mengemis di hadapannya. Baginya siapa pun yang berani menentang adalah musuh, tak terkecuali darah dagingnya sendiri! ‘Aku harus bagaimana? Apa aku siap? Apakah berlebihan jika aku harus memperjuangkan Grace?’ batin Edward penuh pergulatan. Cepat atau lambat meski dia berusaha menyembunyikannya, semua akan ketahuan, dan Edward sudah mengetahuinya lebih dulu. Tapi bergerak mundur begitu saja tanpa memberi perlawanan sama saja menyerah sebelum berperang. “Aku menunggu jawabanmu. Kau tahu ibumu jika dia
Grace terdiam. Jujur saja, saat ini pikirannya memang hanya ada Edward. Mungkin Ethan berpikir Grace tak pernah memahami kata-kata yang dia ucapkan tentang Edward. Tapi dia salah, Grace memahami segalanya meski dia menutupi dengan berpura-pura bodoh. “Ayah pasti akan membuatmu berpisah dengan Edward melalui cara apa pun. Grace, aku tak tahu siapa yang pada akhirnya nanti akan bersama denganmu. Tapi kupastikan Edward akan mengorbankan sesuatu untukmu dengan matang. Dia mencintaimu, sangat mencintaimu meski dia tak pernah bisa mengatakannya. Aku pun ... men—“ Ethan terdiam dia malu melanjutkan kalimatnya. Dia malu mengulang-ulang perasaannya terhadap Grace. “Katakan saja.” “Aku juga menyukaimu seperti yang kukatakan. Mungkin lebih dari sekedar suka. Jika kau paham.” “Semua berhak memilih siapa yang dicintai, dan aku tak berhak melarang. Tapi, aku belum pernah memiliki hubungan dengan siapa pun. Semua pasti menganggapku murahan dengan sikapku yang semaun
Keduanya sampai di South Haven, sebuah kota kecil dengan pesona pantai di sekelilingnya. Tempat itu adalah sebuah tempat rahasia yang Ethan tak pernah tunjukkan pada siapa pun, di saat dia penuh dengan masalah, dia akan lari ke South Haven, mengasingkan diri dari keramaian dan berpikir. Ethan tak pernah mengajak Karen ke South Haven. Grace adalah gadis pertama yang diajaknya mengunjungi resort miliknya yang tertata rapi dengan dekorasi indah. Di sepanjang jalan masuk beberapa pepohonan rindang sengaja diletakkan di sana menyerupai gerbang masuk yang terbuat dari ranting pepohonan. Grace tak henti-hentinya mengagumi resort yang terlihat nyaman dan asri itu. “Indah sekali,” ujar Grace melayangkan pandangan ke sekeliling. “Kau makan dulu, setelah itu baru kita mencari pakaian. Tak mungkin kau memakai pakaian seperti itu,” kata Ethan seraya menunjuk pakaian yang dikenakan Grace. Pakaian yang hanya menutupi dada dan juga bagian bawah lebih menyerupai celana dalam.
Ethan agak terkejut mendengar kalimat Grace. Nada suara Grace terdengar serius, gadis ini tak main-main bahkan lebih berani dari Karen. Karen tak pernah mau menentang, dia hanya pasrah dengan keadaan, menerima, dan mengikuti apa yang dia mau. Dia ingat saat dia memperjuangkan Karen dulu, melakukan segala hal bodoh, Karen yang terus ditekan dan diteror justru memberi keputusan untuk melepaskannya. Jika bukan karena saat itu Ethan hampir mati, Karen mungkin sudah menyetujui keputusan ayahnya untuk meninggalkannya. Karen kembali padanya dan kabur bersamanya karena Ethan yang mengancam jika Karen meninggalkannya, maka dia tak akan pernah melihat Ethan selamanya. Dia yang meminta Karen untuk memperjuangkan cintanya. Lukisan yang Karen buat adalah lukisan Ethan yang menyayat tangannya, dan dijadikannya sebagai peringatan keras bagi dirinya. Karen tak bisa meninggalkan Ethan saat itu karena dia merasa bertanggungjawab dengan kehidupan Ethan yang telah dikorbankannya. Di lua
“Kenapa aku tak bisa melakukan apa pun?” “Ed, kalau kau masih berpikir dan terus berpikir. Besok sudah harinya, kau mau berdiam diri seperti ini? Taktik apa yang sedang kau pikirkan, hah?!” tanya Vanes jengkel. “Biarkan aku berpikir, masih ada beberapa puluh jam. Temani aku ke bar, aku ingin minum, lalu mabuk sampai aku tak sadarkan diri!” “Lalu bagaimana kau bisa berpikir?” tanya Vanes bingung. “Itu urusan belakangan, aku benar-benar sudah lelah!” * Apa yang ditakutkan Ethan menjadi kenyataan. Mrs. Jason pun sudah mengetahuinya, dia bersiap-siap kembali ke Detroit menyusul suaminya. Wanita diktator dan keras hati itu sudah menyiapkan sebuah pesawat pribadi yang akan segera membawanya ke Detroit, dan membuat kejutan yang lebih menakutkan ketimbang suaminya. Dua setengah tahun yang lalu, dia pun ikut andil berusaha memisahkan Ethan dan Karen. Tak ada rasa kasihan di dalam hati wanita itu. Mrs. Jason hanya menganggap kedua putran
“Tunggu sebentar. Kau begitu tenang mengatakan ini, apa kau sudah tahu sebelumnya?” Grace mengangguk, hanya itu saja tak memberi penjelasan lain. Kemudian Grace berjalan mendahului Ethan, dan terus menyusuri sepanjang pantai. Ethan membiarkan Grace, dia tak mengejarnya. “Ethan.” Ethan mengenali suara yang memanggilnya dari belakang. Dia menoleh ke belakang, dilihatnya Kevin sedang berdiri. “Kau?” “Apa kabar?” “Ba-bagaimana kau bisa menemukan aku dan Grace?” “Kau tak mengecek handphone milikmu?” tanya Kevin. “Maksudmu?” “Grace menghubungiku semalam menggunakan handphonemu, memintaku datang kemari untuk menjemput kalian. Kau tak mau berterima kasih padaku? Jauh-jauh aku kemari untuk membawa kalian kembali ke Detroit,” ujar Kevin sekali lagi. “Untuk apa Grace menghubungimu?” “Entahlah. Tak perlu menggunakan mobilmu, biarkan mobilmu tinggal di sini. Kau dan Grace ikut denganku. Jangan membuat
Vanes dan Mark sampai di South Haven, dan mereka pun memutuskan untuk segera kembali bersama Grace, Kevin, dan Ethan di dalam satu mobil untuk mengalihkan perhatian jika ada yang mengikuti mereka. Edward sendiri tak bisa dihubungi, dia menghilang tanpa kabar, dan mereka tak tahu di mana Edward saat ini. Sedangkan waktu terus berlalu mendekati acara pertunangan yang sudah disusun dengan rapi oleh kedua orang tua Edward. “Kira-kira ke mana Edward?” tanya Ethan. “Kami tak tahu, dia menghilang dari kamarnya tadi pagi. Nomornya pun dimatikan. Apa kau tahu ke mana dia biasanya pergi untuk menenangkan pikirannya?” Mark menyahut dari bangku depan. Mereka semua benar-benar dilanda kebingungan, sebentar lagi jam tujuh malam, tak ada tanda-tanda Edward akan menghubungi mereka. “Aku tak tahu,” jawab Ethan singkat. Mereka berlima menuju hotel di mana acara pertunangan akan diadakan. Ketika melewati lobby, banyak sekali orang berlalu lalang, sepertinya mere