“Boleh dicek?” tanya pria itu lagi.
“Kurasa aku juga perlu mengecek keaslian uang tersebut!” balas Lyan tak mau kalah. Pria tua tadi menarik plastik hitam yang berisi uang menjauh dari jangkauan Lyan.
“Silahkan,” ucap bos tersebut, lalu dengan isyarat mata dia menyuruh si pria tuan memberikan uang yang dimaksud. Lyan juga mengeluarkan barang bawaannya dan meletakkan di atas timbangan digital. Berat total 1000,05 gr.
Lyan menyesal meminta untuk mengecek keaslian dan jumlah uang dari pria tersebut karena dia tak punya alat seperti dokter gadungan kemarin. Lyan hanya memperkirakan jumlah ikatan uang yang diserahkan pria tua tadi.
Setelah saling mengecek, Lyan meninggalkan tempat. Pria itu memberik
“Semalam kata Emak, Mbak keluar menghadapi preman. Sekali tendangan, mereka jatuh semua. Terus Mbak diajak kemana sama preman itu?” Lyan menaruh jari telunjuk ke depan bibirnya, “kantor polisi, jangan bilang-bilang ya!” bisik Lyan. Rahma membulatkan matanya. “Mbak Lyan keren ya!” “Jawab tidak tau kalau ada yang bertanya ya!” tegas Lyan. Rahma menganggukkan kepalanya. Setelah mandi dan bersolek, Lyan berpamitan pada anak kelas empat SD itu dan memberikan kardus berisi keripik itu pada Rahma, “boleh kau jual, dimakan sendiri atau diberikan pada orang lain.” Lagi-lagi Rahma mengangguk tanda mengerti. Rahma masih kagum dengan Lyan. Lyan meninggalkan ru
“Kalau gak diizinkan mama, nanti tidur di kamarku aja!” kata Azka ngotot.Lyan dan Mbak Susi saling berpandangan. “Mas Azka bisa aja, saya sudah terbiasa tidur di sini kok.”“Jangan dong, masa perempuan tinggal di tempat seperti ini. Gak layak banget.” Azka masih tetap pada pendiriannya.“Uang saya gak sebanyak Mbak Susi yang bisa ngekos di sana. Dibolehin tidur di sini, syukur banget, Mas.” seloroh Lyan.“Justru itu, Mbak. Saya gak lama kok tinggal di sini. Selebihnya Mbak Lyan bisa tidur di kamar saya selama saya gak tinggal di sini. Oke?” paksa Azka.“Apa mungkin saya dan Mbak Susi bisa sekamar?” balas Lyan.
Lyan melongo mendengar apa yang dikatakan Azka. Azka terlihat sangat bersemangat.“Sepertinya Tante Angel tak akan mengizinkan aku pergi.” ucap Lyan takut-takut.“Gak usah pedulikan dia. Aku akan bertanggung jawab jika mamaku marah padamu.” kata Azka pasti.“Bukan begitu, Mas. Masalahnya bukan hanya marah pada saat ini saja, tapi masa depanku. Kalau sampai Tante Angel mengusirku, dimana lagi aku akan tinggal?” Kedua mata Lyan berkaca-kaca.“Kamu gak percaya sama aku? Mbak Susi aja pernah aku antar mudik seminggu dan diberhentikan kerja di sini. Tapi, buktinya sampai sekarang Mbak Susi masih nyaman kerja di sini. Iya kan, Mbak?” ucap Azka pasti.“Tapi setidaknya, temani aku
Lyan menggerakkan tangannya yang digenggam seraya menaruh rambut di belakang telinganya, memastikan apa yang baru didengarnya tidak salah.Tante Angel mengerling putranya, “kau yakin dengan kata-katamu?”Azka mengangguk pasti lalu memeluk tangannya yang tengah menggenggam jemari Lyan.Tante Angel menatap nanar keduanya, Lyan jadi salah tingkah.“Azka, putra kecilku sayang kini telah jatuh cinta. Ajaklah kemanapun cewek itu semaumu. Tapi tolong jaga dia baik-baik.” Tante Angel terkekeh.“Terima kasih.” Azka segera menarik Lyan keluar dari ruang kerja mamanya.Azka terus menarik tangan Lyan sampai ke pinggir kolam di samping rumah. Lyan tertunduk malu dan serba salah, gugup menghadapi pria yang kini duduk di hadapannya. Lama keduanya diam hingga Azka mulai menyulut rokoknya lalu menghembuskan lewat hidungnya.
“Kamu pasti berbohong!” Lyan menatap mata Azka tajam. “Sekarang kamu tidur ya! Besok pagi kita berangkat.” Azka meninggalkan Lyan sendiri di dalam kamar. Lyan menangis lagi, mengingat neneknya. Tetangganya sangat kejam dan tak punya hati. Tak adakah sedikit kebaikan keluarganya hingga mereka berbuat begitu jahat pada keluarganya. Apa benar yang dikatakan Azka tentang nenek, kemana nenek pergi, dimana nenek berada sekarang. Lyan tak dapat memejamkan matanya hingga pintu diketuk dari luar. Lyan segera membukakan pintu, berharap Azka mengajaknya pergi untuk menjenguk neneknya malam ini. Tante Angel berdiri di depan pintu, dengan sangat terpaksa Lyan mempersilahkan masuk ke dalam kamar.
“Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb
“Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t
“Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.