Kurasakan mimik wajahnya berubah. Seperti tak menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulutku. Aku merasa seperti wanita yang berbeda. Sungguh, aku tak dapat lagi mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar hampir gila.
"Jangan bercanda, Key. Kau hanya menghiburku," decihnya.
"Aku tak peduli. Apa yang kau pikirkan saat ini, tak lagi penting buatku. Yang kutahu, saat ini kita saling mencintai. Kau harus mengakui itu. Kau juga menginginkanku lebih dari diriku sendiri. Aku tak akan membiarkan kau lolos kali ini, Fi."
Segera aku menarik wajahnya, tak peduli lagi apa yang saat ini membuatnya takut. Kami semakin terlena, dan aku sudah mengambil ancang-ancang agar ia tak lagi melepaskan aku.
"Kau yakin, Key?" bisiknya, di sela-sela deru napas kami.
"Buktikan kalau kau memang laki-laki normal, Fi. Atau kau akan kehilanganku untuk selamanya. Aku sedang mengancammu," balasku dengan desahan menggoda.
Ia kembali mengecup keningk
Kurasa Erik benar-benar terkejut dengan apa yang sudah kuketahui. Meski hubungan Mamaku dan Papanya telah lama berakhir, kurasa mereka masih saling mencari informasi satu sama lain. Itulah sebabnya aku mengetahui semua masalah yang mereka hadapi."Baguslah, kalau kau tidak menyangkalnya. Aku akan katakan semuanya pada Papa. Setidaknya dia harus berhati-hati pada orang kepercayaannya selama ini.""Tunggu, Key!" Dia menarik lenganku, yang baru saja berbalik hendak melangkah."Lepaskan tanganmu, brengsek!" Aku berusaha menepiskan pegangannya. "Kau tidak punya hak menyentuhku."Dia melepaskanku, kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti tanda menyerah."Tolong rahasiakan hal ini, Key. Aku tak ingin Papamu salah paham," pintanya."Salah paham? Jadi kau mengakui bahwa kalian merencanakan sesuatu?""Demi Tuhan, Key. Aku tidak akan mungkin melakukan itu.""Kau pikir aku percaya?" Aku berdecih.
Oh, good. Suasana makan malam masih saja terasa kaku. Entah, mungkin karena aku tak terbiasa makan bersama mereka. Saat masih tinggal di rumah ini pun, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar, namun tetap harus pulang apa pun yang terjadi.Ya, itulah Papaku. Papa yang sudah tak kukenal lagi sejak bertahun-tahun yang lalu. Kata Mama, dia membenciku karena wajah dan sikapku mirip Mama. Tapi menurutku, akulah yang lebih membencinya.Aku benci situasi ini, dimana Erik dan Elena harus duduk di hadapan aku dan juga Kahfi. Sedang Mama mereka, duduk manis di sampingku. Rasanya ingin sekali mengeluarkan makanan yang baru saja masuk ke perut, melihat situasi keluarga kami yang aneh ini."Apa kalian tidak berbulan madu, Key?" ucap wanita itu dengan mulut manis, seperti biasanya.I dont know. Kurasa otaknya sudah bebal. Dia terus berbicara padaku, meski aku tak pernah menjawabnya. Apa dia tidak punya malu? Tak ada gunanya menjilatku. Toh P
Kami kembali melakukan sarapan bersama. Kali ini suasana hatiku cukup membaik. Setidaknya, aku sudah punya cara untuk mengawasi perusahaan Papa, dan juga kisah tadi malam bersama Kahfi tentunya. Uh, manisnya.Yah, walaupun untuk saat ini, aku tak tahu apa yang akan kulakukan nanti sesampainya di sana. Aku cukup pusing memikirkan pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan keahlianku. Berfoto, dan hanya bisa menarik perhatian orang. Tapi setidaknya, aku punya alasan untuk selalu datang ke hotel, tanpa perlu mengendap-endap lagi.Wajah Elena masih tetap sama. Masih saja tegang dan sangat sinis terhadapku. Kalau aku jadi dia, mungkin aku tak akan turun untuk berkumpul seperti ini lagi. Dasar penjilat. Dia hanya ingin terlihat baik di hadapan Papa, hingga menebalkan muka untuk tetap hadir dan berkumpul bersama setelah semua yang terjadi.Secara bergantian aku terus melirik ke arah dia dan Erik. Berusaha membaca mimik wajah mereka tentang keputu
"Lepaskan aku bajingan!" Aku masih berusaha melepaskan diri dari cengkramannya."Berhenti menyiksaku, Key. Aku mohon. Hentikan semua ini. Lepaskan Kahfi, dan kita kelola perusahaan bersama. Kau hanya akan membuat malu Kahfi. Dia tidak tahu apapun tentang itu perusahaan sebesar itu." Suaranya terdengar parau."Oh, ya?" Aku semakin menantang. "Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan dengan cepat menarik perhatian Papa. Anak tiri, atau menantu laki-lakinya!""Kau benar-benar berubah, Key. Semakin lama kau semakin keterlaluan. Kau bukan seperti Key-ku yang dulu.""Sorry, Erik. Aku memang tak pernah menjadi milikmu, walau hanya sebentar. Jadi, hentikan semua mimpi konyolmu itu. Aku, ataupun harta Papa, tak akan pernah jatuh ke tanganmu."Dia terdiam. Melonggarkan pegangannya. Aku jadi punya kesempatan untuk melepaskan diri, tanpa ditahan lagi olehnya. Aku bergegas mendorong tubuh tinggi kekar itu menjauh, kemudian membuka pintu yang berada te
"Erik? Apa yang kau lakukan di rumahku?" Aku bergegas menghampiri dia, yang sedang duduk bersantai di kursi teras."Key?" Senyum seringai menghiasi wajahnya."Mau apa, kau?""Mana Kahfi?""Ada urusan apa kau mencari suamiku?""Berhenti menyebutnya sebagai suami, Key. Aku benci itu.""Kalau kau membencinya, maka pergilah. Berhenti mengganggu kehidupan kami.""Aku tak bisa. Aku sudah lelah dengan semua ini." Matanya yang tajam, semakin liar menatapku."Apa maumu, Erik? Kau mengganggu. Katakan cepat, lalu pergi dari sini. Aku tak ingin suamiku melihatmu berkeliaran di sekitarku.""Sudah kubilang, justru aku ingin bertemu dengannya.""Apa yang ingin kau bicarakan?""Kau penasaran?" Dia tertawa, kemudian bangkit dan berjalan mendekatiku. Aku mundur selangkah, agar jarak kami tak terlalu dekat."Aku ingin mengambil milikku kembali. Aku akan memintanya segera mundur dan melep
Suara Erik terdengar berdecih. Raut wajahnya yang tadi penuh percaya diri mendadak berubah. Mungkinkah dia tak menyangka, bahwa Kahfi akan mengucapkan kata-kata seperti itu?"Kau tahu apa maksudku, Kahfi. Key hanya menikahimu untuk sesuatu. Dan kau tahu bahwa dia hanya memanfaatkanmu untuk membuat marah Papanya, dan juga... aku.""Aku tak peduli. Aku senang, karena nyatanya sebagai teman, aku masih bermanfaat dan bisa membuatnya merasa puas. Kenapa kau keberatan?""Kau hanya dimanfaatkan, Fi. Percayalah, aku hanya merasa kasihan padamu. Aku tahu kau laki-laki yang baik. Tapi Key, sama sekali tidak pernah tertarik padamu.""Sialan kau, Erik!" Aku bergegas mengambil langkah, ingin mendaratkan pukulan serupa. Namun langkahku terhenti karena pria berkulit putih yang kini berada di sampingku, menarik tangan untuk menahan langkahku."Terima kasih atas perhatianmu, Erik," sahutnya. "Tapi untuk saat ini, Key sudah menjadi istriku. Hanya aku yan
Kurasa Kahfi pergi terlalu lama. Sifa dan Ibu bahkan sudah pulang dari tadi. Kemana dia? Menghindar dariku? Sampai kapan? Hari sudah hampir malam, dan aku benar-benar gelisah.Oke! Fine. Pergilah. Aku tak ingin membujuknya seperti anak kecil yang sedang merajuk. Aku sama sekali tidak peduli.Aku mengambil tas, lalu memakai sepatu highheels untuk keluar. Memikirkan sesuatu, lalu kembali masuk ke kamar dan mengganti sepatu sialan ini dengan flatshoes yang lebih nyaman."Maaf, Bu. Kurasa kali ini aku tak bisa ikut untuk makan malam," ucapku, sambil terus berjalan menuju pintu.Kemana si brengsek itu? Dia bahkan tak mengangkat panggilanku. Apa dia sedang membalas dendam? Tidak. Itu bukan sifatnya. Aku tahu dia begitu mencintai, dan tak akan mungkin melepaskanku begitu saja.Dasar Erik sialan! Tunggu saja sampai aku bisa menyingkirkanmu dari kehidupan kami selamanya. Dasar pembuat onar!Aku melajukan mobilku dengan b
"Menjemput istriku." Sebuah kecupan mendarat di pipiku."Oh, shit. Are you crazy?" Aku mengusap kasar pipi bekas bibirnya yang masih basah. "Kemana saja kau seharian ini? Apa kau masih menganggap aku istrimu?""Tentu saja. Sudah kubilang, aku bukan orang bodoh yang mau kehilangan gelar sebagai menantu konglomerat."Cisis... aku mendorong bahunya dengan keras. Dia tertawa kecil, lalu menatap wajahku."Maafkan aku, Key. Aku hanya tak tahu bagaimana caranya mengatakan bahwa aku tak ingin kau tinggalkan.""What do you mean? Apa kau sudah gila? Kenapa aku harus melakukannya?""Aku masih kalah jauh dengan Erik. Dia sangat tampan dan juga terlihat gagah. Aku takut kau semakin tertarik dengannya.""Oh, God. Sejak kapan kau selemah ini, Fi?" Aku kembali menghisap canduku. "Dan kau sama sekali belum menjawab pertanyaanku tadi, brengsek!""Aku menemui Papamu.""What?" Aku terbatuk. Kurasa asap ini langsung masuk begitu