"Nggak kok, aku sama El gak nakal. Tapi Mami yang tiba-tiba menangis.""Iya, Pi. Mami tiba-tiba nangis."Mas Anggara langsung melihat ke arahku tanpa bertanya apa-apa tetapi tatapannya seolah bertanya-tanya tentang kebenaran dari ucapan anak-anak yang jelas tidak akan berbohong."Kalau begitu artinya kalian harus nurut sama apa yang Mami katakan sama kalian. Kalian tidak akan selamanya kecil, tidak akan selamanya bergantung pada Mami atau Papi, kalian akan besar dan melakukan banyak hal sendiri. Tidak ada yang salah dari apa yang Mami kalian bilang.""Tapi kenapa harus menangis, Pi? Kita kan gak nakal," ucap Al."Kalau Mami nangis, kalian harus usap air matanya. Sama kaya apa yang Mami lakuin kalau kalian sedang menangis.""Gitu ya, Pi?""Iya begitu, El. Sekarang bereskan dulu alat-alat gambarnya, terus kita tidur."Al dan El pun segera membereskan alat-alat gambarnya mereka."Sayang, kamu tunggu di kamar. Jangan tidur dulu karena ada yang ingin aku bicarakan."Setelah aku ada di kama
"Iya, Ma. Kami jarang berkunjung karena memang sibuk mengurus si kembar di tambah bayi ketiga kami sudah lahir. Kami malah menunggu Papa dan Mama di rumah," ucapku sambil tersenyum. Aku bukan Mas Anggara yang hanya diam jika orang lain bertindak tidak mengenakan."Makanya dari awal kan Mama bilang cari pengasuh bayi. Jangan terlalu pelit, masa buat bayar pengasuh saja tidak bisa. Apa perlu Mama yang bayarkan? Perusahaan Papa sudah jauh lebih maju saat dipimpin sama Leon. Ya anggaplah hadiah dari Mama."Aku melirik Mas Anggara sekadar ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar saudara tirinya yang malah memimpin perusahaan sang ayah, sementara anak kandung sendiri jatuh bangun untuk membangun bisnis sendiri, malah dengan bantuan orang lain.Terkadang memang, orang terdekat akan terasa asing. Sedangkan orang asing itu sendiri bisa menjadi yang paling dekat, paling membantu dan paling mengerti."Tidak perlu. Saya masih sanggup memberikan semua yang terbaik untuk keluarga saya," uc
Aku melihat Al dan El begitu seru dan terlihat bahagia dengan permainan baru yang dibuatkan oleh kakek satu-satunya untuk mereka. Ada kebahagiaan juga keharuan tersendiri yang aku rasakan melihat anak-anakku begitu disayang oleh Papa mertuaku. Padahal awalnya aku menyangka jika seorang sepertiku yang bukan siapa-siapa tidak akan diterima dengan baik oleh keluarga dari suamiku, ternyata aku hanya terlalu terpengaruh dengan pemikiran buruk yang pada kenyataannya tidak seperti itu sama sekali.Tak jauh dari anak-anak yang sedang asyik bermain, aku juga melihat Mas Anggara sedang duduk dan mengobrol dengan ayahnya. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi aku merasa bersyukur. Momen langka seperti ini jarang terjadi, sehingga aku mengabadikan momen itu dari lantai atas.Aku hanya berharap, hubungan Mas Anggara dengan ayahnya akan terus semakin baik dan semakin dekat lagi. Mengingat Papa mertua yang sudah tidak lagi muda, perihal umum tidak ada yang tahu, setidaknya Mas Anggara harus kembali
"Iya, wanita gila harta, ya kamu.""Kenapa Mama berbicara seperti itu? Memang apa yang aku lakukan dan salah dimata Mama? Yang aku katakan sedari tadi itu tidak ada yang salah. Kenapa Mama seolah terkesan bahwa kedatangan kami ini adalah ancaman? Bukannya Mama menikahi Papa itu untuk menjadi ibu sambung bagi Mas Anggara? Berarti kita ini satu keluarga, tetapi Mama membuatnya seolah kita semua sedang berkompetisi.""Pandai berbicara sekali kamu, ya. Sudah lima belas tahun Anggara pergi meninggalkan rumah ini, dia memilih untuk bebas dengan pilihannya sendiri. Jadi, sekarang jangan pernah berpikir untuk kembali dan memiliki semua yang sudah dilepaskan oleh Gara hanya karena ketamakan kamu yang ingin menguasai semua harta Gara dan ayahnya."Semakin Mama mertuaku berbicara akan ketakutannya dengan kedatanganku dan Mas Anggara, aku jadi semakin yakin jika dia memang hanya mengejar harta Papa saja.Ini memang bukan urusan aku, toh apa yang aku dapatkan dari Mas Anggara saja sudah lebih dari
"Coba kamu periksa ke dokter, mana tau ada yang salah sama rahim kamu. Masa udah rumah tangga tiga tahun tapi belum juga punya anak," ucap Ibu Mertuaku yang katanya hanya sekedar mampir, padahal hal itulah yang selalu ia bahas ketika berkunjung ke rumah."Sudah kok, Bu. Dan kata dokter rahimku sehat. Siklus menstruasinya juga teratur. Aku juga sebisa mungkin menghindari stres walaupun selalu dihujani banyak pertanyaan 'kenapa belum hamil?'." "Jadi, kamu mau bilang Ibu bikin kamu stres?" Nada bicara Ibu Mertuaku terdengar tidak baik-baik saja."Aku tidak menuduh Ibu, apa memang Ibu merasa?""Ini nih, yang buat kamu susah hamil. Ngeyel jadi orang!"Ditengah perbincangan dengan Ibu Mertuaku yang terdengar semakin tidak baik, Suamiku malah asyik main game dengan ponselnya. Begitulah kebiasaannya setiap pulang kerja. Bukannya membelai istri, malah sibuk dengan game. Bagaimana bisa aku hamil kalau seperti ini?Aku menarik napas dalam-dalam. "Bu, coba deh Ibu tanya sama anak Ibu sendiri. Mun
"Mas, tenang dulu. Aku akan jelaskan apa yang terjadi. Tapi nggak diluar kaya gini. Ayo kita masuk ke dalam dulu," ucapku dengan tenang saat mendengar Mas Rendi memanggil namaku lirih."Jangan mau percaya sama istri kamu, Ren. Kamu itu udah diperdaya sama dia. Sama Ibu aja udah berani ngelawan. Pasti dia juga akan ngelawan kamu. Sekarang aja udah berani masukin laki-laki ke dalam rumah disaat kamu gak ada. Udah jelas dia wanita gak bener. Gak heran kalau dia jadi susah untuk hamil. Tuhan lebih tau kalau istri kamu belum pantas jadi seorang Ibu." Ucapan Ibu Mertuaku yang sengaja mengompori Mas Rendi, sudah sangat keterlaluan. Apalagi saat itu ada orang asing yang mendengar hinaan yang ditujukan untukku. Dan kesalnya, pria asing itu terus diam saja. Menyimak tanpa sedikitpun ingin membantu menjelaskan kesalahpahaman."Bu, mending Ibu diam dulu. Jangan memperunyam masalah ini. Ini hanya kesalahpahaman yang harus aku luruskan saja.""Haduh, lagu lama. Alasan klasik orang yang ketauan sel
Aku masih belum berani untuk menoleh. Saking parnonya karena film, aku malah sempat berpikir jika pria disampingku bukanlah manusia."Tenang saja aku bukan pria jahat."Aku masih merasa aman karena adanya kamera tersembunyi di dalam teater. Sehingga aku kembali fokus saja pada film dilayar."Kamu datang sendiri?" bisik pria itu lagi.Aku mengangguk saja, berharap ia tidak terus-menerus bertanya hal yang tidak penting."Mengapa sendiri?" Lagi!Aku menoleh dengan niat ingin menegurnya agar tidak terus mengajakku berbicara. "Ma---" Aku malah diam membeku karena kini aku berhadapan dengannya dengan jarak yang cukup dekat, dekat, sangat dekat. Sontak aku langsung menjauhkan wajahku karena terkejut sekaligus takut."Sudah aku bilang, aku bukanlah orang jahat. Aku hanya ingin mengobrol saja.""Aku sudah punya suami!""Memangnya kenapa? Apa ada aturannya kalau sudah bersuami tidak boleh mengobrol dengan orang lain?""Aku sedang fokus pada film!""Baiklah."Setelahnya, aku pikir akan berhent
Dua bulan berlalu setelah kejadian di bioskop waktu itu, aku belum bertemu dengan Ibu Mertuaku lagi. Karena dia masih saja marah dan menganggap bahwa aku mengenyampingkan kepentingan keluarga hanya demi kesenangan sendiri.Salahku memang yang tidak bertanya pada Mas Rendi mengapa ia membatalkan rencana kita keluar, sebab aku yang sudah terlanjur kecewa selalu menjadi nomor dua.Wajarkah jika aku cemburu terhadap Ibu mertuaku sendiri? Mau bagaimana lagi, aku memang merasa dinomorduakan. Dan disisi lain, Mas Rendi sendiri yang selalu bersikap abu-abu."Mas pulang," ucap Mas Rendi yang langsung menyadarkan lamunanku."Oh iya, Mas. Mas udah makan di rumah Ibu, kan? Soalnya aku gak masak lagi hari ini." Aku langsung berdiri menghampiri suamiku untuk membawa tas kerjanya seperti yang biasa aku lakukan."Iya, Mas udah makan. Kamu udah makan juga?""Udah," ucapku yang langsung segera berpaling.Jujur saja aku masih tidak sanggup jika harus bertatapan lama dengan suamiku. Perasaan bersalah yan