Rumah sederhana yang biasanya sepi itu kini terlihat sibuk. Ambar dan Vina tengah berbincang sambil memasak, sedangkan Rahayu dan Farida, kedua sahabat itu tengah asyik mengobrol di ruang tengah, sementara Iyan dan Handoko sedang berbincang di teras samping."Bagaimana kabar menejermu? Apa sudah ada jadwal sidangnya?""Minggu depan persidangan pertama dilakukan, Pak."Handoko menatap putranya penuh dengan tanda tanya, sorot matanya menanyakan kenapa bisa secepat itu. Iyan seolah mengerti, lelaki jangkung itu melanjutkan ceritanya. "Selama penyidikan dia bersikap kooperatif, sehingga mempercepat proses persidangan. Kata Soni Rudi terlihat sangat menyesali perbuatannya, selama di tahanan Rudi tak pernah mengeluh, hanya saja dia selalu terlihat murung, dan jika malam suka berlama-lama bersujud di pojok sel, sambil menangis." Iyan mengatakan apa yang ditahu dari pengacaranya. "Rudi beruntung, mungkin ada doa tulus dari seseorang hingga Allah berkehendak membuka pintu hidayah untuknya ...
Untuk sesaat suasana menjadi hening, Ambar menunduk sementara Iyan merasa canggung. Namun, itu tak berlangsung lama, lelaki jangkung itu duduk dan meminta Ambar untuk melakukan hal yang sama."Em ... urusan di kantor agama sudah selesai, tinggal menunggu harinya. Kurang semingguan lah, jadi masih mau keluar dari rumah ini?""Iya, Abangnya Vina, menurutku itu yang terbaik," sahut Ambar. Untuk sekilas pandangan mereka bertemu. Namun, Ambar segera mengalihkan pandangannya."Baiklah. Em ... sesuai keinginanmu, kita gak akan mengadakan pesta resepsi, tapi bolehkan kalau aku mengundang beberapa teman?" tanya Iyan sambil menatap lekat wajah calon istrinya. Tak bisa disembunyikan kalau saat ini detak jantungnya sangat tak beraturan. "Aku ingin mereka ikut merasakan kebahagiaanku," imbuhnya dengan suara tenang.Ambar melihatnya sekilas, lagi dan lagi pandangan mereka bertaut. Sebenarnya Ambar juga merasakan hal yang sama gugup luar biasa. "Silakan, Abangnya Vina. Maaf, jika keinginanku agak a
"Kenapa kita pergi dari sini, Bunda? Om Baik marah sama kita?" tanya Alif ketika mereka berdua tengah berada di kamar untuk mengemas beberapa pakaian miliknya."Ndak, Kak. Kita perginya hanya sebentar kok. Setelah itu akan kembali ke sini lagi," sahut Ambar tanpa menoleh, wanita yang suka dengan warna gelap itu tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam rangsel."Bunda, Alif sedih ...." Bocah lelaki itu tiba-tiba berkata dengan suara parau. Ambar yang mendengarnya pun menghentikan kegiatannya, wanita pemilik tinggi 159 cm itu menoleh, dia menautkan kedua alisnya ketika mendapati sang putra bermuram durja."Ada apa, Kak? Coba cerita sama Bunda, Kakak Alif sedih kenapa?" tanya Ambar setelah dia sudah duduk di sisi Alif."Alif sedih kalau berpisah dengan semuanya yang ada di sini, Bunda. Alif takut mereka semua pergi seperti Ayah." Alif menjeda kalimatnya, bocah yang badannya mulai tinggi itu menghela napas. "Bunda ... Alif janji gak nakal lagi, biar ndak ditinggal lagi," imbuhnya sambil m
Sampai malam menjelang, ponsel Santi tak bisa dihubungi oleh Sumi. Sebenarnya Sumi tak begitu khawatir karena kakaknya itu sudah terbiasa pergi dalam beberapa hari. Yang membuatnya resah adalah kedatangan beberapa lelaki sore tadi. Mereka adalah penagih hutang almarhum bapaknya. Dalam kebingungan, Sumi menghubungi Siti dan Suji. Namun, dia harus menelan kekecewaan setelah nomor yang dituju sedang tidak aktif.Dalam kepanikan, Sumi teringat dengan ATM yang dibawanya. Gadis itu pun meminta izin pada penagih hutang untuk menunggunya sebentar. Sumi meminta Mina dan seorang satpam untuk menemani 'tamunya' tersebut. Sumi bergegas turun dari ojek online yang dipesannya, tanpa basa-basi, gadis itu menyerahkan sejumlah uang pada sang penagih. "Ini masih kurang ya, Neng. Ini hanya untuk membayar bunganya. Kemarin hutang Pak Marno beserta bunganya ada 75 juta, sehari tidak bayar sudah menjadi 80 juta. Nengnya paham?" tanyanya dengan lembut pada Sumi."Hah? Sehari bunganya lima juta?!" Tanpa sad
Farida menghentikan kegiatannya setelah mendengar seseorang mengucapkan salam. Wanita yang sedang mencuci piring itu membersihkan tangannya lalu mengelap sekedarnya kemudian bergegas melangkah keluar."Assalamualaikum ...." Lagi seseorang mengucapkan salam seolah tidak sabar untuk segera dibukakan pintu."Wa'alaikumussalam," balas Farida sedikit keras, agar seseorang yang di balik pintu mengetahui kalau salamnya sudah dibalas."Mbak Miranti, apa kabar?" sambut Farida setelah pintu terbuka. "Alhamdulillah, baik, Da," sahut Miranti–sepupu jauh Farida. Miranti tak sendiri dia datang bersama dengan Kinan–putrinya."Aduh ... surprise sekali ini," ucap Farida sambil menyambut uluran tangan Kinan untuk salim. "Ayo masuk dulu," ajak Farida sambil mengelus kepala gadis berambut lurus tersebut. "Kinan udah besar ya ... dan semakin cantik, masyaallah ...," puji Farida tulus. Kemudian dia membuka pintu sedikit lebar, lalu mempersilahkan kedua tamunya masuk lebih dulu."Maaf ya, Da. Kami datang t
Siti hanya bisa menangis mendengar kabar tentang kakaknya. Saat ini dirinya sama menderitanya. Hidupnya memang bergelimang harta. Namun, dia tak bisa ke mana-mana, Siti layaknya burung yang berada di sangkar emas, karena sang 'pemilik' tak mengizinkan dia pergi ke mana-mana. Siti memang dijadikan 'peliharaan' oleh seorang bos, bahkan hal itu telah diketahui oleh sang istri yang sudah tak mampu lagi mengimbangi permainan suaminya di ranjang.Sedangkan Suji sama sekali tak bisa dihubungi, adik lelaki Santi itu menghilang tanpa jejak, tak ada kabar sama sekali semenjak kematian sang bapak. Kini tinggal Sumi dan Mina yang mendampingi Santi di rumah sakit, sementara pihak kepolisian seolah enggan mengusut kasus yang menimpa Santi.Dalam kekalutan, Sumi menghubungi Haris, meminta bantuan pada sang pengacara sekaligus teman dekat kakaknya. Karena hanya Haris, lelaki yang sering datang ke rumahnya untuk menemui sang kakak.Selang beberapa saat, Haris pun datang. Pengacara itu seolah tak perca
Dalam sebuah kamar, Sumi meringkuk sambil merintih. Adik bungsu Santi itu merasakan nyeri ditubuh bagian bawahnya setelah menyerahkan mahkotanya pada Haris. Gadis yang tak lagi perawan itu hanya bisa menangis dalam diam. Dia memang pernah berkeinginan untuk menjadi wanita simpanan seperti kakak-kakaknya, tetapi tidak secepat ini, gadis 19 tahun itu belum siap. Sungguh pengorbanan yang sangat luar biasa untuk seorang saudara. Sementara Haris sudah terlelap dengan peluh di wajah dan sekujur tubuhnya.Di sebuah ruangan, beberapa perawat tengah membicarakan Santi, pasein dengan luka bakar yang cukup serius. Mereka menduga-duga menurut versi masing-masing. "Mungkin pelakunya itu mantan suaminya, kayak kasus yang dulu itu, pernah viral kan? Ingat nggak?" ucap seseorang setelah menggigit gorengan yang sudah dingin."Bisa jadi." Gadis dengan tubuh gemoy menimpali sambil menatap temannya yang sedang ngemil gorengan. "Enak banget ya jadi kamu, makan banyak pun tak jadi daging," gumamnya sambil
Di dalam kamar utama rumah tersebut, Farida sedang berdiskusi dengan Handoko. Orang tua Iyan itu memikirkan cara agar pernikahan Iyan dan Ambar tetap berjalan sesuai rencana. Farida merasa tidak nyaman dengan sikap Kinan yang kekanak-kanakan juga egois itu."Bagaimana kalau akad nikahnya dilakukan di apartemen saja, Pak? Aku khawatir Ambar marah dan tak mau menikah dengan Iyan.""Sabar dulu, Bu. Kita tunggu Iyan pulang. Nanti kita bicarakan dengannya. Apa benar dia telah berjanji pada Kinan.""Pak, janji itu diucapkan ketika dia masih kecil, mereka sedang bermain, Pak. Bapak bicara seperti itu seolah mendukung keinginan Kinan. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu, Pak. Bagaimana Bapak bisa berkata seperti itu?""Jangan emosi dulu, Bu. Masalah kalau dihadapi dengan hati yang marah tak kan menemukan jalan keluar yang baik. Percayalah sama Bapak. Sudah, kamu tenang dulu. Aku mau telpon Vina, mau tanya sekarang mereka di mana?"Belum juga Handoko menekan nomor anaknya, ponselnya terlebih