"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
"Suara apa sih?" Ambar berdecak ketika samar-samar mendengar suara desahan saat dia masuk ke kamarnya. Alisnya bertaut karena merasa mengenal suara tersebut. Apalagi ketika desahan itu diiringi dengan sebuah lenguhan."Kayak suara Mas Rudi, tapi dari mana?" gumam Ambar lagi sambil terus mencari asal suara. Sesekali wanita pemilik alis bak semut berbaris itu bergidik, ketika desahan itu diiringi dengan sebuah erangan. Ambar celingukan mencari sumber suara yang membuatnya risih. Wanita bermata bulat itu semakin menajamkan pendengarannya agar segera menemukan asal suara tersebut. Matanya tertuju pada benda yang baru saja ditemukannya di bawah bantal. Tangan kurusnya terulur secara perlahan ketika hendak meraih benda pintar miliknya. Tatapannya terkunci setelah melihat apa yang ditampilkan layar ponselnya. Jantung wanita bertubuh ramping itu seakan berhenti berdetak, ketika mata dengan bulu lentiknya memindai setiap adegan layaknya film dewasa.Bibir tipis itu bergetar menahan getir, ma
Ambar menatap jam yang menempel di dinding ketika mendengar bel rumahnya berbunyi. Perlahan dia berjalan ke depan sambil berpikir siapa yang datang. Tidak mungkin itu suaminya karena memang belum waktunya.Ambar semakin mempercepat langkahnya setelah bel berulangkali berbunyi, wanita pemilik rambut ikal itu penasaran bercampur kesal. Sampai di depan pintu dia sedikit terperanjat melihat siapa yang datang. Ibu satu anak itu tersenyum, kemudian segera membuka pagar."Ibu." Ambar segera meraih tangan wanita paruh baya itu, kemudian menciumnya dengan takzim. Setelah itu beralih pada perempuan yang datang bersama ibu mertuanya. Sebenarnya ada rasa ingin tahu siapa perempuan itu, tetapi dia tahan dulu."Lama amat, ngapain aja kamu di dalam? Anak cuma satu, suami ndak ada di rumah, pasti kamu tadi habis rebahan sambil belanja online, iya kan?" tanya wanita setengah baya itu bertubi-tubi."Aku tadi lagi di dapur. Jadi agak lama bukain pintu, maaf ya, Bu." Ambar mencoba menjelaskan pada ibu da
Selama belanja di pasar, Ambar tak banyak bicara. Membuat Fitri jadi serba salah, akhirnya dia hanya mengikuti langkah wanita berhidung mungil itu. Sebenarnya Fitri ingin menegur Ambar karena dia membeli barang tanpa menawar."Kok gak ditawar sih, Mbak?" tanya Fitri yang sudah tak tahan lagi. Ambar hanya menoleh sekilas, tanpa ingin membalasnya. Saat ini pikirannya benar-benar kacau. Bayangan Rudi tengah 'bermain' dengan wanita lain, selalu terlihat jelas ketika Ambar menutup mata, sampai-sampai dia enggan berkedip karena tak ingin melihat hal menjijikkan itu. "Mbak ditawar dong, kemahalan itu. Di tempat saya gak sampai segitu." Lagi Fitri mencoba memperingatkan Ambar."Berapa ongkos dari sini ke tempatmu, Fit?" tanya Ambar tanpa menoleh pada Fitri."Ma puluh lebih, Mbak. Ada apa?" tanyanya bingung."Berarti pulang pergi seratus ribu?" tanya Ambar semakin membuat Fitri bingung. Wanita yang sedang memakai rok sepan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Terserah kamu lah, Mbak. Ma
"Kamu lanjutin makan, biar aku yang keluar," sahut Rudi. Lelaki itu berusaha mati-matian agar terlihat biasa saja. Sementara Ambar memilih tak acuh. Jika benar firasatnya, dia tak menjamin bisa mengontrol emosinya pada perempuan jalang tersebut. Sikap dingin Ambar membuat Rahayu yakin, jika ada yang tak beres dengan hubungan mereka. Namun, wanita paruh baya itu memilih bungkam, menunggu sampai salah satu dari mereka membuka pembicaraan."Bunda, aku sudah selesai. Temani aku yuk," pinta Alif diluar kebiasaannya. Ambar menatap buah hatinya itu dengan tatapan sendu. "Ok, Mbak Fitri. Tolong nanti dibereskan ya. Yuk, salim sama Nenek dulu," sahut Ambar sambil tersenyum, sementara tangannya mengelus rambut putranya.Bocah itu menurut, dia meraih tangan keriput sang nenek, lalu menciumnya dengan takzim. "Alif udah ngantuk?" tanya Rahayu sebelum melepaskan tangan mungil cucunya. Alif hanya mengangguk mengiyakan."Waktunya tidur siang, Bu," ucap Ambar dengan suara pelan.Tak ada tegur atau t
"Keluarga Bu Rahayu," panggil seorang perawat, wanita yang memakai seragam putih-putih itu berdiri di bibir pintu sambil membawa map. Wanita berkulit bersih itu tersenyum ketika aku mendekat."Mari silahkan ikut saya, Bu," pinta perawat tadi pada Ambar. Tanpa banyak bicara Ambar pun mengikuti langkah sang perawat. Bunyi sepatu pantofel yang dipakai perawat memecah keheningan diantara mereka di sepanjang koridor rumah sakit."Silakan, Bu," ucap perawat itu setelah membuka pintu sebuah ruangan. Ambar tersenyum sebagai rasa terima kasih."Permisi, Dok. Ini hasil pemeriksaan pasien yang di ruang ICU, dan ibu ini keluarganya." Setelah menyerahkan map pada sang dokter, perawat itu pun mengundurkan diri.Dokter paruh baya itu tengah meneliti catatan medis yang dibawakan perawat tadi. Setelah itu terdengar helaan napasnya, tanpa sadar Ambar juga melakukan hal yang sama. Wanita itu khawatir jika terjadi hal buruk pada mertuanya."Bu Rahayu sudah sadar ya, Bu. Dari hasil pemeriksaan, semuanya t