Ambar menatap jam yang menempel di dinding ketika mendengar bel rumahnya berbunyi. Perlahan dia berjalan ke depan sambil berpikir siapa yang datang. Tidak mungkin itu suaminya karena memang belum waktunya.
Ambar semakin mempercepat langkahnya setelah bel berulangkali berbunyi, wanita pemilik rambut ikal itu penasaran bercampur kesal. Sampai di depan pintu dia sedikit terperanjat melihat siapa yang datang. Ibu satu anak itu tersenyum, kemudian segera membuka pagar.
"Ibu." Ambar segera meraih tangan wanita paruh baya itu, kemudian menciumnya dengan takzim. Setelah itu beralih pada perempuan yang datang bersama ibu mertuanya. Sebenarnya ada rasa ingin tahu siapa perempuan itu, tetapi dia tahan dulu.
"Lama amat, ngapain aja kamu di dalam? Anak cuma satu, suami ndak ada di rumah, pasti kamu tadi habis rebahan sambil belanja online, iya kan?" tanya wanita setengah baya itu bertubi-tubi.
"Aku tadi lagi di dapur. Jadi agak lama bukain pintu, maaf ya, Bu." Ambar mencoba menjelaskan pada ibu dari suaminya.
"Alasan!" gumamnya sambil terus melangkah . "Alif mana?" imbuhnya bertanya.
"Ada di dalam, Bu. Lagi main," sahut Ambar.
"Kamu masak apa untuk menyambut suamimu pulang? Harus yang enak dan sehat ya. Jangan cuma mau gajinya saja, tapi ndak mau membahagiakannya. Suami pulang sebulan sekali, harusnya dimasakin yang spesial, bila perlu semua makanan kesukaannya kamu masakin."
Ibu suaminya itu terus saja berbicara sambil melangkah masuk ke rumah, sementara Ambar hanya diam mendengarkan. Berbeda dengan wanita yang datang bersama ibunya Rudi itu, dia nampak mengulum senyum seolah senang melihat Ambar diomeli oleh mertuanya.
"Fitri, bawa kopernya masuk ke kamar yang di kanan itu. Jangan salah ya, yang di kiri itu kamarnya Alif." Rahayu memberi arahan pada perempuan yang dipanggil Fitri tadi. Setelah memastikan Fitri masuk ke kamar yang tepat, dia kembali berucap. "Ambar bikinin aku teh melati," titahnya sambil duduk di sofa empuk yang berada di ruang tengah.
"Iya, Bu," sahut Ambar, ia pun segera beranjak ke dapur. Ambar sempat terkejut ketika berpapasan dengan Alif.
"Hati-hati, Kak," pesannya setelah sang putra. Alif tak manyahut, bocah berambut ikal iru hanya mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.
"Nenek," panggil Alif sambil berlari menyongsong wanita yang sangat menyayanginya tersebut.
"Cucu nenek yang ganteng," sambut Rahayu penuh cinta. Kemudian wanita yang rambutnya hampir memutih itu mencium kedua pipi gembul milik Alif. Nenek dan cucu itu bercengkrama dengan bahagia.
Di dapur, Ambar berkali-kali menghela napasnya untuk mengurangi sesak di dada, sudah dipastikan rencananya untuk memberi kejutan pada Rudi gagal total. Tidak mungkin dia melakukannya sekarang karena ada ibu mertuanya. Bisa-bisa urusannya tambah runyam dan dia yang akan diberi wejangan panjang. Beberapa cangkir berisi teh sudah siap tinggal meletakkannya di nampan lalu membawanya keluar.
Setelah membuang napas dengan kasar, Ambar mulai mengayunkan langkahnya ke depan, tempat di mana ibu mertua dan anaknya berada.
"Udah selesai masaknya?" tanya Rahayu pada menantunya itu.
"Sudah, Bu," balas Ambar sambil duduk di sisi yang lainnya. Hari ini dia memang sudah selesai masak, tapi bukan makanan kesukaan suaminya.
"Nek, aku main lego lagi ya," pamit Alif yang dibalas anggukan oleh neneknya.
"Ibu sengaja datang ke sini sekarang agar bisa bertemu dengan Rudi. Entahlah, Mbar. Beberapa hari ini, ibu merasa ada yang tak beres, tapi ibu sendiri juga ndak tahu apa. Rasanya pingin aja main ke sini. Kangen banget sama kalian," ujar Rahayu panjang lebar.
"Fitri sini!" panggil Rahayu pada wanita muda yang datang bersamanya. "Kalian belum saling kenal kan. Namanya Fitri, anak tetangga sebelah rumah. Ikut ke sini, mau minta tolong agar dicarikan kerja sama suamimu." Kembali Rahayu berujar. Sementara Ambar dan wanita bernama Fitri itu saling berjabat tangan.
"Mbar, kamu ndak keberatan kan kalau untuk sementara ini Fitri tinggal di sini," ucapnya. "Sebelum mendapatkan pekerjaan," imbuh Rahayu.
"Fitri udah pernah kerja?" tanya Ambar pada wanita yang duduk di samping mertuanya itu.
"Sudah, Mbak," jawab perempuan bernama Fitri itu singkat sambil menunduk.
"Kalau boleh tahu kerja apa, Fit?" tanya Ambar lagi. Wanita itu semakin pusing memikirkan keadaan saat ini.
"Mbar, Fitri ini jago masak loh, tangannya itu sedap kalau bikin makanan." Rahayu ikut menyahut.
"Di warung, Mbak."
"Warung apa? Terus kamu kesini itu rencananya mau kerja apa, Fit?" tanya Ambar lagi. Ibu satu anak itu terlihat putus asa. Masalah yang dihadapinya saat ini cukup pelik, menguras hati dan pikirannya. Sekarang ditambah kedatangan ibu dan orang lain yang akan menumpang hidup dengannya.
"Kamu kenapa sih, Mbar? Kayak ndak suka banget sama Fitri?"
"Bukan begitu, Bu. Masalahnya nyari kerja sekarang itu susah." Ambar mencoba menjelaskan pada mertuanya.
"Bukan kamu yang tak mintain cariin kerja, tapi Rudi. Kamu mah apa? Kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki," balas Rahayu ketus.
"Kan Mas Rudi yang nyuruh aku berhenti kerja, Bu," sahut Ambar, wanita itu mencoba bersikap biasa saja. Mertua dan suaminya tak tahu kalau dia punya penghasilan sendiri. Di sela-sela waktu senggangnya Ambar berkarya dalam aksara. Tulisannya sudah nampang di mana-mana dengan nama pena 'Goresan Pena' beberapa ceritanya menjadi best seller di beberapa platform kepenulisan.
Mendengar jawaban menantunya Rahayu tak bisa membantah, dulu dia juga yang menginginkan Ambar berhenti kerja agar segera hamil. Wanita itu tiap saat menanyakan kapan mereka memberikan momongan untuknya.
"Hari ini kamu masak apa?" tanya Rahayu mengalihkan tema yang diucapkannya tadi.
"Sayur sop sama ayam goreng, Bu," sahut Ambar. Dia tahu kalau itu akan membuat mertuanya mengomel sepanjang waktu, mungkin sampai Rudi sampai rumah.
"Cuma itu saja? Ya Tuhan ... kasihan sekali anakku," ucapnya sambil menengadahkan tangannya.
"Itu kan kesukaannya Alif, Bu. Mas Rudi paling juga gak keberatan. Mungkin besok aku akan masak kesukaannya."
"Ndak usah nunggu besok, dari tadi dijelaskan. Suami itu harus diutamakan, apalagi urusan perut. Sekarang kamu masak rawon. Kalau ndak ada bahannya, sekarang juga pergi ke pasar sama Fitri," titahnya.
"Anakmu sudah tak pantas diutamakan, Bu. Dia telah mengkhianati janji sucinya," batin Ambar meronta.
"Kok malah diam saja! Cepetan! Gitu kok mau disayang suami," gumam Rahayu sambil bangkit dari tempat duduknya. Wanita setengah baya itu beranjak mencari cucunya.
"Mbak? Gimana?" tanya Fitri karena Ambar masih diam saja.
"Ya udah, ayo, Fit," sahutnya kesal. Sempat terpikir olehnya untuk mencampur sedikit sianida di makanan atau minuman Rudi, tapi dia ragu, bagaimana kalau dia dipenjara. Bagaimana dengan nasib Alif.
"Tidak, aku tidak boleh gegabah. Aku harus membalas perbuatan Mas Rudi dengan cara yang cantik," gumamnya, membuat Fitri menautkan kedua alisnya karena merasa heran dengan sikap Ambar.
Selama belanja di pasar, Ambar tak banyak bicara. Membuat Fitri jadi serba salah, akhirnya dia hanya mengikuti langkah wanita berhidung mungil itu. Sebenarnya Fitri ingin menegur Ambar karena dia membeli barang tanpa menawar."Kok gak ditawar sih, Mbak?" tanya Fitri yang sudah tak tahan lagi. Ambar hanya menoleh sekilas, tanpa ingin membalasnya. Saat ini pikirannya benar-benar kacau. Bayangan Rudi tengah 'bermain' dengan wanita lain, selalu terlihat jelas ketika Ambar menutup mata, sampai-sampai dia enggan berkedip karena tak ingin melihat hal menjijikkan itu. "Mbak ditawar dong, kemahalan itu. Di tempat saya gak sampai segitu." Lagi Fitri mencoba memperingatkan Ambar."Berapa ongkos dari sini ke tempatmu, Fit?" tanya Ambar tanpa menoleh pada Fitri."Ma puluh lebih, Mbak. Ada apa?" tanyanya bingung."Berarti pulang pergi seratus ribu?" tanya Ambar semakin membuat Fitri bingung. Wanita yang sedang memakai rok sepan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Terserah kamu lah, Mbak. Ma
"Kamu lanjutin makan, biar aku yang keluar," sahut Rudi. Lelaki itu berusaha mati-matian agar terlihat biasa saja. Sementara Ambar memilih tak acuh. Jika benar firasatnya, dia tak menjamin bisa mengontrol emosinya pada perempuan jalang tersebut. Sikap dingin Ambar membuat Rahayu yakin, jika ada yang tak beres dengan hubungan mereka. Namun, wanita paruh baya itu memilih bungkam, menunggu sampai salah satu dari mereka membuka pembicaraan."Bunda, aku sudah selesai. Temani aku yuk," pinta Alif diluar kebiasaannya. Ambar menatap buah hatinya itu dengan tatapan sendu. "Ok, Mbak Fitri. Tolong nanti dibereskan ya. Yuk, salim sama Nenek dulu," sahut Ambar sambil tersenyum, sementara tangannya mengelus rambut putranya.Bocah itu menurut, dia meraih tangan keriput sang nenek, lalu menciumnya dengan takzim. "Alif udah ngantuk?" tanya Rahayu sebelum melepaskan tangan mungil cucunya. Alif hanya mengangguk mengiyakan."Waktunya tidur siang, Bu," ucap Ambar dengan suara pelan.Tak ada tegur atau t
"Keluarga Bu Rahayu," panggil seorang perawat, wanita yang memakai seragam putih-putih itu berdiri di bibir pintu sambil membawa map. Wanita berkulit bersih itu tersenyum ketika aku mendekat."Mari silahkan ikut saya, Bu," pinta perawat tadi pada Ambar. Tanpa banyak bicara Ambar pun mengikuti langkah sang perawat. Bunyi sepatu pantofel yang dipakai perawat memecah keheningan diantara mereka di sepanjang koridor rumah sakit."Silakan, Bu," ucap perawat itu setelah membuka pintu sebuah ruangan. Ambar tersenyum sebagai rasa terima kasih."Permisi, Dok. Ini hasil pemeriksaan pasien yang di ruang ICU, dan ibu ini keluarganya." Setelah menyerahkan map pada sang dokter, perawat itu pun mengundurkan diri.Dokter paruh baya itu tengah meneliti catatan medis yang dibawakan perawat tadi. Setelah itu terdengar helaan napasnya, tanpa sadar Ambar juga melakukan hal yang sama. Wanita itu khawatir jika terjadi hal buruk pada mertuanya."Bu Rahayu sudah sadar ya, Bu. Dari hasil pemeriksaan, semuanya t
Flashback "Mas, ayo," panggil Santi yang baru saja masuk ke kamar Rudi. Wanita bertubuh seksi yang bekerja sebagai asisten manajer itu tak sabar ingin segera meneguk madu bersama kekasihnya tersebut.Rudi masih sibuk dengan ponselnya setelah melakukan video call dengan sang putra, lelaki itu melirik Santi sekilas, kemudian menyimpan ponselnya di meja tanpa mengakhiri panggilan karena sudah tergiur ingin meneguk kenikmatan yang akan diberikan Santi. Senyum kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu mengembang, mereka sama-sama mendamba kenikmatan surga dunia, walaupun mereka sadar kalau semua itu salah. ..Rudi seorang suami sekaligus ayah, memilih menyerah setelah sekian purnama bertahan dari godaan sang bawahan. Kenikmatan yang ditawarkan Santi kini menjadi candu, hingga dia melupakan segalanya. Sepuluh bulan yang lalu dia ditugaskan di kantor cabang baru sebagai manajer pemasaran, sekaligus sebagai promosi kenaikan jabatan. Lelaki itu dipandang layak karena memiliki sikap tangg
Rudi membernarkan posisinya."Buat apa ikut?" tanya Rudi sambil mencium keningnya."Aku gak bisa lama-lama pisah denganmu, Mas," ujarnya beralasan. Suaranya terdengar manja di telinga Rudi. Membuat lelaki itu gemas dan kembali memberinya sebuah ciuman."Hanya dua hari, Sayang," sahutnya, kali ini lelaki itu mencium rambut Santi yang mengeluarkan aroma wangi shampoo."Lama, Mas. Aku gak bisa jauh-jauh darimu," ucapnya. "Pasti nanti kamu menghabiskan waktu dengan wanita bau bawang itu.""Dia kan istriku, Sayang. Nanti kalau aku tak memanjakannya, dia malah curiga," sahut Rudi sambil menowel hidung Santi karena gemas...Pagi-pagi Rudi dan Santi siap untuk bekerja. Mereka sarapan sambil bercanda gurau, terkadang juga membahas tentang masa depan mereka, benar-benar seperti pasangan halal yang bahagia.Setelah selesai Santi berangkat terlebih dulu, agar tak menimbulkan kecurigaan dari rekan kerjanya. Untuk saat ini memang belum ada yang tahu karena mereka sangat pandai menyembunyikan hubun
Hampir setiap bersama, kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu melakukan penyatuan, tak ada kata lelah bagi keduanya. Seolah benar adanya, jika kesalahan itu dilakukan maka akan mendapatkan sensasi yang berbeda."Terima kasih, Sayang," ucap Rudi sambil mencium pucuk kepala Santi. Setelah raganya merasakan kelelahan yang luar biasa karena dipaksa bekerja menuruti hasratnya."Apa sih nggak buat kamu, Mas, yang penting kamu bahagia," sahut Santi sambil tersenyum menggoda. Dengan Rudi gadis bukan perawan itu mempunyai perasaan lebih. Tak seperti lelaki yang sempat singgah di hidupnya, yang hanya dimanfaatkan hartanya saja."Kamu memang paling mengerti diriku, Sayang," balas Rudi. Setelah itu lelaki itu memejamkan matanya dengan bibir mengulas senyum kepuasan. Tak lama kemudian sudah terdengar dengkuran halus dari bibir tipisnya. Santi tersenyum, baginya wajah itu tak pernah membosankan, semakin dipandang semakin membuatnya terpesona.Besok Rudi akan pulang, menemui anak dan istrinya. Me
Kerasnya kehidupan yang dulu dialami Santi, membuatnya menghalalkan segala cara agar keinginannya bisa tercapai. Santi terjebak dalam pergaulan bebas. Gadis itu sudah berpetualang dalam dekapan lelaki hidung belang sedari memasuki bangku SMA. Santi muda sempat berpikir untuk mengakhiri pekerjaannya. Namun, keadaan ekonomi orang tuanya yang pas-pasan tak bisa memenuhi keinginannya untuk meneruskan pendidikan ke bangku kuliah. Hingga dia kembali menjadi wanita panggilan.Dengan tekad yang kuat, dia pamit kepada orang tuanya untuk menempuh pendidikan di kota. Banyaknya tuntutan gaya hidup membuatnya tak bisa melepaskan diri dari lembah hitam kenistaan. Namun, ada satu hal yang bisa dibanggakan darinya, Santi tetap berhasil menamatkan kuliahnya walaupun dengan sedikit sogokan pada dosen pembimbingnya. Dengan kemolekan tubuhnya.Selepas kuliah Santi langsung bekerja sebagai asisten manajer di sebuah kantor. Sesekali dia masih menerima panggilan jika memasuki akhir bulan. Gajinya yang tak
Ambar masih bertahan di dalam taksi, menunggu kira-kira apa yang akan terjadi. Firasatnya mengatakan kalau dia adalah wanita yang berada di video itu. Namun, Ambar tak mau gegabah, ibunya Alif itu mengamati gerak-gerik sang wanita yang masih berdiri di depan dengan membawa sebuah bungkusan di tangan kirinya.Pintu rumah terbuka, Rudi terlihat keluar sambil menggendong Alif. Seketika Ambar menjadi emosi. Namun, dia mengurungkan niatnya untuk turun setelah melihat Rudi membuka pagar. "Hallo, Alif," sapa Santi. Namun, bocah berambut ikal itu terlihat cuek bahkan memundurkan tubuhnya ketika hendak dicium Santi. Alif juga diam saja ketika Santi memberikan bingkisan yang sedari tadi dipegangnya."Ini Tante bawain mainan buat Alif. Diterima dong, Nak ganteng," ranyunya. Mendengar kata mainan bocah itu tampak tertarik, dia terlihat mencondongkan badannya. Namun, tiba-tiba dia kembali mundur."Nggak pa-pa, Sayang. Ini ambil gih," rayunya lagi. Kali ini Alif malah menyembunyikan wajahnya di be