Klik."Silahkan masuk!" Ucap Inah mempersilahkan Awan dan yang lainnya masuk ke dalam kamar.Inah tampak bersemangat ketika membawa Awan bersamanya. Di dalam sana, seorang wanita dewasa berusia hampir lima puluhan, namun masih terlihat begitu cantik, dalam keadaan setengah berbaring di atas ranjang, sedang menatap Awan dengan mata penuh kerinduan."Awan, anakku... akhirnya kamu datang!" Sambut Lina haru. Kondisinya masih belum pulih seratus persen, karena sebelumnya ia terlalu lama terbaring di ranjang. Sehingga, perlu waktu untuk membuat seluruh fungsi gerak tubuhnya bisa kembali bekerja dengan normal. Jadi, yang bisa dilakukan mama Lina hanya membentangkan kedua tangannya ke arah Awan.Awan sempat ragu, tapi segera Karin menyenggol lengannya dan memberi kode padanya. Awan segera tahu apa yang harus dilakukannya, ia berjalan ke arah mama Lina dan menyambut gapaian tangannya dan membalas pelukan mama Lina.Ibu mendiang Renata tersebut memeluk Awan dengan sangat erat, seolah ia sudah
Di dalam kamar putrinya, Lina mengambil sebuah kotak di atas meja rias. Tentu saja, tidak ada yang berubah dari dari dalam kamar itu. Meskipun, Awan tidak mengingatnya. Namun, saat ia berada di sana sedikit lebih lama, kening Awan sedikit berkerut. "Kenapa, Nak? Apa kamu mengingat sesuatu?" Tanya Lina berharap. Awan tampak ragu, "Entahlah, Ma. Ketika masuk ke dalam kamar ini, aku merasa sangat familiar dengan kamar ini. Tapi, aku masih tidak dapat mengingatnya." Jawab Awan jujur dan tampak tidak berdaya. Ia seakan sudah begitu dekat untuk bisa mengingatnya, namun seakan ada kabut tipis yang menghalangi jalannya. Lina tersenyum senang, tentu saja ia berharap Awan akan dapat mengingat lebih banyak. Selanjutnya, Lina mengulurkan kotak yang tadi diambilnya pada Awan. "Apa ini, ma?" "Bukalah!" Saat Awan membukanya, di dalamnya terdapat sebotol parfum merek Caron Poivre. "Ini?" Awan tampak bingung dan bertanya-tanya, kenapa ibu angkatnya itu justru memberinya parfum? "Cobalah!"
Sebelum kembali ke Jakarta, Awan mengantarkan Karin terlebih dahulu ke rumahnya.Ketika mobil yang di kendarai Karin sampai di depan rumah orang tuanya, Karin terdiam ragu. Ia mengumpukan keberaniannya untuk bicara, karena ia tidak tahu apa ia masih memiliki kesempatan seperti ini lagi di masa depan."Awan, terimakasih ya untuk beberapa hari terakhir." Ujar Karin membuka obrolan.Awan tergelak, "Kamu hampir celaka karena aku, masa mau terimakasih!"Karin juga tertawa, "Iya, tapi karena itu juga aku bisa dekat dengan kamu."Tawa Awan menjadi canggung sebelum menghilang dengan sendirinya. Ia tahu kemana arah pembicaraan Karin, karena itu ia menjadi gugup untuk menanggapinya. Sama seperti saat Luna menggoda mereka siang tadi, Awan sengaja mengalihkan topik karena tidak ingin terjebak dengan topik sensitif seperti ini. Ia memang kehilangan ingatannya, namun bukan berarti ia juga kehilangan sensitifitasnya dalam mengenali perasaan orang lain terhadap dirinya.Berulang kali, Awan mendapati
"Marah? Kenapa aku harus marah? Lagian, itu adalah masa lalu. Seandainya aku menyadarinya sekalipun, toh aku tidak bisa mengingatnya saat ini." Ujar Awan tersenyum tipis.Karin tersenyum malu, ia tidak ubahnya seperti seorang gadis remaja yang sedang jatuh cinta. "Lalu, apa aku bisa menagih jawaban yang dulu sempat ku tanyakan padamu?"Awan bingung harus menjawab apa?Saat ini, Awan sedang berkonflik dengan hatinya. Ia bisa melihat kalau Karin adalah gadis yang cantik dan menarik. Melihat betapa polosnya Karin dengan semua pemilihan kalimatnya, Awan tahu kalau gadis ini telah setia menjaga cintanya untuk menunggu jawaban darinya. Awan tidak tega untuk menyakiti gadis sebaik Karin, tapi ia juga tidak bisa membohongi perasaannya sendiri."Maaf, Karin. Aku tidak bisa menerimamu."Karin langsung membeku ketika mendengar jawaban Awan. Ia terperangah beberapa saat lamanya, ia seakan sulit mencerna jawaban Awan barusan.Sampai Awan mengulangi jawabannya untuk ke dua kalinya, "Kita, tidak bi
Awan keluar dari mobil Karin secara perlahan.Saat itu, Lana dan Chiya baru saja datang dan berhenti tidak jauh di belakang mobil Karin.Karin bahkan masih diam tidak bersuara, saat Awan dengan perlahan melangkah pergi meningalkannya. Melihat tuan mereka melangkah gontai ke dalam mobil, baik Lana maupun Chiya saling tatap. Mereka tahu, jika Awan pasti sedang ada masalah dengan Karin.Ketika Awan sudah berada dalam mobil, ia berkata, "Lana, kamu tinggal lah di sini untuk sementara waktu. Tolong awasi Karin untukku. Jangan biarkan dia menyakiti dirinya sendiri. Aku akan kembali bersama Chiya ke Jakarta." Perintah Awan.Lana tanpa banyak tanya, mengangguk patuh, "Baik, tuan muda."Awan, malam itu kembali bersama Chiya ke ibu kota....Saat dalam perjalanan kembali menuju Jakarta, Awan masih belum bisa tenang. Bayangan tentang Karin yang terpuruk, terputar terus dalam benaknya.Meski baru saja, Lana mengabarkan kalau Karin sudah masuk ke dalam rumahnya. Menurut laporan Lana juga, Karin s
"Awan-san, apa kita langsung ke kediamannya nenek Chiyo atau kembali ke Villa?" Tanya Chiya saat mereka sudah memasuki gerbang masuk menuju Villa Nirwana."Kita langsung ke tempat nenek." Balas Awan."Baik, Awan-san."Awan tidak ingin menunda lebih lama lagi dan ingin segera menemukan jati dirinya yang sebenarnya.Apalagi dalam telepon tadi, nenek Chiyo mengatakan telah menemukan cara untuk mengembalikan ingatan dan juga kekuatannya. Hal itu membuat Awan menjadi lebih bersemangat dan tidak ingin menyiakan waktu barang sedetikpun. Awan belum tahu, seberapa kuat dirinya sebelum hilang ingatan seperti sekarang. Tapi, munculnya orang seperti Disa, seakan memberi peringatan bahaya yang membuat Awan bertekad untuk bisa menjadi lebih kuat. Saat itu, Awan merasa menjadi orang paling tidak berguna dan dipaksa melihat teman-temannya terluka.Semua orang berusaha melindunginya, namun ia tidak berdaya untuk melindungi mereka. Ia tidak ingin kembali merasakan perasaan yang sama.Demi menjaga sem
"Uda yakin tidak apa-apa pulang ke Kampung sekarang?" Tanya Annisa untuk ke sekian kalinya memastikan. Ia terkejut ketika sehari sebelumnya, Awan mengatakan bahwa ia ingin ikut pulang bersamanya ke kampung halaman mereka.Tentu saja Nisa senang mendengarnya, namun ia sadar bahwa pemulihan Awan harus menjadi prioritas utama. Karena itu, ia tidak terlalu menuntut sebelumnya. Sekarang, dengan Awan sendiri yang mengatakan keinginannya untuk pulang ke kampung mereka dengan alasan itu bisa membantu untuk memulihkan ingatannya yang hilang, Annisa tidak lagi memiliki alasan untuk bisa menolaknya.Karena itu, ia ingin memastikan kembali, apa tidak masalah bagi Awan melakukan perjalanan jauh seperti ini?Awan tertawa ringan dan menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku juga sudah menanyakannya juga pada Amanda dan tidak ada masalah."Tentang rencana kepergiannya ke kampung halamannya juga sudah ia beritahu pada Amanda dua hari sebelumnya. Saat itu, Amanda masih berada di luar jangkauan, karena ia seda
Kendaraan tersebut dikendarai oleh seorang pria berusia 40an. Melihat Annisa sudah menunggunya, ia dengan cepat berinisiatif turun dan membantu memasukkan barang-barang mereka ke dalam bagasi mobil."Selamat datang, bu dokter!" Sapanya ketikat menyambut Annisa. Semua orang di kampung mereka sudah tahu, jika Nisa sebentar lagi akan menjadi seorang dokter. Tentu saja, ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi kampung mereka. Itu alasannya, pria tersebut perlu memperlakukan Annisa dengan lebih baik."Bang Somad, bisa saja bercandanya. Saya masih Nisa yang dulu, kok.""Eh, dak bisa bak itu. Nisa adalah permata kampuang kito." (Tidak bisa begitu, Nisa adalah permata kampung kita.)Nisa hanya bisa tertawa ringan dan tidak ingin berdebat saat itu.Selanjutnya, bang Somad melihat ke arah Awan. Ia terkejut mendapati Awan ternyata pulang bersama Annisa. Ia segera menyapanya dengan ramah."Awan, lamo dak pulang? Makin cogah sajo ang!" (Awan, lama tidak pulang? Kamu makin gagah saja).Awan terbengo