Share

BAB 4

Rendi beranjak ke lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, ia singgah ke kamar Rasthi. Gadis itu sudah berbaring di tempat tidur. Rendi mendekat dan melihat wajah seseorang yang dipesankan mamanya untuk terus ia jaga dan temani.

Rendi berdesis pelan. “Menggantikan Papa, ya? Apa gue bisa?” Rendi membiarkan lampu kamar itu tetap menyala. Dengan perlahan ia menutup rapat pintu kamar Rasthi agar tak membangunkannya.

Sepasang mata terbuka sempurna. Rasthi ternyata belum tidur. Ia hanya iseng berakting tidur tadi begitu mendengar suara kaki dengan jelas mengarah ke kamarnya.

Ck, Kak Rendi, di luar kulitnya aja tuh dingin padahal di dalam mah hatinya masih hangat, persis kayak dulu waktu Papa masih ada. Cuma dianya aja yang aneh bin resek. Masih suka ngelestariin sok cool-nya itu, malah lebih parah lagi pas sekarang. Dasar nyebelin.” Rasthi bermonolog pelan seraya memandangi foto lawas keluarga kecil mereka dalam jumlah anggota yang utuh di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tanpa sadar tertarik membentuk lengkungan senyum sebelum ia benar-benar terlelap.

***

Pagi yang cerah sungguh kontras dibandingkan dengan cuaca lokal di hati Syara saat ini, mendung. Sayangnya, ‘sakit hati' tak bisa dijadikan alasan untuk menulis surat ketidakhadiran ke sekolah. Andai bisa, sudah pasti itu yang Syara lakukan sekarang.

Dengan langkah gontai tak seperti biasanya, Syara akhirnya menginjakkan kaki juga di kelas. Ia melihat Mira dengan anteng memakan snack bermicin sambil menggerakkan matanya menjelajah apa yang ditampilkan layar ponselnya. Serius membaca sesuatu. Ada apa dengan makhluk kasat mata ini? Kejadian semalam apa bukan dia pelakunya? Mengapa bisa setenang itu sekarang?

Tak ada sapaan yang bergulir dari mulutnya maupun Mira. Syara terus berpikir, memaksa mesin otaknya bekerja ekstra menghasilkan jawaban. Reaksi macam apa yang orang ini tunjukkan padanya sekarang? Mengapa cuma dirinya sendiri yang risau?

Mohon Tuhan untuk kali ini saja beri aku kekuatan ‘tuk membaca pikiran. Jiwa Syara bersenandung dengan nada ala lagu Sheila on 7 saking geregetannya.

***

Terlewati juga jam pelajaran kimia yang selalu berhasil membuat aritmia sembilan puluh sembilan persen murid dari populasi kelas sebelas-C ini. Jam istirahat yang dijadikan juru selamat pun akhirnya tiba. Semua girang karena selamat dari kuis mautnya Bu Reni kali ini. Setiap beliau masuk selalu ada kuis yang dilabeli ‘maut’ sebab siapa yang tak bisa menjawab dengan benar satu soal acak yang diberi maka wajib mengerjakan lima soal esai kimia di kertas dan harus dikumpulkan hari itu juga dengan batas waktu sampai jam pelajaran terakhir.

Mira termasuk bagian murid yang berhamburan keluar kelas. Mereka sama sekali belum ada bicara. Syara tahu pertemanan mereka kini sudah hancur. Syara memilih memakan camilan dan cokelat yang dibawanya sendiri dari rumah. Ia benar-benar sendirian di kelas. Mengapa hidupnya selalu sepi? Tak hanya di rumah, di sekolah pun juga.

***

Benar-benar hari yang aneh dan hampa bagi Syara. Di tengah keramaian, ia merasa sendirian. Syara tak tahan lagi, hari ini ia sudah kebanyakan diam. Di dalam taksi menuju rumahnya ia menelepon Aqila.

“Ada apa, Ra?” seru Aqila to the point.

“La, main ke rumah aku, yuk!”

“Hah? Sekarang?” kaget Aqila.

“Iya, kalau Qila nggak bisa biar aku aja yang ke rumah Qila, mau?” tawar Syara mempermudah.

“Gue bisa kok, cuma yah nggak bisa sekarang. Agak sorean gimana? Soalnya gue lagi ada urusan dikit di sekolah, nih.”

“Ohh, oke nggak apa-apa kok, La. Aku tunggu, yaa.”

“Iya.”

Setidaknya Syara masih punya Ayah, Bunda dan teman baiknya, Aqila, yang selalu ada untuknya. Itu sudah lebih dari cukup. Dan ia selalu bersyukur akan hal itu.

***

Aqila sudah datang lima menit yang lalu memenuhi permintaan sahabat karibnya itu. “Oh, jadi begitu masalah Anda kali ini?” sahutnya sambil mengunyah camilan dari kulkas usai Syara mencurahkan segala kegundahannya. Aqila tak ada segannya jika bertamu ke rumah Syara. Terkadang ia sudah menganggap rumah Syara seperti rumahnya sendiri. Ambil makanan sendiri terus langsung dimakan ataupun duduk sesukanya walau belum dipersilakan. Tapi itu pengecualian, kalau di rumah itu hanya mereka berdua tanpa ada orang tua Syara.

            “Iya, La. Makanya aku bingung, kenapa tadi di sekolah Mira tuh diem aja? Kok, dia kayak nggak merasa ada kejadian apa sih semalam?” jelas Syara. “Bisa gitu, ya?”

            “Ya, bisalah. Kalau dia aja bisa, kenapa lo nggak?” seru Aqila sambil menuangkan sirup rasa markisa ke gelas. Menghidang minuman sendiri.

            “Itu dia masalahnya, La. Aku juga penginnya bisa gitu, tapi kenapa nggak bisa?” keluh Syara yang sedari tadi duduk saja di kursi makan, melihat temannya itu mondar-mandir di dapur.

            “Lo kurang usaha, belum banyak doa, makanya nggak bisa.” ledek Aqila.

            “Ihh, aku serius loh, Qila!” protes Syara. “Qila kenapa nggak mau pindah aja ke sekolahku, sih? Dari awal mau masuk SMA dulu kan, aku udah minta Qila masuk ke sekolah yang sama. Coba aja kalau Qila mau, pasti aku nggak akan menderita kayak gini.” ungkit Syara, matanya mulai berkaca-kaca.

            Aqila menyadari sifat cengeng temannya ini mulai kambuh. Ia menyodorkan segelas minuman sirup markisa yang dibuatnya tadi. “Gue minta maaf, Ra. Nih, minum dulu.” Syara mulai menangis, Aqila kelabakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status