Gerald tidak mengajakku untuk bertengkar. Malah berakhir aku digarap di dalam mobil sebelum kami pulang.
"Haruskah aku kasih cap di jidat kamu? milik Gerald biar tidak ada lagi yang mengganggu." aku hanya diam, dan berusaha mengatur lagi napasku. Badanku masih terasa lelah. Setelah digarap dengan kasar, karena luapan amarah.
"Argh... om-om sialan tak laku. Ada apa sih di hidup dia? Kita sudah menikah, sudah berada di belahan dunia lain, kamu sudah hamil, masih saja dikejar. Apa semua tanda ini kurang bahwa kamu milikku, hanya milikku dan hanya untukku?" jelas Gerald dengan berapi-api. Aku hanya diam, sedikit merasa bersalah. Harusnya aku tak mengiyakan perintah bunda. Gerald dari dulu tak pernah suka Mas Rangga, begitu sebaliknya. Tapi sekarang Gerald suamiku, jadi dia tetap jadi tujuanku.
Puas menangis, aku masuk ke dalam meseum lagi. Aku benar-benar mencari Mas Rangga. Aku juga belum berpikir jernih, emosi masih menguasaiku. Aku marah pada Gerald, marah pada bunda, dan marah pada diri sendiri.Dan bodohnya handphone-ku sudah tewas. Aku juga tak sempat memperhatikan, dimana Gerald mencampakkan ponsel tak berdosa tersebut. Setelah ini, ponselku seperti dulu lagi, takkan diganti. Aku hanya menarik napas lelah karena nasib sialku.Aku hanya mencari Mas Rangga seperti anak kecil yang kehilangan arah. sebelumnya, sudah kubersihkan semua air mataku. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan.Lagi-lagi. Gerald sialan memang. Dan sialnya juga, aku sangat menyayanginya.Aku berkeliling mencari lagi, dan tak kunjung menemukan Mas Rangga. Aku juga tidak tahu jika Mas Rangga su
Aku benar-benar merasakan liburan. Karena selama disini, kebanyakan aku terkurung di dalam apartemen.Gerald fucking Willson, yang membuatku tidak bisa mengeksplor indahnya belahan dunia Eropa ini. Karena setiap saat digarap, jadi benar-benar tidak ada waktu dan kesempatan, lagian Gerald lebih banyak menghabiskan waktu di luar dan aku sendirian di apartemen sempit tersebut. Kami berkeliling di banyak tempat wisata yang biasa dianjurkan di Frankfurt. Tidak usah aku menjelaskan, kalian tinggal searching saja. But mostly aku suka berada di pinggir sungai Am Main.Aku benar-benar, menunggu musim semi agar bisa lebih melihat keindahan Frankfurt. Aku juga tidak sabar menanti musim panas, bisa menikmati buah-buahan gratis di Hessen. Jika musim panas, aku akan tinggal di Hessen. Jika Gerald tak mau
Aku hanya diam, karena kesalahan yang aku perbuat. Gerald juga diam, sepanjang perjalanan. Mungkin kami sama-sama menyadari apa yang terjadi, dan menyadari sifat kekanakan yang telah kami perbuat.aku menunggu, agar Gerald meledak dan aku siap menangkisnya. Aku harus tegas dengan hubunganku sekarang. Tidak ada kata labil, dan tidak tega. Karena semua itu merusak hubunganku dan berdampak pada diriku sendiri.Aku lelah dengan hidupku. Apalagi orang-orang di sekitarku, yang selalu menganggapku sepeleh dan beranggapan aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan aku selalu mengambil keputusan yang salah. Persetan dengan orang-orang. Mulai sekarang, aku akan menfokuskan hubunganku dengan suami.Aku menyandarkan kepalaku di dashboard dan menoleh ke arah Gerald. Ok, aku sudah gila, aku membayangkan suamiku Justin Bieber. Sadarlah Rara
"Gerald apa ini?" Teriakku heboh. Napasku memburu, aku berbalik pada Gerald yang begitu santai berdiri, menyandarkan punggungnya ke tembok, dengan tangan di depan dada. Ia ingin menunjukan ini semua, agar membuatku terkesan. Sayangnya, tidak sama sekali.Ruang tamu kami yang tidak seberapa itu, tidak terlihat lagi. Ditutupi oleh barang-barang baru dan aneh. Kulihat ada ranjang bayi, baju bayi, pernak-pernik bayi, alat mandi bayi, sabun dan kawan-kawannya beserta semua kebutuhan bayi. Waoh. Entah ini disebut kejutan atau pemborosan? Dan aku tidak terkesan sama sekali. Aku jahat? Entahlah. Aku tidak tersentuh sedikit pun, Gerald melakukan pemborosan. Kebutuhan bayi itu, belanja seperlunya, karena perkembangan bayi itu cepat sekali pertumbuhannya. Bahkan, pakaian saja ia bisa sekali pakai dan selanjutnya tidak terpakai lagi, seharusnya Gerald membeli seperlunya saja, bukan memborong satu toko.
Satu hari sebelum Natal. Aku harus membeli kado, karena nanti malam akan ada pertukaran kado. Bukan mau merayakan Natal, tapi lebih ke tradisi. Selama hidupku aku tidak pernah merayakan Natal itu seperti apa. Di sepanjang jalan, pohon Natal sudah dihias sedemikian rupa. Dan setiap rumah sudah bertengger pohon Natal. Jadi kami akan bertukar kado di rumah oma di Hessen. Anggap saja sedang lebaran di rumah oma.Yang buat aku bingung, kado apa? Aku harus membelikan Gerald kado apa? Oma apalagi. Dan aku sama sekali, buta referensi kado buat oma. Aku tak tahu, oma sukanya apa. Ah, apa saja di mataku cantik, aku beli saja. Gerald? Kurasa, aku belikan dia satu pack kondom dia pasti tidak keberatan. Tapi kondom buat apa? Kami tak pernah lagi, bermain menggunakan kondom. Bisa jadi, dia memakai kondom di luar sana. Duh, jangan
"Jadi, kamu anggap aku apa? Kenapa kamu sering melakukan apa-apa tanpa aku mengetahuinya?"Menangis? ya aku sedang menangis. Emosiku memuncak, aku tahu Gerald suka melakukan sesuatu dengan tiba-tiba. Tapi, tidak dengan perubahan rencana masa depannya. Kenapa ia tak mau mendiskusikan semuanya denganku terlebih dahulu? Sebenarnya aku ingin dianggap apa? Kenapa ia harus memilih warga negara Jerman, jika ia sudah menikah dan akan punya anak. Kenapa harus egois? Jika dia memikirkanku, ia pasti tidak akan memilih warga negara Jerman. Argh... manusia laknat ini, selalu membuat kepalaku pusing. Hatiku merasa sakit, dan bahkan merasa seperti dikhianati. Gerald sialan. Aku makin terisak, tak mengerti lagi dengan jalan pikirannya. "Aku memang nggak pernah berguna jadi istri. Jadi, memang kamu nggak perlu kasih tah
Aku masih uring-uringan. Dan Gerald dengan laknatnya malah keluar kamar dan bergabung dengan keluarganya, untuk membuka kado. Suami yang luar biasa. Suami langka, dengan sifat yang langka pula.Otomatis, jika Gerald ingin pulang ke Indonesia, dia harus mengurus pasport dan urusan dokumen ribet lainnya. Atau jangan-jangan dia berencana tak pernah pulang lagi? Bagaimana dengan aku? Aku Indonesia. Warga Indonesia. Walau Gerald mempunyai kewarganegaraan ganda, dia tetap harus punya dua pasport. Tapi apa pilihan Gerald sudah tepat? Begini ribetnya, mempunyai suami bule, dan suami yang mikir tekaknya sendiri.Argh.... Aku menggigit bantal dengan gemas. Maunya menggigit suami. Biar berdarah. Sesekali aku perlu menggigit Gerald, agar memberinya pelajaran. Dia memang super menyebalkan. Entah
Aku melihat, biola berbalik, dan kentara rasa kecewa di matanya. Apa salah, jika aku mencium suami sendiri? Apa aku tak boleh bermanja-manja dengan suamiku? Memikirkan ini, kurasa Biola ingin mendapat ciuman manja dariku. Aku meloncat dari pangkuan Gerald. Kembali ke ruang tengah, para keluarga bule berkumpul."Biola mana?" tanyaku, ketika keluarga Gerald tertawa, dan memegang masing-masing anggur ri tangan mereka."Biola? Oma nggak punya biola." tanya oma heran. Keceplosan. Aku menutup mulutku dan menggeleng. Bisa-bisanya keceplosan sebut nama orangm nanti dikira, aku manusia tak sopan. Walau begitu kenyataan. Aku ingin menjaga image terbaik di hadapan mertua, mereka begiti baik padaku, peduli padaku."Kalau Winola mana?" Baru pertama kali, aku menyebut nama wanita gila ini. Beruntung aku masih mengingat namanya. Karena ku mengingat lagi ke belakang. Biola-Viola-Winola. Yeah, all correct. C