Pov AnggaSemalaman pikiranku berkecamuk. Rasa benci membuatku mengatakan hal buruk pada Mira. Sungguh, aku tidak tahan dengan semua yang terjadi. Terutama, kesalahan menikahinya. Berada dalam satu kamar dengannya, bukan berarti aku akan menyentuhnya. Kami tak tidur di ranjang yang sama, Mira tidur di lantai. Jijik rasanya bila dekat dengan wanita itu. Tengah malam, aku terjaga. Samar aku mendengar suara isak tangis. Mira. Itu artinya, wanita itu menangis semalaman. Tega tak tega, memang itu kenyataannya. Tak bisa tidur kembali, aku meraih ponsel yang ada di dekat bantal. Ada banyak pesan dan panggilan. Dari Naura. Seperti biasa, dia tak bisa tidur. Aku tak membalas pesan Naura. Mungkin saat ini dia sudah tidur. Apalagi tak ada tanda dia sedang online. Kembali kuletakan ponsel ke samping bantal. Bersamaan itu ponselku menyala, ada panggilan masuk. Ponsel memang kusunyikan agar tak mengganggu suara deringnya. Naura. Sejenak aku melirik Mira. Suara isaknya masih terdengar. Akhirn
POV MIRAAku tak tahu harus berkata apa. Aku memang menangis semalaman. Perkataan Mas Angga begitu menusuk hati. Aku memang wanita kotor dan tak berharga. Apa yang terjadi kala itu hanya ketakberdayaan. Iming-iming cinta membuatku tergoda. “Masak sih, Ma?” Aku memegang wajah, coba menerangkan pada Mama Sandra kalau aku dalam keadaan baik-baik saja. Aku juga membohongi wanita yang telah melahirkanku itu, kalau tak menangis semalam. Usia menyiapkan makanan, aku duduk dan sarapan bersama mereka. “Mir, wajahmu pucat, apa kamu sakit?” Mas Angga memegang dahiku. Aku tahu itu hanya kepura-puraan agar dia terlihat baik di mata Mama Sandra. “Aku baik-baik saja.” “Apa perlu mama antar ke dokter?” tanya Mama Sandra. Lekas aku menggeleng. “Mira hanya perlu istirahat saja.” Kami lantas melanjutkan makan dalam diam. Seperti biasa, aku mengantarkan Mas Angga hingga teras rumah untuk membawakan tas kerjanya. Terkadang, aku merasa, diri ini hanya seorang pembantu untuknya. Bedanya, kalau pem
Badan terasa sangat lelah. Hari ini, hari yang sibuk untukku. Usai pulang bekerja, aku berkeliling mencari rumah kontrakan untuk Naura. Andai rumah lama milik keluarganya tak dijual, pasti dia bisa datang kapan saja.Pukul sebelas malam, aku baru tiba. Seharusnya, aku pulang pukul sembilan tadi. Aldo menelepon, dia mengajakku nongkrong di kafe.Selepas mandi, aku merebahkan diri. Badan terasa pegal semua. Sejenak aku melirik ponsel yang ada di dekat bantal. Menyala. Ada beberapa pesan masuk. Naura. Wanita itu sejak kemarin tak henti-hentinya menelepon dan mengirimkan pesan. Suasana hatinya sedang buruk karena pertikaian kedua orang tuanya.Sore tadi, Naura dan ibunya memilih keluar dari rumah. Ayahnya sudah di luar kendali. Tak hanya melukai ibunya secara batin, pria itu juga memukulinya. Sementara mereka tinggal di rumah teman ibunya. Rencana, besok pagi mereka akan kemari. “Ngga, aku tak bisa tidur.” Hampir tiap malam, Naura berkata seperti itu. Hampir tiap malam juga aku menemani
Jalan macet sore itu. Suara klakson kendaraan beberapa kali terdengar. Mereka, para pengemudi tidak sabar untuk bisa tiba ke tempat tujuan. Begitu juga denganku. Ya, aku harus menjemput Naura dan ibunya di bandara. Tak ingin di a risau menunggu, akhirnya aku mengirimkan pesan kalau sedang terjebak macet. Satu jam berlalu, akhirnya aku tiba di tempat tujuan.Dari jauh, aku memandang di depan terminal kedatangan. Naura mengirimkan pesan kalau dirinya sudah berada di depan. Dari jauh, aku memandang, seorang wanita dengan mengenakan atasan tunik berwarna jingga dan bawahan leging berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada.Wanita itu masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Hanya saja, penampilannya kini lebih dewasa. “Naura.” Dadaku berdebar hebat ketika mendekati wanita itu. Sama seperti ketika pertama kali aku menyatakan cinta padanya.“Angga.” Pandanganku berpindah pada wanita yang ada di samping Naura. Segera kuraih tangan wanita itu dan menciumnya takzim.Tanpa basa
POV MIRAPagi itu, usai Mas Angga berangkat kerja, kembali bergelut dengan kegiatan monotonku. Segala kegiatan yang berurusan dengan rumah. Hari ini, jadwal aku belanja. Bahan makanan yang ada di kulkas sudah mulai menipis. Aku keluar dengan membawa serta Zahir. Biasanya kami ke pasar mengendarai motor metik. Zahir duduk di depan. “Mbak Mira, sibuk terus, ya? Tiap minggu selalu ke pasar sendiri?” tanya Bu Sari tetangga sebelah ketika kami hendak menyeberang jalan. Wanita itu juga sedang hendak menyeberang. Tak menghiraukannya, aku memilih untuk melajukan motor. Menanggapi wanita itu justru akan menimbulkan pertanyaan baru darinya. “Zahir, kamu senang.” Sejenak aku melirik bocah kecil yang mengenakan helm berwarna biru dengan gambar kartun. Zahir sangat senang, bila aku mengajaknya naik motor. Bocah itu akan berceloteh riang di sepanjang jalan. Tak butuh lama, kami tiba di pasar. Kebetulan letak pasar tak jauh dari rumah kami. Hanya butuh waktu tidak lebih dari tiga puluh menit
POV Angga“Ok. Pergi sana. Aku juga tak membutuhkanmu!”Wanita itu benar-benar menguji kesabaranku. Paling juga dia hanya menggertakku. Kalaupun pergi, dalam sehari dia pasti akan balik lagi.“Baik, Mas. Aku akan pergi dari sini.”Wanita itu berjalan masuk kamarnya. Tak peduli aku ke kamar untuk membersihkan diri dan beristirahat. Rasanya sangat lelah setelah seharian bekerja. Namun, rasa lelah itu sedikit terbayarkan ketika aku bersama Naura.Kunyalakan shower dan membasahi diri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seketika aku merasakan tubuh kembali segar.Setelah badan kembali segar, aku duduk bersandar ranjang. Kuambil ponsel yang tadi kuletakan di atas nakas. Ada sebuah pesan dari Naura.“Terima kasih untuk hari ini.”Di akhir pesan dia menyelipkan emotikon hati.Segera aku mengetikan pesan balasan untuk Naura. “Untukmu apa yang tidak mungkin, bila kamu memintaku untuk menyeberangi lautan pun akan aku lakukan.”Tanpa menunggu lama, terlihat tanda centang biru. Tampak juga aktiv
POV MiraLangkah kakiku lambat kala itu. Bukan hanya karena takut karena gelapnya malam, tapi juga karena sedikit kepayahan. Bagaimana tidak? Satu tangan kugunakan untuk menopang tubuh Zahir yang tertidur lelap, sedang satunya membawa koper berisi pakaian dan barang-barang kami. Malam itu jalanan sudah sepi. Tak ada angkutan atau ojek. Bingung hendak menuju rumah Mama Santi mengendarai apa, akhirnya aku putuskan paling penting jauh dari Mas Angga terlebih dahulu. Beruntung, aku memiliki sejumlah uang. Sisa belanja selama ini dan beberapa pemberian Mama Sandra untuk Zahir. Aku tak pernah menggunakan uang pemberian Mama itu dan menyimpannya jika suatu saat dibutuhkan. Merasa lelah, aku duduk di depan pagar sebuah rumah. Aku membuka ponsel dan membuka aplikasi berwarna hijau untuk mencari ojek atau taksi daring. Beruntung masih ada taksi daring yang lokasinya tak jauh dariku. Tak butuh waktu lama, taksi yang aku pesan tiba. Pengemudi membantuku membawakan koper ke mobil. Setelahnya m
“Tante.” Naura menghampiri Mama. Wanita itu mengulurkan tangan pada Mama. Namun, tak mendapat balasan. Suasana seketika berubah canggung. Apalagi pelanggan yang berada tak jauh dari kami memandang dengan tatapan tak suka.Merasa tak enak, aku meraih tangan Naura. Mengajaknya menjauhi Mama sebentar. Ketika melakukannya, aku bisa melihat Mama menatap kami tak suka.“Mas ada apa?” Naura memandangku penuh tanya.“Naura, maaf atas sikap Mama. Sebenarnya Mama sedang marah padaku.”Aku coba menjelaskan pada Naura. Pada akhirnya aku meminta Naura untuk pulang sendiri naik taksi daring. Awalnya dia menolak dan bersikukuh ingin membantu menyelesaikan masalahku dengan Mama. Aku menolaknya, karena tak mungkin dia bisa melakukan hal itu. Karena masalahku dengan Mama adalah dia.“Baiklah. Aku akan pulang sendiri. Lekas baikkan dengan Tante Sandra. Jadilah putra penurut.” Beruntung Naura tak curiga dengan sikap Mama.“Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta.” Sebisa mungkin aku tetap tersenyum di