"Ya. Aku sanggup," jawab Robert penuh dengan keyakinan. "Karena sejak awal aku memang sudah menyukainya."Jones mengangguk puas. "Baiklah. Tapi, kalau kau membuatnya menangis. Kau akan berurusan denganku, Robert."Robert balas mengangguk. "Anda tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membuatnya menangis. Mungkin hanya menangis bahagia."Jones lalu mengajak Robert kembali kepada Nola."Apa yang sudah kalian bicarakan, huh? Kalian baru saja membicarakanku ya?" tuduh Nola kesal dengan kedua tangan terlipat di depan tubuhnya.Jones mengulas senyum. "Ini pembicaraan antar pria. Kau tidak perlu tahu."Jones lalu melirik Robert sekilas. Lalu, menatap Nola. "Apa kau akan tetap pergi ke luar negeri, Nola?""Tentu saja!" jawab Nola lantang, tak peduli jika Robert tersinggung saat mendengarnya. Padahal tujuan pria itu ke sini adalah agar Nola tidak jadi ke luar negeri.Robert mendekati Nola. "Jangan pergi, Nola. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu."Nola bergeleng cepat. "Aku sudah meno
Seperti pagi sebelumnya. Sekarang pun Lolita menolak sarapan bersama Roy. Dia lebih memilih tiduran di kamarnya."Baiklah. Kalau kau lapar, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu di lemari pendingin. Kau tinggal menghangatkannya saja," tukas Roy setelah mendapati penolakan Lolita saat dia mengajaknya sarapan.Roy hanya menyambar satu roti tawar gandum untuk mengganjal perutnya. Dan dia segera bergegas pergi ke perusahaan. Dia tidak mau sampai terlambat. Meski, atasannya adalah sahabatnya sendiri, dia harus tetap bersikap profesional.Ketika suara Roy lenyap setelah suara pintu yang tertutup terdengar. Lolita mendongak dari kamarnya. Dia kehilangan nafsu makannya, bahkan air pun sepertinya enggan untuk dia telan.Wajah Lolita menjadi lebih tirus, dan lingkaran hitam tercetak samar di sekitar matanya karena tidak bisa tidur, dan selalu memikirkan Edgar.Sedang apa dia sekarang? Sedang bersama siapa? Dan apakah dia juga merasakan rindu yang sama dengan yang Lolita rasakan ini?Pundak Lolit
Roy bangkit dari kursinya dengan menahan amarah. Lolita sudah sadar, tapi keadaannya masih lemah. Lolita terus memanggil nama Edgar, dan meminta pada ayahnya untuk memperbolehkannya bertemu dengan Edgar lagi. Setidaknya satu kali saja."Daddy tidak akan mengizinkannya. Kau lupakan saja dia, dan fokus pada penyembuhanmu, Lolita," tukas Roy berderap pergi meninggalkan Lolita sendirian di kamar pasien yang sunyi, dan dipenuhi bau obat yang Lolita benci.Mata Lolita berkaca-kaca saat melihat kepergian Roy dari kamar pasien yang dia tempati. Satu tetes air mata berhasil jatuh tanpa bisa dia bendung.***Paginya. Roy membawakan bubur untuk Lolita. Dia duduk di kursi di samping ranjang, dia lalu menyodorkan sesendok bubur ke arah Lolita.Lolita bergeleng menolak. "Aku tidak mau makan, Dad.""Kau harus makan, Lolita. Supaya kau cepat sembuh," tukas Roy masih mempertahankan tangannya di depan Lolita yang membawa sendok berisi bubur.Lolita bergeleng lagi. "Aku tidak mau makan, kalau Daddy masi
"Tuan, Anda akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk si gadis kecil sekarang? Bolehkah saya juga ikut menjenguknya?" tanya Franklin saat Edgar bersiap akan pergi."No, Franklin. Kau tetap saja di sini. Kau masih ada pekerjaan yang harus kau selesaikan," jawab Edgar tak memperbolehkan Franklin ikut dengannya. Franklin mengangguk kecewa. "Baik, Tuan."Edgar lalu berderap keluar dari ruangan dan segera meluncur menuju rumah sakit. Tapi, sebelumnya dia mampir ke supermarket untuk membelikan buah dan coklat yang akan dia berikan kepada Lolita nanti.Edgar melanjutkan perjalanannya setelah meletakkan buah dan coklat yang baru saja dia beli di bangku belakang mobilnya.Karena ucapan Jones tadi, dia jadi lebih bersemangat. Seakan Jones sudah menyuntikkan semangat pria itu lewat kata-katanya.Edgar menarik napas dalam dan menaikkan kecepatan laju mobilnya. Dia sudah tak sabar untuk melihat Lolita lagi.Saat sudah sampai di rumah sakit, Edgar melangkah tegas dan cepat sambil membawa buah dan
Hari ini adalah hari yang sangat Lolita tunggu-tunggu. Hari ini dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Tapi, setelah Edgar mengunjunginya kemarin, pria itu tak muncul lagi."Dad ….""Iya?" Roy menatap Lolita yang berjalan di sampingnya menuju area parkir rumah sakit. Lolita tadi sudah diperiksa, dan biaya rumah sakit sudah Roy bayar lunas. Roy merasa lega. Dia tak perlu lagi pergi ke rumah sakit, dan bisa fokus pada pekerjaannya saat keadaan Lolita sudah benar-benar pulih."Bolehkah aku meminta ponselku kembali, Dad? Aku merasa bosan saat Daddy bekerja," ucap Lolita dengan wajah memelas.Roy hanya mendesah berat. Dia membukakan pintu mobil untuk Lolita, dan dia menyusul masuk."Nanti akan Daddy berikan saat sudah sampai di rumah," balas Roy saat dia mendudukkan dirinya di bangku kemudi.Lolita tersenyum senang. "Terima kasih, Daddy. Aku cinta Daddy."Lolita mencium pipi Roy singkat. Dia lalu memakai sabuk pengaman, dan terus mengulas senyumnya.Di sebuah cafe. Edgar dan Jones bertemu
Lolita dan Edgar saling melempar senyum. "Aku akan membuat pesta pernikahan sebaik dan semeriah mungkin, karena itu hanya terjadi satu kali seumur hidupku," tukas Edgar masih mempertahankan senyumnya."Baiklah. Kalau begitu, aku dan Lolita pergi sekarang," tukas Roy menarik Lolita mendekat padanya. Dia melemparkan tatapan tajam pada Edgar sebelum dia mengajak Lolita keluar dari ruangan Edgar.Edgar mendesah pelan. Dia lalu tersenyum. Dia senang karena pada akhirnya Roy merestui hubungannya dengan Lolita. Meski, dengan terpaksa.Dia lalu tersadar jika Franklin belum juga kembali. Dia mencoba menghubunginya lewat telepon, tapi Franklin tak kunjung mengangkatnya."Huh, kenapa sulit sekali aku hubungi?" gumam Edgar kembali menelepon Franklin, tapi hasilnya tetap sama.Sementara itu, Franklin hendak masuk ke dalam mobilnya dan pergi ke perusahaan setelah melakukan tugas dari Edgar. Ponselnya tertinggal di dalam mobil, dan dia tidak tahu jika tuannya sudah menghubunginya berulang kali.Saa
"Kau serius?" tanya Edgar masih tak percaya. Dia sudah hidup lama bersama Franklin, dan Jones. Tapi, baru sekarang dia tahu kalau kedua pria itu sebenarnya masih saudara."Kenapa kau tidak pernah memberitahuku, Franklin? Aku jadi terlihat seperti orang bodoh karena tidak tahu apa-apa"Franklin menundukkan kepalanya, menyesal. "Maafkan saya, Tuan. Selama ini hubungan saya dan Jones bisa dikatakan buruk. Kami sampai berusaha untuk bersikap tak saling kenal. Dan baru membaik akhir-akhir ini," jelasnya.Edgar mendesah kasar. "Seburuk hubunganku dengan Jones?" tanyanya sambil mendesah sekali lagi.Franklin mengangguk. "Mungkin lebih parah, Tuan."Ketika mereka bercakap-cakap, seorang dokter keluar dari ruangan di mana Jones sedang ditangani."Keadaan pasien Jones sudah mulai membaik. Tapi, saya perlu untuk membicarakan sesuatu yang penting tentang perkembangan pasien kepada keluarga pasien. Dari Anda berdua, siapa yang merupakan keluarga dari pasien Jones?"Franklin langsung beranjak dari
"Jones yang menolong saya, Roy. Dia menggantikan saya saat hendak dipukul oleh ayah saya, dan ayah saya yang tidak terima hal itu justru menusuk Jones," jelas Franklin pada Roy."Jadi, sebenarnya kalian bersaudara?" tanya Roy saat mencoba memahami cerita dari Franklin."Iya." Franklin mengangguk membenarkan.Roy menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kau adiknya, tapi selama ini kau justru sangat dekat dengan Edgar. Aku jadi teringat masa sekolah dulu. Saat kau dipukuli dan dibully. Edgar, aku, dan Jones menolongmu. Tapi, hanya Edgar yang mendapatkan ucapan terima kasih."Franklin berkedip cepat, terkejut atas kenyataan yang baru saja Roy katakan. Karena yang dia tahu hanya Edgar yang menolongnya saat itu. "Benarkah itu? Maafkan saya. Seharusnya saya tahu dan saya harusnya berterima kasih pada Anda.""No … no. Jangan merasa bersalah. Itu sudah berlalu. Hanya saja saat itu aku benar-benar terkejut saat seorang Jones nekad memukul teman sekelasnya sendiri hanya untuk membelamu. Dan dia yan