Nola tersentak saat Robert membawa tubuhnya menuju ke kamar. Dia lalu membiarkan dirinya berbaring telentang di atas kasur. Sebelum akhirnya Robert ikut bergabung ke kasur, dan langsung menghujamnya lagi."Robert, aku sudah lelah." Robert bergeleng. Dia belum puas. "Satu kali lagi. Aku mohon, Nola.""Baiklah. Satu kali lagi." Nola mengangguk pasrah. Dia memejamkan kedua matanya saat Robert memaju mundurkan miliknya. Dia memang sangat lelah sekarang. Mungkin karena dia hamil, dia jadi tidak sekuat dulu. Tapi, saat Robert menggagahinya, Nola juga merasakan nikmatnya. Dia kembali mendesah menikmati hujaman Robert di bagian intimnya.Robert mengulas senyum senang saat dia dan Nola mencapai klimaks mereka bersamaan. Robert membiarkan cairannya keluar di rahim Nola. Dia lalu ikut tidur di sisi Nola setelah melepaskan miliknya dari milik Nola."Tadi sungguh luar biasa. Terima kasih, Nola. Akhirnya aku bisa merasakan milikku turn on lagi karena kau." Robert mendesah puas.Nola memiringkan tu
Syukurlah. Bayi di dalam kandungan Lolita baik-baik saja. Sudah satu minggu berlalu semenjak tabrakannya dengan pria asing menyebalkan itu, dia tidak mengeluhkan sesuatu pun. Dia juga sudah memeriksa keadaan kandungannya. Dan Dokter menyatakan kalau bayinya sehat, dan baik-baik saja. Tidak ada lagi yang perlu Lolita khawatirkan.Hari ini pernikahan Nola dan Robert diselenggarakan. Tapi, Lolita memilih menunggu Edgar di rumah sakit. Ayahnya, Jones, dan Franklin sedang menghadiri acara pernikahan Nola dan Robert. Mereka akan ke rumah sakit saat acara sudah selesai.Lolita duduk termenung di dekat Edgar. Diam dan tak bersuara. Tidak seperti biasanya, yang selalu mengajak berbicara Edgar, Lolita kini memilih menatap Edgar dalam diam.Lolita mendesah pelan. Sudah dua minggu, sejak Edgar mengalami koma karena racun yang tidak sengaja pria itu minum. Lolita tetap setia menunggu Edgar. Walaupun menunggu itu menjemukan, tapi Lolita akan melakukannya untuk Edgar. Untuk suaminya yang teramat dia
Jones, Franklin, dan Roy telah sampai di rumah sakit hampir bersamaan. Mereka segera menggiring langkah mereka menuju kamar rawat yang dipakai untuk merawat Edgar.Mereka duduk di kursi tunggu, sementara Lolita ada di dalam ruangan bersama Edgar yang masih belum sadar dari komanya."Sudah dua minggu, Edgar belum juga bangun," gumam Jones sedih. Dia menjalin kedua tangannya di atas pangkuannya."Kita tidak tahu kapan dia akan sadar. Kita hanya bisa berharap yang terbaik untuk Edgar," balas Roy turut bersedih.Franklin yang duduk di antara Jones dan Roy hanya bisa mengangguk mengiyakan."Roy, bagaimana keadaan perusahaan Edgar? Masih kondusif kah?" tanya Jones sedikit khawatir. Karena perusahaan telah lama tidak diurus oleh Edgar. Perusahaan Jones saja sudah mulai mendapatkan masalah selama dia memulihkan diri pasca operasi. Dia tidak mau perusahaan sahabatnya itu mengalami hal yang sama.Roy mendesah pelan. "Perusahaan baik-baik saja. Tapi, aku cukup kewalahan mengerjakan tugas Edgar y
Satu bulan berlalu begitu cepat. Tapi, Lolita melewatinya dengan penuh kesabaran. Dia tetap menghabiskan banyak waktunya untuk duduk menunggu Edgar di sisi suaminya itu, berharap Edgar akan segera bangun dari komanya.Jones, Franklin, Nola, dan Robert juga masih sering menjenguk Edgar, dan memberikan kekuatan serta semangat untuk Lolita.Lolita menatap Edgar yang masih memejamkan kedua matanya. Dia membelai lembut pipi Edgar dan mengecupnya pelan."Om, aku akan tetap di sini untuk Om. Jadi, Om tidak perlu khawatir jika Om kesepian," ucap Lolita kembali duduk setelah mencium pipi Edgar singkat.Lolita lalu membulatkan kedua matanya saat Edgar menggerakkan jemarinya pelan. Lalu, kedua mata pria itu perlahan terbuka.Edgar mengerjapkan kedua matanya pelan. Dia masih menyesuaikan pandangannya saat melihat ruangan serba putih yang dia tempati. Dia lalu menggerakkan pandangannya ke arah lain. "Lolita," gumam Edgar tanpa suara. Air matanya meleleh saat melihat gadis yang dia cintai berderai
Roy, Nola, dan Robert akhirnya menyusul ke rumah sakit. Mereka tiba hampir bersamaan dan langsung menghampiri Edgar di kamar rawat pria itu.Di dalam kamar rawat Edgar, begitu ramai karena Jones, dan Franklin terus saja berdebat. Sementara, Edgar dan Lolita hanya tersenyum melihat adik kakak itu tetap adu mulut."Edgar pasti tidak mau juga punya adik sepertimu," tukas Jones bersedekap menghadapi Franklin. Dia bergeleng pelan karena adiknya itu sekarang begitu berani menjawab semua ucapannya di saat berada di depan Edgar, karena merasa dibela oleh sahabatnya itu."Itu hanya anggapanmu, Jones. Itu hanya pikiranmu saja. Tuan Edgar sudah menganggapku seperti adik Tuan sendiri."Jones memindahkan pandangan ke arah Edgar. "Benarkah itu, Edgar? Kau sudah menganggap Franklin seperti adikmu sendiri?"Edgar mengangguk lemah. "Iya. Sudah kalian berhenti berdebat. Kepalaku pusing mendengar kalian."Jones mengangguk menyerah. "Aku akan diam, Edgar."Nola dan Robert masuk ke dalam kamar rawat Edgar
Seorang pria duduk di sofa sambil menyesap kopinya. Dia menaikkan sebelah alisnya saat orang suruhannya masuk ke dalam ruang utama rumahnya."Ya. Bicaralah! Apa yang sudah kau dapatkan selama mengamati Jones?"Orang suruhan itu membungkuk dalam sambil berucap pelan. "Saya sudah menelusuri semua tentang Tuan Jones. Dia memiliki seorang adik yang sekarang bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Dan Tuan Jones begitu akrab dengan Tuan Edgar dari perusahaan Beauty Corp."Sang pria tersenyum. Dia meletakkan cangkir kopinya ke meja. "Menarik. Padahal yang aku tahu Jones bermusuhan dengan Edgar. Tapi, mereka tiba-tiba menjadi dekat."Sang pria lalu mengibaskan tangannya. "Kau bisa pergi sekarang."Orang suruhan itu membungkuk sekali lagi, kemudian segera pergi dari hadapan Gio.Gio masih tersenyum. "Jadi perempuan yang aku tabrak di rumah sakit saat itu istrinya Edgar. Tapi, dia juga dekat dengan Jones. Hubungan yang sangat rumit."***Lolita menyuapi Edgar dengan sangat telaten. Di saat ada
Jones keluar dari rumah sakit bersama dengan Franklin."Jadi, bisa dikatakan Gio dulu adalah adik kelasku saat masih sekolah? Dia satu kelas denganmu, tapi kau tidak dekat dengannya?" tanya Jones saat dia berderap ke area parkir rumah sakit menuju mobilnya.Franklin mengangguk membenarkan. "Iya. Mungkin, kau tidak menyadarinya. Karena dia bukan siswa yang populer saat itu. Hanya saja dia sudah memiliki sifat liciknya sejak dulu. Aku ingat dia pernah membuat temanku yang lain dihukum karena terkena fitnah dari Gio. Padahal Giolah yang melakukannya."Jones mengangguk paham. Dia terdiam sebentar, membuka pintu mobil saat sudah sampai di samping mobilnya, lalu masuk ke dalamnya.Setelah berada di dalam mobil dan Franklin juga sudah duduk di sisinya, Jones kembali berucap. "Gio benar-benar licik. Tapi, dia tidak tahu kalau aku juga licik," tandasnya dengan sebuah senyuman di bibirnya.Franklin mengangguk setuju. "Ya. Kau juga licik, Jones.""Setelah ini kau akan pergi ke mana?" tanya Frank
Dengan sedikit canggung Jasmine mendekatkan wajahnya dan menunggu Jones menciumnya. Jones melirik ke samping. Tepat sekali pria bernama Gio itu sedang berada di cafe yang sama dengannya. Dia memang belum pernah bertemu dengan Gio secara langsung, tapi dia tahu wajahnya karena Franklin pernah memperlihatkan album kenangan sekolah milik adiknya itu padanya. Gio cukup berubah banyak. Style pakaian, dan rambutnya berubah, dan lebih cenderung meniru Jones. Entahlah, pria itu benar-benar meniru Jones atau hanya kebetulan mirip. Tapi, Franklin pernah bercerita kalau perempuan yang Gio sukai justru menyukai Jones. Ya, Jones jadi bisa sedikit menyimpulkan tentang Gio lewat cerita yang Franklin sampaikan padanya.Jones mengulas senyum tipis. Dia bisa menangkap lewat sudut matanya kalau Gio sedang melihat ke arahnya.Dengan gerakan pelan Jones mendekati Jasmine. Dia meletakkan sebelah tangannya ke leher wanita itu, lalu mencium bibir Jasmine panjang. Dia lalu melumatnya dan memperdalam ciumanny