Satu tinjuan mendarat dengan sempurna di pipi Bagas hingga ia tertoleh ke samping sebab kencangnya pukulan itu.
Tari yang melihat adegan tersebut sontak saja membekap mulutnya. Ia terkejut kala anak semata wayangnya dengan berani membalaskan perlakuan Bagas yang mendarat di dirinya. Sebab sebelumnya, Agni hanya membalas segala perlakuan Bagas hanya dengan ucapan. Ini merupakan yang pertama bagi Agni berani melawan fisik dengan ayahnya.Tak hanya Tari yang terkejut. Satu sosok laki-laki pengintai di balik dinding tinggi di samping gerbang pun tak kalah terkejutnya melihat adegan tersebut. Dia adalah Tirtha.Pria memutuskan untuk tetap stand by di sekitar rumah Agni. Berharap, Agni segera pulang. Rasa penasaran yang menggebu menahannya untuk tetap bertahan.Benar saja, tak berselang lama, terlihat sebuah motor gede dengan tipe terbaru memasuki rumah yang tadi sempat ia kunjungi.Menyeruput kopi untuk yang terakhir kali, Tirtha kemudian beranjak dari kedai kopi seberang jalan tak jauh dari rumah Agni."Mang, kembaliannya!" teriak sang pemilik kedai sembari mengacungkan uang seratus ribu yang baru saja diberikan oleh Tirtha."Ambil saja, Mang!" sahut Tirtha sembaru berlalu pergi."Wuih .... Alhamdulillah, rejeki nomplok. Ris-laris manis!" ucapnya mencium uang tersebut kemudian menyabet-nyabetkannya pada meja dagangannya.Sedikit berlari. Namun, masih dengan penuh kehati-hatian agar jangan sampai pengintaiannya kali ini ketahuan. Akhirnya, Tirtha sampai juga di depan gerbang rumah bercat krem tersebut. Ia bersembunyi di balik dinding samping gerbang. Dari situ, dapat terdengar jelas semua percakapan yang ada. Tirtha dapat merasakan sendiri panasnya percekcokan yang terjadi.Mata sipitnya kemudian terbelalak kala melihat Agni yang dengan beraninya meninju sosok yang tadi mengusir dirinya."Ajigilleeee ...." Tirtha berucap dengan tangan yang mengelus pipinya sendiri. Dapat dibayangkan betapa sakitnya pukulan tersebut, sebab, suaranya pun bisa terdengar sampai di tempatnya berdiri saat ini."Berani bener tuh cewek. Harus gue acungi jempol, sih. Sosok kayak gitu emang harus banget di lawan," lanjut Tirtha lagi dengan sorot mata yang sedikit mengintip di sela-sela gerbang, penasaran akan ada adegan apalagi selanjutnya."Gimana rasanya? Enak?" tanya Agni pada pria yang masih memegangi pipinya. "Itu juga yang gue sama ibu gue rasain, Bangsat! Rasanya sama! Bahkan mungkin lebih sakit dari apa yang lu rasain sekarang!" amuk Agni dengan tangan yang terus menunjuk tepat di depan muka Bagas.Tari maju, ia menarik-narik tubuh putrinya agar mundur. Dirinya sungguh takut Bagas kalap dan menghajar Agni habis-habisan seperti saat tadi Bagas menghajarnya."Diam, Bu! Kali ini amarahku sudah sampai pada titik puncak. Takkan lagi aku biarkan dia menginjak-injak kita," ucap Agni melepas tangan sang ibu yang terus menariknya agar menjauh."Sudah, Ni, sudah!""Kita harus melawan, Bu! Sampai kapan kita mau diam terus seperti ini? Kalau Ibu nggak berani memberinya pelajaran, biar Agni yang turun tangan sendiri.""Ni, Pliss ...." Mohon Tari menangkupkan kedua tangannya."Mundur, Bu. Jangan buat Agni juga marah pada Ibu!" Agni berucap dengan penuh penekanan. Berharap, sang ibu mengerti maksud dirinya.Beruntung, Tari akhirnya mengerti. Ia mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya kemudian merogoh ponsel yang berada di dalam saku celananya, mengabari seseorang, berjaga-jaga jika saja sesuatu yang buruk nantinya terjadi."Ribuan kali sudah kuperingatkan padamu, Tuan Bagas Yudistira, jangan pernah sekalipun kau sentuh dan sakiti ibuku. Namun, sepertinya ucapanku tak pernah tercerna dengan bagus di telingamu, ya?! Apa pendengaranmu sudah tak lagi berfungsi sebab tubuhmu yang sudah tua bangka dan bau tanah itu?!" ucap Agni menatap sengit pada pria di hadapannya. Pria yang memiliki sorot mata sama seperti dirinya."Haruskah aku mengantarkanmu lebih cepat menuju neraka, agar kau berhenti menyakiti kami?"Terdengar bunyi gemeretak gigi yang diyakini adalah gigi milik Bagas. Emosi pria itu sudah terpancing rupanya, membuat Agni tersenyum penuh kemenangan. Akan lebih mudah menghancurkan seseorang yang emosinya mudah sekali terpancing.Dirinya pun sebenarnya sudah emosi sejak melihat sang ibu yang babak belur. Namun, sebisa mungkin ia kendalikan emosi itu agar berkumpul saja pada tenaga yang akan ia hantamkan pada pria di hadapannya."Kurang ajar!" teriak Bagas mengarahkan bogemannya ke arah Agni."Agni, awas!"___***___Tari berteriak kala melihat Bagas mengepalkan tangannya dan bersiap memukul Agni. Wanita itu sontak bersiap untuk berlari mendekat ke arah Agni dengan maksud melindungi putrinya agar bogeman tersebut tak sampai mengenai pipi mulus anaknya.Dibanding Tari yang terlihat panik, Agni justru tetap bersikap tenang dengan tawa kecut yang menghiasi bibirnya. Gerakan Bagas sudah terbaca dengan jelas dan diwaspadai oleh Agni sehingga ia tahu harus bertindak apa selanjutnya.Dengan gerakan yang tak kalah cepat, gadis itu meraih tangan yang hampir mengenai wajahnya itu. Dipelintirnya tangan tersebut ke arah kiri dengan amat cepat, membuat sang pemilik tangan mengaduh kesakitan.Tari menghentikan langkahnya. Ia tercengang sembari menutup mulut dengan kedua telapak tangan sebagai suatu reflek tanda keterkejutan kala melihat suatu hal yang terjadi di hadapannya."Aarrggh! Lepas, Brengsek!""Katakan lebih keras!" ucap Agni dengan senyum culasnya.
Sekian detik berlalu, tak ada respon apapun dari Bagas. Hanya dadanya saja yang terlihat kembang kempis dengan raut wajah yang berubah warna menjadi merah menyala pertanda emosi yang semakin memuncak naik."Kenapa diem aja? Ayo, buruan bunuh anak sialan ini! Bunuh aku, Bagas! Pakai apapun yang bisa mempercepat nyawa dalam tubuh ini hilang. Supaya nggak akan ada lagi sosok gadis kecil pembawa petaka dalam kehidupan yang super sempurnamu itu, Bagas Yudistira!" ucap Agni lantang dengan tangan yang memukul-mukul dadanya sendiri.Suasana panas di halaman rumah terasa sampai ke depan gerbang di mana Tirtha berada. Rasa iba mulai menjalar dalam hati pria itu melihat bagaimana pilunya nasib seorang wanita yang baru beberapa hari ditemuinya itu."Lagian, kenapa nggak dari dulu aja sih lu bunuh gue, hah?! Kenapa kalian harus pertahanin manusia pembawa petaka kayak gue ini untuk terus hidup tapi cuma buat disiksa? Kenapa pula gue dilahirin kalau endingnya kayak
"Agni, awas!" Tirtha reflek berteriak kala melihat Bagas yang tengah memegang sebilah pisau tajam dan hendak mengarahkannya ke arah Agni.Kakinya mengayun cepat, berlari sekencang yang ia bisa melewati gerbang yang belum tertutup sempurna setelah dilewati Agni tadi.Namun, nahas! Pisau itu sudah terlanjur menancap sempurna di tubuh seorang perempuan diiringi teriakan kesakitan sebelum Tirtha sampai di halaman rumah itu."Ibu!" Agni memekik kencang dengan mata yang membulat sempurna ketika melihat Tari ditusuk pisau oleh Bagas sebab ingin melindunginya.Tari mematung, tangannya memegangi perut yang kini mulai mengalirkan darah segar berwarna merah sebelum akhirnya jatuh tergeletak ke samping.Agni langsung maju ke depan, menghampiri Tari. Ia angkat kepala wanita yang telah melahirkan dan melindunginya itu ke atas pangkuannya. Air mata terus saja berderai melihat Tari yang meringis kesakitan.Tari mulai menyadari bahaya yang segera
"Minum dulu," ujar Tirtha menyodorkan sebotol air mineral ke arah Agni yang duduk terdiam di depan sebuah ruangan di mana Tari tengah mendapatkan penanganan.Agni menoleh, netranya memandang air mineral yang berada di hadapannya dan Tirtha secara bergantian. "Minumlah! Kondisimu juga butuh dipulihkan. Tenang, ini hanya air mineral yang masih tersegel rapi, belum aku campuri apapun di dalamnya," ucap Tirtha kembali berusaha mendekatkan minuman itu ke hadapan Agni. Agni menerima uluran air mineral tersebut. "Makasih, ya!" ucapnya kemudian menengguk beberapa tegukan air.Tirtha mengangguk dan duduk di sebelah gadis yang terus saja memandangi daun pintu tertutup di hadapannya itu."Beliau pasti baik-baik aja. Dokter sedang berjuang menanganinya, dan kamu ... kamu juga harusnya berjuang dalam mendoakan ibumu dari sini."Agni kembali menoleh ke arah Tirtha, hanya sekejap, sebelum akhirnya kembali memalingkan wajah saat dirasa setitik bening di matanya mulai berkumpul dengan titik-titik
Seorang pria datang setengah berlari ke arah Agni yang duduk membungkuk menelungkupkan kepalanya hingga menyentuh lutut. "Ni ...," panggil pria itu yang kemudian berlutut di hadapan Agni. "Are you oke?" tanyanya membelai lembut rambut di kepala gadis yang mempunyai tanda bintang di lengannya itu.Gadis itu mengangkat kepala saat mendengar suara yang tak asing itu memanggil akhiran dari namanya. Wajah jelita itu terlihat memerah dengan banyak bekas air mata yang menghiasi wajahnya."Vid, ibu, vid ...." Sesenggukan, Agni terlihat susah payah menceritakan segala sesak di relung hatinya."Tua Bangka itu menyakiti Ibu karena kebodohan gue, Vid. Harusnya ... harusnya malam itu gue gak pergi. Harusnya gue melindungi ibu.""Gue marah ... Gue marah saat gue pulang dan ngeliat luka di wajah ibu sangat parah, lebih parah dari sebelumnya. Gue ... Gue pukul lelaki itu, Vid. Gue ngehajar dia. Sampe gatau gimana ceritanya, saat gue lengah ibu
Setelah melalui beberapa penanganan, Tari akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Nafas lega berhembus dari diri Agni kala mendengar bahwa luka yang ibunya alami tidak begitu parah. Ia hanya perlu menjalani beberapa pengobatan di bawah pantauan media selama beberapa hari ke depan.Dan di sinilah gadis itu berada, terduduk di samping ranjang sang bunda yang terbaring dengan mata terpejam.Hingga suara ketukan pintu membuat Agni menolehkan kepala. Ia kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya. Seketika, netranya terbelalak kala melihat siapa yang datang. Matanya menatap bengis pada salah dari seorang tersebut.—"Dia keterlaluan, Opa! Maaf yang selalu diucapkan hanya berlaku di depan Opa. Selebihnya, dia seolah lupa dengan kata maafnya sendiri," papar Agni berdiri dengan telunjuk yang mengarah tepat ke wajah Bagas yang terlihat memiliki luka lebih parah dari saat terakhir ia melihatnya. Dapat ditebak, jika Yudi
Setelah pertemuannya dengan Yudistira dan Bagas malam itu, Agni langsung memutuskan untuk memindahkan Tari ke rumah sakit lain. Ruang rawat yang sudah diketahui oleh Bagas beresiko besar mengancam keselamatan ibunya. Bagas bisa saja melakukan apapun yang ia mau dan itulah yang Agni khawatirkan."Ibu tunggu di sini dulu, ya. Agni mau ke depan dulu," pamitnya pada sang Bunda yang dijawab anggukan singkat.Gadis itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit, menuju bagian resepsionis. Ia berniat meminta bantuan rumah sakit untuk tidak memberikan informasi apapun jika ada seseorang yang bertanya tentang keberadaan ibunya selain dirinya.Agni sebenarnya bisa meminta bantuan Yudistira untuk memberikannya pengawalan. Namun, niatnya itu kembali ia urungkan sebab satu dari alasan lainnya. Bahkan, Yudistira pun tak tahu bahwa ia memindahkan sang bunda ke rumah sakit lain. Sekali lagi, semuanya ia lakukan untuk melindungi dirinya dan bundanya.La
"Lu bukan orang pertama yang ngira dia pacar gue," ucap Agni tertawa pelan. Ia menghela napasnya panjang kala mengingat betapa banyaknya orang yang menyebut David adalah kekasihnya."Benar begitu, 'kan?"Gadis itu menggeleng cepat. "Dia sahabat gue.""Hanya sahabat?""Ya. Apalagi?" tanyanya menoleh ke samping, menatap pria yang ternyata juga tengah menatapnya saat itu."Rasa yang tergambar antara kalian berdua kayak nyata dan lebih dari sekedar persahabatan.""Oh, ya?" Tirtha mengangguk.Agni mengalihkan tatapannya kembali ke arah depan. Terdiam, ingatannya kemudian kembali mengingat pada ungkapan rasa yang selalu David utarakan akhir-akhir ini.Ada sebuah rasa bersalah yang timbul di hatinya kala lagi dan lagi, bahkan berulang kali ungkapan rasa itu kembali ia tolak.Bukan tanpa alasan. Dirinya terlalu takut menjalani sebuah hubungan yang serius dengan seorang pria. Apalagi yang ditawarkan D