Sepulang dari rumah sakit sore itu, Bimo tak ingin langsung pulang. "Kanaya sudah pulang belum ya, dari kuliahnya?" gumamnya merasa rindu, dengan gadis berlesung pipi itu. Terlihat langit mulai gelap, angin berhembus sedikit kacang, menghantarkan hawa dingin, pertanda hari akan hujan.Jam masih menunjukkan pukul setengah empat. Niken tampak berlari-lari, menghampiri pemuda berkuncir itu, di parkiran."Mas Bimo, aku ikut mobil kamu ya?" ujarnya, segera memegang lengan pemuda itu.Entah mengapa, Bimo kini merasa risih, di perlakukan seperti itu, oleh Niken."Maaf Niken, tapi aku tidak langsung pulang, aku masih ada janji dengan seseorang." tolak nya."Janji? janji sama siapa?" tanya Niken, terlihat curiga."Itu bukan urusan kamu Niken, sudah ya, kamu pulang naik mobil kamu sendiri saja." Bimo segera melepas pegangan tangan gadis itu, dan membuka mobilnya."Orang itu pasti perempuan kan?" Niken berkata dengan dingin, menahan pintu mobil Bimo."Itu bukan urusan kamu." jawab Bimo."Tetap
"Kanaya nya ada Bu?" tanya pemuda berkuncir itu, langsung pergi ke rumah makan Kanaya, karena ia merasa, gadis itu tidak akan langsung pulang ke rumahnya. Bu Tuti tampak terkejut, melihat tubuh Bimo yang basah, sore-sore begini datang mencari Kanaya."Nak Bimo, kenapa basah seperti ini? nanti kalau sakit bagaimana?" seru bu Tuti, tampak khawatir. Bimo tak menjawab, ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok Kanaya, di rumah makan itu... "Kanaya belum datang kemari Nak Bimo." jawab bu Tuti akhirnya, karena melihat wajah Bimo, yang tampak khawatir."Kalau begitu saya pamit ya Bu." pamit Bimo, mencium punggung tangan bu Tuti."Loh, tidak makan dulu Nak? setidaknya ganti dulu bajunya, biar ndak masuk angin.."Bimo menggeleng, sembari tersenyum tipis, kemudian segera masuk ke mobilnya lagi, dan berlalu.Bu Tuti, hanya dapat menatap heran, dengan tingkah pemuda barusan."Kemana Kanaya? apa dia pulang ke rumah?" gumamnya. "Sebaiknya aku pastikan dulu, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan
"Masa sih, Bimo bilang begitu Mah?" tanya Pak Rafli, membulatkan matanya."Iya Pah!!" jawab bu Slavina, mengangguk."Anak itu, tampaknya memang sudah ingin menikah." ucap Pak Rafli, tersenyum lebar."Tapi nih Pa, kata Niken, gadis yang sedang dekat dengan Bimo sekarang ini, adalah seorang penjual pecel." ucap bu Slavina, tampak tak suka. "Ya memangnya kenapa kalau jualan pecel?" jawab Pak Rafli, merasa heran."Ya masa sih, menantu kita seorang penjual pecel. Keluarga kita itu, hampir semuanya berprofesi dokter Pa..apa kata saudara-saudara yang lain coba, kalau lagi kumpul keluarga gitu, kan gak nyambung nanti dia, waktu di ajak ngobrol." ucap bu Slavina, kesal."Mama ini gimana sih, katanya bineka tunggal Ika.., justru keberagaman itu, membuat suasana menjadi lebih hidup, dan tidak monoton." bela pak Rafli, terhadap pilihan putranya."Lagian nih Ma, entah kenapa, Papa juga kurang sreg, kalau Bimo jadian sama Niken." "Lah, emang kenapa Pah? Niken kan cantik, baik, dokter juga, sama
"Jadi pemuda itu seorang dokter ya?" gumam Aryan, saat mengetahui status pemuda yang kini tengah dekat dengan Kanaya. Pria berumur 30 an itu, tampak mendesah pelan, setelah membaca profil tentang Bimo."Lulusan S2 ilmu kedokteran, dari sebuah Universitas di Inggris, usianya baru mau 26 tahun. Putra dari seorang direktur rumah sakit swasta terbesar di kota ini, yang juga seorang dokter." Aryan membaca ulang, biodata dari Bimo, sekali lagi."Sepertinya berat, jika harus bersaing dengan nya." gumam nya lagi, tampak lesu."Kenapa Kanaya bisa dekat dengan orang sepertinya?" lagi-lagi Aryan menghela nafas nya kasar."Tapi aku akan cari tahu dulu, sedekat apa sebenarnya, hubungan mereka berdua. Rasanya aku masih belum percaya, lelaki seperti nya, akan menjalin hubungan serius, dengan Kanaya yang masih sangat polos itu.Atau jangan-jangan, pemuda itu hanya akan memanfaatkan Kanaya??" gumam nya lagi, merasa gelisah.Mulai tadi, sibuk dengan pikirannya sendiri, Aryan akhirnya memutuskan untuk
"Anak itu ternyata manis juga ya Pah, dia juga sangat cekatan, Mama suka." ucap bu Slavina, sambil berbaring di sebelah suaminya."Iya, Papa juga merasa dia sangat cocok untuk Bimo. Mama dengar tadi? meski merangkak dari nol, kini penghasilannya, sudah ratusan juta. Papa sangat simpatik dengan orang-orang seperti itu, pantang menyerah, dan tak pernah berputus asa." jawab pak Rafli, mengagumi sosok calon menantunya itu."Mama setuju. Awalnya, waktu Niken bilang, Bimo dekat dengan gadis penjual pecel, bayangan Mama, gadis itu kampungan, dan tak akan bisa berbaur, dengan keluarga besar kita..Ternyata Mama salah, menyimak dari jawaban-jawaban yang terlontar dari mulut nya tadi, ternyata dia adalah gadis yang cerdas." ucap bu Slavina, juga mengagumi sosok Kanaya."Diajak ngobrol juga enak, nyambung anaknya.." ujarnya lagi."Ya sudah, ayo sekarang kita tidur dulu Mah, sudah malam, masalah Bimo dan gadis itu, biarlah sekarang mereka berdua yang memutuskan." ajak Pak Rafli, segera memeluk
"Ada apa Bu?" tanya Bimo, urung mengambil lauk pauk yang tampak menggiurkan di atas meja makan. "Orangtua Nak Bimo katanya mau kemari ya?" tanya bu Tuti, menatap wajah tampan Bimo, yang tampak segar dengan rambutnya yang sedikit basah."Iya benar, rencananya nanti malam." jawab Bimo tersenyum. "Kalau di undur sampai malam Kamis gimana Nak? ini nanti kan sudah malam selasa, jadi di tunda dua malam saja." ucap bu Tuti, sembari mengambilkan beberapa lauk, yang disukai oleh pemuda itu."Memangnya kenapa Bu?" tanya Bimo, kemudian menoleh ke arah Kanaya. "Bukan apa-apa, sebenarnya Ibu ingin sekalian sama selamatan pindah rumah, yang baru kami beli beberapa minggu lalu." ujar bu Tuti, tersenyum. "Ooh, jadi rumah itu sudah bisa di tempati ya?" tanya Bimo tampak antusias, karena ia juga sudah tahu, tentang pembelian rumah itu, dari Kanaya."Iya Nak, gimana..bisa kan?" tanya bu Tuti, tampak begitu berharap.Bimo tersenyum lebar, kemudian mengangguk."Baiklah Bu, nanti biar Bimo sampaikan ke
"Cantik sekali Nduk..!" seru bu Tuti, saat melihat putrinya selesai berdandan dengan mengenakan gaun yang dibelikan oleh Bimo, untuk acara malam ini."Masa sih Buk?" Kanaya tampak berbinar senang, sembari mematut dirinya di depan cermin.."Iya, Masya Allah.. andai Bapakmu itu bisa menyaksikan ini semua, " bu Tuti segera menyusut sudut netra nya, teringat dengan suami, yang selama ini tak pernah menyayangi keluarganya."Jangan ingat-ingat Bapak lagi Bu, jika hanya akan membuat Ibu sedih." Kanaya segera merangkul ibunya itu. "Tapi walau bagaimanapun, ketika menikah nanti, kamu juga butuh Bapakmu, sebagai wali nikahmu Nduk.." ucap bu Tuti lagi, menatap wajah putrinya. Kanaya terdiam, wajah cantiknya kini menjadi murung mendengar penuturan ibunya itu. Ya, walau bagaimanapun, dia membutuhkan Bapaknya, untuk menjadi wali nikahnya kelak."Semoga Bapak sekarang sudah sadar ya Bu.., yang Naya takutkan, Bapak masih seperti dulu, belum bertobat, dan masih suka judi dan mabuk-mabukan." ucapnya
"Ibu masih dirawat disini Pak?" tanya Kanaya, kepada dosennya itu, yang tengah menatap lekat dirinya, membuat Bimo menjadi kesal dibuatnya. Namun Bimo berusaha untuk sesantai mungkin, menghadapi Aryan, ia tak ingin terlihat bodoh di depannya. "Iya Nay, tadi ibu masih di gantikan baju oleh perawat." jawab Aryan, tersenyum kepada Kanaya. "Kalau begitu, saya boleh masuk untuk jenguk Ibu kan?" tanya Kanaya. Aryan mengangguk, mempersilahkan Kanaya untuk masuk, tanpa melirik sama sekali, ke arah pemuda yang ada di sebelah Kanaya. "Ayo Kak.." ajak Kanaya, kepada calon suaminya itu.Bimo kemudian mengikuti langkah gadis pujaannya itu dan mengacuhkan Aryan, yang menatapnya tak suka, masuk ke dalam ruang paviliun, tempat Bu Yus dirawat.Bu Yus yang tampak terbaring lemah, tampak berbinar saat melihat Kanaya datang."Kanaya.." panggilnya, segera mengulurkan tangannya."Bu Yus.. " Kanaya segera duduk di kursi sebelah ranjang pasien itu, dan menggenggam jemari tangan bu Yus, yang kini terlih