Jovan menghadiri pesta ulang tahun teman Adi seperti yang diperintahkan sang ayah. Sesekali dia berbincang dengan para tamu undangan.
Hiruk pikuk manusia di tempat itu tidak membuat Jovan senang. Pikirannya terus melanglang buana memikirkan Albin dan Ayahnya.
Apa sebenarnya maksud sang ayah?
Jovan memikirkan kemungkinan terburuk, ayahnya dan Albin adu mulut. Albin ditolak. Ayahnya akan kembali memaksa menjodohkan dirinya.
Memikirkan hal itu membuat Jovan gelisah. Dia tidak ingin gadis lain, tapi jika sang ayah tetap memaksa dia bisa apa?
Jovan gelisah. Dia berkali-kali mengirim pesan kepada Albin, tetapi masih belum mendapatkan balasan.
{Albin, Papa ngomong apa? Nanti cerita, ya.}
{Kalau udah baik ke rumah kasih tau}
{Albin! kamu di mana sih?}
{Albin, lo kemana? Kok mau-maunya di
Albin memeriksa ponsel sambil menghela napas panjang dan berat. Sudah lima hari sejak dia dan Jovan bertemu di depan Indomaret dan mereka berpisah dalam keadaan tidak akur. Semenjak malam itu Jovan tidak pernah lagi menghubungi dirinya. Dia merindukan Jovan. Ia berharap lelaki itu menghubunginya dan meminta maaf karena sudah berkata kasar. Gadis itu tersenyum hambar. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Rindu, kecewa, cinta, takut kehilangan, semuanya membaur dan meramu menjadi racun di dalam hati membuat dirinya gelisah dan tidak berdaya. Di tempat lain … Jovan memeriksa ponsel. Siapa tahu ada panggilan tidak terjawab atau pesan ‘terselip’ dari Albin, tertimbun diantara banyaknya pesan yang diterimanya. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya yang lelah di sandaran kursi mobil. Raut kecewa tergambar jelas di wajahnya yang tampan. Hela napasnya
Albin memejamkan mata rapat-rapat. Rasa aneh dan unik saat Jovan mengecup lehernya inci demi inci mau tidak mau membuat Albin menggeliat sambil merentangkan leher lebih lebar. “JOVAN, STOP!” perintah Albin dengan nada lebih keras. Jovan tidak peduli. Dia terus menjelajahi leher Albin dengan kecupan. Sesekali indra perasanya mencecep halusnya kulit leher Albin. “Hmm … Jovan!” Albin menggeram. Logikanya menolak keras semua ini, tapi tubuhnya menginginkan Jovan lagi dan lagi. Jovan menyusupkan kedua tangannya ke bawah bokong Albin. Meremas lalu menekan tubuh gadis itu lebih rapat lagi ke tubuhnya. Albin bisa merasakan sesuatu mengeras di bawah sana, di balik celana Jovan. “Tidak .. tidak! Tidak seperti ini!” seru Albin nyaring. Dia menjambak rambut Jovan sekuat tenaga. “Aaaah sakiiit!” teriak Jovan sambil menahan tanga
Albin menatap dirinya di cermin. Hari ini dia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Albin tidak tahu dirinya harus merasa bahagia atau tidak, tapi ada rasa sedih di dalam hati gadis itu. Hatinya terasa pilu. Semua orang mengharapkan kebahagiaan dirinya dan Jovan. Semua berharap mereka menua bersama, tapi Albin merasa seakan mereka berdua sudah menipu semua orang. “Kamu cantik sekali, Nak.” Maryam mendekat lalu meremas lengan Albin dengan hangat. “Mama.” Albin berdiri. Kedua matanya berkaca-kaca. “Mama. Terima kasih sudah merawatku. Terima kasih sudah menyayangiku saat semua orang di dunia ini menolakku.” Albin menangis memeluk wanita yang selama ini membesarkan dirinya dengan segala keterbatasan. “Jangan ngomong begitu, Sayang. Jangan. Kami bahagia kamu datang ke dalam kehidupan kami.” Maryam membelai punggung Albin. “Cuma
Gelak tawa, senyum hangat selalu menghiasi wajah Albin dan Jovan. Kebahagian terlukis indah dalam rona wajah keduanya. Sesekali Jovan meraih pinggang Albin. Seringkali mata mereka saling bertaut dalam memancarkan cahaya cinta yang kuat, lalu beberapa saat kemudian seperti meredup. keduanya saling tersenyum sambil menghela napas panjang dan berat. “Hey … lihat siapa yang datang!” seru Albin senang. Seorang lelaki mengenakan setelan tuxedo abu-abu gelap mendekati mereka. Dia seorang pria tampan berwajah campuran Jepang dan western dan Melayu. Rambut panjangnya diikat rapi. Albin mengulurkan tangan, menyambut lelaki itu. “My Queen,” ucap seorang lelaki membungkuk menyambut uluran tangan Albin kemudian mengecup punggung tangannya. “Kei …” sapa Albin tersenyum canggung. Dia segera menarik tangan setelah K
Jovan mengemudikan mobil dalam diam. Pandangannya lurus ke depan. Biasan cahaya lampu jalanan melewati wajahnya. Sangat terlihat air mukanya dia sedang dalam keadaan tidak baik. Albin memperhatikan Jovan beberapa kali. Sulit sekali baginya menyelami perasaan Jovan. Senyuman manis yang biasanya selalu tersemat di bibir lelaki itu kini menghilang. Beberapa kali Jovan menyisir rambut menggunakan sela-sela jemari sambil membuang napas melalui mulut dengan kasar. Sesekali dia menggelengkan kepala seraya berdecak kesal. Albin tidak berani bertanya, tapi apa pun yang Jovan pikirkan saat ini pasti ada hubungannya dengan sang Mama Mertua. Karena awalnya semua baik-baik saja, bahkan sangat baik sebelum si Naga Api itu datang menyerang, pikirnya. “Gak jadi, deh malam pertama,” Albin mendesah kesal. “Harusnya gue di kasur bukannya kabur! Nasib cinta gue emang nge
DUK...DUK...DUK! Jovan memukulkan martil pada paku. Keningnya basah karena keringat. Albin memperhatikan Jovan yang berdiri di atas kursi memasang pigura foto pernikahan mereka. Suaminya tetap terlihat tampan meski hanya mengenakan celana boxer dan kaos singlet. Hari ini adalah hari ketiga Albin dan Jovan menjadi suami istri dan mereka sudah tinggal bersama di rumah besar milik sang suami. “Sini mana fotonya?” Jovan menyurungkan tangan. Albin memberikan bingkai berukuran besar foto pernikahan mereka, “Untuk apa dipasang, Jo? Bentar juga nanti kita pisahan.” “Gak papa. Aku suka aja liat foto kita. Lagi pula malah aneh jadinya kalau gak dipasang. Nanti Papa tanya.” Jovan mengaitkan tali pigura ke paku. “Emang Papa sampai segitunya?” tanya Albin dengan nada terkejut dan kening mengkerut. “Iya … ‘kan kamu menantu kesayangan. Nanti di
Jovan menarik napas panjang dan dalam, “Pak Sardi?” Dia menyurungkan tangan kepada lelaki cukup tua. Setidaknya penampilannya terlihat seperti tua. Rambutnya sudah banyak yang putih dari pada yang hitam. “Iya, Pak.” Yang dipanggil Sardi tersenyum ramah menyambut tangan Jovan. “Jadi istri saya ditemukan di dalam bak pick up punya Bapak?” “Iya, Pak,” jawab Sardi. “Lalu Bapak?” tanya Jovan pada lelaki lain yang duduk di sisi Sardi. “Saya Anwar. Teman Sardi.” Anwar menyurungkan tangan. “Bapak sama Ibu?” Jovan bertanya bersalaman kepada lelaki dan perempuan saling berdampingan berdiri bersebelahan. “Saya Marfan, dia Sari istri saya.” “Mari, silakan duduk.” Jovan mempersilakan para tamunya duduk. Sardi mengedarkan pandanga
Jovan duduk di belakang kemudi menatap lekat sang istri menuruni anak tangga pelataran rumah. Gaun hitam pekat tanpa lengan melekat dengan indah di tubuh Albin, menutup hingga ke lutut. Sangat kontras dengan kulitnya yang seputih porselen. Rambut putihnya ditata ala Classic French Braid, digelung menyamping membuat pundak wanita itu terekspos sempurna. Sepasang anting mutiara berwarna hitam menghiasi kedua telinga Albin. Sepasang sepatu hitam ber-heels rendah bertabur kristal swarovski mempercantik kaki jenjang milik Albin. Dia terlihat luar biasa. Dengan langkah perlahan Albin menuruni anak tangga. Senyuman manis menghiasi wajahnya yang secantik dewi rembulan. Jovan tersenyum menatap Albin penuh kekaguman. Sang istri memang secantik itu di matanya. Begitu mempesona hingga membuat kekacauan besar di dalam dirinya.