Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan.
Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali.
Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat.
Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan.
Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
"Albin, ayo nikah sama aku. Aku harus punya anak." Jovan meraih tanganku yang gemetar. Aku begitu terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar."A-apa? Ta-tapi." Kata-kataku tergagap. Dia adalah lelaki paling kuinginkan di dalam hidupku. Semua ini begitu mengejutkan. Ini pasti mimpi. Aku menelan ludah membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering."Jangan khawatir, aku hanya ingin memiliki anak. No sex." Jovan menatapku dengan mata penuh permohonan. Kata-kata yang dia ucapkan semakin membuatku lemas. Aku menging
~Albin POV~Kupandangi cermin lekat-lekat, wajah pucat dan kusut. Irisku yang berwarna biru muda meredup. Kantung mata terlihat jelas. Rambut putihku yang memiliki panjang sepinggang, berantakan dan kusut masai.Tubuhku masih dibalut pakaian kerja tadi malam. Kemeja putih, rok hitam span selutut dan blazer warna senada. Pakaian kerjaku mirip seperti sekretaris CEO tampan dalam novel. Stoking hitam melekat di kedua kaki dan sepasang hi-heels teronggok di sisi kasur.Aku sangat kelelahan dan juga mengantuk. Entah siapa tadi malam yang mengantar pulang. Ketika bangun, aku sudah berada di dalam kamar. Perutku benar-benar mual.Seingatku, tadi malam aku beberapa kali terbangun dan muntah. Resiko pekerjaan. Uff! Aku tidak tau sampai kapan terus bekerja seperti ini, tapi hanya pekerjaan inilah saat bisa kudapatkan.Aku tidak bisa bekerja seperti orang pada umumnya, mataku sangat sakit saa
~JOVAN POV~“Kamu harus menikah!” Papa menatap mataku dengan tajam, sarat penekanan dan perintah.“Aku belum mau nikah, Pa!” jawabku dengan gusar. Entah sudah berapa puluh kali Papa terus saja mengatakan hal ini. Aku sudah bosan mendengarnya.“Kamu harus punya keturunan. Perusahaan harus ada pewarisnya. Kamu mau tiba-tiba paman atau sepupu kamu yang mendapatkannya, Hah?! Kamu mau?!” Papa terus bicara dengan sengit.“Aaahh!” aku mendesah gusar, “ya gak mungkinlaaaah. Gimana bisa paman dan sepupu yang ambil. Mereka baik gitu. Gak mungkinlaaah,” kilahku cepat.“Jovan! Persaudaraan bisa hancur karena hart
Albin POV.Tertegun aku memperhatikan wajah di cermin. Aku harus tiba di tempat kerja dalam waktu satu jam lagi. Dengan gerakan cepat kusempurnakan tampilan riasan.Alisku yang berwarna putih kuberi warna cokelat, bulu mataku yang juga putih kuberi maskara cokelat gelap. Tidak lupa sedikit sapuan perona pipi berwarnapink peach,tak ketinggalan lipstik berwarna senada.Aku puas dengan tampilan akhirku. "Aku cantik," ucapku pelan sambil tersenyum meyakinkan diri sendiri.Ku buka lilitan handuk di rambutku yang basah. Rambutku yang putih tergerai indah. Aku tersenyum melihatnya, aku bangga dengan warna rambutku. Berapa banyak artis yang mewarnai rambutnya agar terlihat sepertiku? Berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan?Besarnya sama seperti gajiku pokokku selama dua bulan.Sedangkan aku?Ini warna asli rambutku. "Ini anugerah," aku mensyukuri semua
“Mau pesan minum lagi?” Aku bertanya kepada sekumpulan lelaki di depanku.“Udahlah cukup, ntar susah,” seorang lelaki berseloroh kepadaku.“Susah kenapa?” Kedua alisku mengkerut. Mereka berempat sering kali datang ke Havana Club. Sepertinya mereka berempat anak orang kaya, wajah mereka masih muda, tapi mereka tak pernah absen datang ke sini saat weekend, apalagi saat ada artis datang, mereka sering kali memesan meja VIP.Susah, Al, nanti habis duit gak bisa kawinin kamu. Kamu mau mas kawin kamu bill doang?” Noval berseloroh kepadaku.“Boleh, kok. Tapiiii, mempelainya wanitanya botol minuman. Mau?” ucapku.“Yah, mana bisa. Kencing di botol aja aku gak bisa apa lagi ngawinin botol, Al. Yang ada botolnya yang pecah.” Noval tertawa lepas.“Kasih