"Rubby, tolong jangan seperti ini. Lihatlah dirimu yang begitu kurus," ucap Vina saat dia datang menjenguk sahabatnya itu.Rubby menatap taman dengan pandangan kosong. Tidak tahu harus bagaimana dia menyikapi keadaan dirinya yang tidak mempunyai rahim. Kedatangan Vina, membuat luka hati Rubby menganga saat melihat kandungan Vina yang memasuki 4 bulan.Vina menatap Rubby dengan keprihatinan, kemudian duduk di sampingnya dan memegang tangan Rubby. "Aku tahu kamu sedih, Rubby. Tapi kamu harus tetap bertahan dan jangan melukai dirimu sendiri," ucap Vina lembut.Air mata Rubby jatuh mengalir di pipinya, namun dia mencoba tersenyum. "Terima kasih sudah datang, Vina. Tapi, aku merasa seperti ini adalah sebuah hukuman untukku. Aku merasa tidak adil."Vina menggenggam tangan Rubby erat, mencoba memberikan dukungan. "Kamu tidak sendiri, Rubby. Kami semua disini untuk kamu. Mungkin saat ini masih sulit bagimu untuk menerima kenyataan ini, tapi percayalah bahwa hidup ini tidak selalu adil dan kit
"Hmm... Lepas!"Vina mencoba berteriak, namun suaranya tertutup oleh tangan yang membekap mulutnya. Tidak sempat melihat wajah orang yang menghampirinya, Vina merasa ketakutan dan panik. Seluruh tubuhnya mengejang, mencoba melepaskan diri dari cengkraman orang itu.Akan tetapi, kekuatan tangan pria itu begitu kekar hingga Vina tidak kuat melepaskan diri. Apalagi, dengan kondisinya yang tengah mengandung."Masuk!" pria misterius itu mendorong tubuh Vina ke dalam mobil saat tubuh wanita itu semakin lemah karena efek obat bius.Setelah memastikan wanita tersebut sudah tidak bergerak, mobil pun melaju meninggalkan kawasan rumah sakit. ***Sementara di kediaman Patrice, Sergio berdiri dari duduknya saat melihat jika malam sudah semakin larut."Bro, aku pulang dulu. Kasihan Vina, mungkin dia butuh istirahat," pamit Sergio kepada kedua temannya itu.Andre yang ingin memberikan waktu kepada Elvano pun juga ikut berpamitan. Elvano, tidak merespon apa-apa hanya mengangguk pelan dan kembali dud
"Owh...!" Vina mengerang merasakan kepalanya yang sakit luar biasa. "Aku di mana?" Vina memaksakan matanya yang masih terasa berat menyisir keadaan ruangan.Saat iris mata Vina melihat keadaan ruangan di mana dia terbangun, degup jantungnya seakan berhenti berdetak ketika dia menyadari jika kedua tangannya terpasung pada rantai besi dengan kedua kakinya disanggah hingga terbuka lebar."Lepas! Tolong, aku di mana? Lepaskan aku!" Vina menjerit dengan histeris saat dia menyadari jika dirinya kini berada di ruang bedah."Hei... Siapa saja yang mendengarkanku, tolong aku! Apa yang kalian inginkan?" Vina semakin menjerit dengan kencang, ketika dia menyadari situasinya saat ini.Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat, membuat Vina semakin panik. Pintu ruangan itu terbuka perlahan, dan dari balik pintu muncul sosok yang mengejutkan."Hush, Vina... Tenanglah, karena aku akan mengeluarkan anak yang ada di dalam perutmu," kata sosok itu sambil memasuki ruangan. Dia memakai jubah putih d
Sergio mengangguk tegas. "Ayo, kita segera melakukannya. Kita tidak bisa kehilangan waktu lebih lama lagi. Demi Tuhan, Elvano, aku tidak akan sanggup kehilangan Vina dan bayiku.""Tenangkan dirimu, aku sedang berusaha. Apakah kita harus menghubungi Andre? Aku takut jika Silvana membawa anak buahnya dari negaranya.""Kurasa dia tidak akan repot-repot membawa bawahannya. Karena dia tentu mempunyai uang untuk membayar pembunuh!"Elvano mengangguk. "Baik, aku akan menghubungi tim," jawab Elvano.Elvano segera menghubungi semua anak buahnya dan memberikan instruksi untuk memulai pencarian. Mereka semua menyadari betapa pentingnya menemukan Vina secepat mungkin.Tidak ingin disia-siakan, Sergio, Elvano, dan anak buah mereka mencari segala info dan petunjuk yang mereka bisa. Andre dan polisi yang turut bergabung dalam pencarian."Ada info baru dari beberapa sumber," kata Andre saat berbicara dengan Elvano melalui telepon. "Aku menemukan sinyal ponsel Vina yang berhenti di depan rumah sakit.
"Paman sudah pulang?" tanya Rubby saat Elvano memasuki kamar dengan langkah lelah.Elvano menoleh ke arah Rubby yang berdiri di balkon kamar, mengenakan piyama tipis yang mencerminkan cahaya bulan. Angin malam yang berhembus sepoi-sepoi, membuat piyama itu berkibar lembut. Sejenak, Elvano terpesona akan keanggunan Rubby yang terpancar pada saat itu."Iya, baru saja," jawab Elvano sambil melemparkan jaketnya ke atas tempat tidur. Ia kemudian mendekati Rubby dan berdiri di sampingnya di balkon. Mereka berdua menatap langit berbintang, saling terdiam, meresapi dan menikmati kebersamaan mereka di malam itu."Lalu, bagaimana hasilnya? Apakah Vina baik-baik saja?" tanya Rubby dengan nada yang datar, ia menatap lurus ke depan tanpa ekspresi di wajahnya.Elvano, dengan lembut, mengatur posisi tubuh Rubby agar menghadap kepadanya. "Silvana sudah diamankan. Sedangkan Vina telah dibawa ke rumah sakit. Dia mengalami syok berat akibat penculikan itu," jelas Elvano dengan tenang."Semoga Vina dan b
"Selanjutnya, bagaimana?" tanya Andre kepada Sergio saat mereka berada di ruang tunggu, mereka menemani Vina yang sedang mendapatkan perawatan."Aku tidak menyangka jika ayahnya Vina bisa bekerja sama dengan Silvana. Ah... Aku pikir, dia benar-benar sudah berubah," ujar Sergio.Penculikan yang dialami oleh Vina ternyata ada kaitannya dengan ayah Vina, Regal. Sergio bertanya-tanya, apa yang membuat Regal menculik anaknya sendiri dan diberikan kepada Silvana. Wanita gila yang hendak mengeluarkan janin yang sedang Vina kandung."Mereka memiliki motif apa?" tanya Andre penasaran."Entahlah..." jawab Sergio sambil menghela nafas, "Kalau Silvana, aku tahu motifnya menculik Vina karena dia terobsesi padaku. Di satu sisi, dia ingin melahirkan anak dariku. Namun, Regal, aku tidak tahu. Sepertinya, pria itu kalah lagi dalam berjudi," ujar Sergio menduga-duga."Dugaanku juga memang begitu. Ayah Vina, dia akan melakukan apa saja jika dia kalah dalam berjudi. Aku tidak habis pikir, bisa-bisanya dia
Sergio menggenggam tangan Vina erat, "Tentu saja, Vin. Kita akan kuat dan melalui semua ini bersama. Aku akan selalu ada untukmu dan anak kita, apapun yang terjadi. Aku janji, hidup kita akan lebih baik dari sekarang," ujar Sergio penuh keyakinan.Vina tersenyum, merasa bahwa bersama Sergio, mereka bisa menghadapi hal ini. "Terima kasih, Gio. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu saat ini. Aku mencintaimu," ucap Vina, lirih namun tulus."Aku juga mencintaimu, Vin," balas Sergio, menggenggam tangan Vina lebih erat lagi. "Kita akan menjalani kehidupan yang bahagia bersama, aku yakin kita bisa melaluinya."Sergio mengusap perut Vina. Sesekali dia menempelkan telinganya di perut wanita itu. "Wah, dia sudah bisa bermain bola di dalam!" seru Sergio bersemangat.Vina terkekeh melihat apa yang dilakukan oleh Sergio. Tangannya kini mengusap kepala Sergio. "Gio, dia marah karena kamu mengganggunya," ucap Vina di sela tawanya."Sehat-sehat, ya, Nak. Jangan membuat Mommy tidak bisa tidur ka
Setelah menemani Vina, Sergio kini tiba di kantor polisi atas panggilan karena petugas berhasil mendapatkan keterangan dari Silvana dan Regal. Dengan langkah tegap, Sergio melangkah sambil menggenggam sebuah map menuju ke arah ruangan interogasi."Selamat siang, Tuan Sergio," sambut seorang petugas sambil mengulurkan tangan kepada Sergio."Selamat siang," jawab Sergio menyambut uluran tangan petugas tersebut."Tuan, kami sudah menangkap pelaku yang mencoba menjebak nyonya Vina yang tidak lain adalah Ayah Nyonya Vina sendiri. Regal berkomplotan dengan nyonya Silvana. Setelah diselidiki, ternyata nyonya Silvana hanyalah wisatawan. Kami akan mengirim nyonya Silvana ke kedutaan di mana nyonya Silvana berada sebagai pencabut izin tinggal," lanjut petugas tersebut dengan serius."Terima kasih atas informasinya," ucap Sergio dengan ekspresi lega. "Aku ingin bertemu dengan Ayah Vina dan Silvana, apakah itu mungkin?""Silahkan Tuan Sergio, Anda bisa melihat mereka dari balik kaca jendela ruang