"Iya. Kau bukanlah yang pertama, Ayana. Tapi yang kedua." Ayana membekap mulutnya. Air matanya mengalir dengan deras. Bukan karena ia cemburu atau merasa terkhianati, melainkan Ayana merasa tertipu oleh Dindar. Kenyataan itu benar-benar membuat Ayana lemah hingga tubuhnya ambruk jatuh terduduk ke sofa. Sungguh, banyak sekali ternyata kebohongan dari Dindar. Tiba-tiba Ayana teringat dengan kata-kata Aham."Jika sudah ada kamu…lalu kenapa ia masih menikahiku?" tanya Ayana di sela-sela isakannya."Karena dia terobsesi dengan dirimu. Ia hanya memiliki hasrat padamu.""Apa!"Lidya mengangguk. Lalu ikut duduk di samping Ayana. "Aku sebenarnya sahabat Dindar sedari kecil. Aku yang mengetahui semua tentang Dindar. Sebuah peristiwa membuat ia membenci akan semua wanita. Kecuali diriku. Namun ia tak pernah tertarik padaku."Kening Ayana mengernyit. Tidak tertarik namun menikah?"Dindar menikah denganku sebab ia merasa aman bersamaku. Namun ia merasa nyaman denganmu." Lidya berucap seolah men
"Iya, Ayana. Aku datang untukmu!"Ayana terkejut dan segera terbangun dari tidurnya saat mendengar suara yang seperti suara Aham.Ayana mendesah seraya mengusap wajahnya kasar. Ternyata tadi ia hanya mimpi. Mimpi kedatangan Aham. Ia tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia memimpikan pria yang pernah menculiknya itu.Namun Ayana sempat heran, bisa-bisanya dia bermimpi tentang Aham yang seperti peduli dan ingin menolongnya.Ayana segera menggelengkan kepalanya berusaha melupakan mimpinya tersebut.Saat ia masuk ke kamarnya ia langsung mendapatkan pesan dari nomor yang tak dikenal.[ Jangan bilang pada Dindar kalau tadi aku datang menemuimu. Untuk akhir-akhir ini mungkin Dindar akan sedikit lebih sibuk dan akan jarang pulang. Ia lagi sibuk dengan jabatan dan bisnisnya.]Ayana hanya membaca pesan itu tanpa ada niatan untuk membalasnya. Ayana juga sudah tahu tanpa bertanya kalau yang mengirim pesan adalah Lidya.Saat hendak meletakkan kembali, tiba-tiba pesan Lidya kembali masuk.[ Aku sudah m
Perlahan Ayana menoleh kebelakang menatap Aham."Kau tak perlu minta maaf. Aku sudah melupakan kejadian waktu itu. Juga ucapanmu." Setelah berucap, Ayana melanjutkan langkahnya. Namun Aham kembali mengejarnya."Tunggu." Aham menahan lengan Ayana."Apa itu artinya kau memaafkanku, Ayana?" Ah, entahlah. Kenapa tiba-tiba Aham merasa ingin dekat dengan Ayana. Dan tiba-tiba saja ia ingin peduli gitu dengan Ayana.Ayana tak menjawab. Ia menarik tangannya dan berlalu pergi dari hadapan Aham begitu saja.Melihat itu, Aham semakin greget dengan Ayana.*****Entah sebuah ketepatan atau takdir, Ayana ternyata satu angkatan dengan Aham. Dan yang lebih membuat herannya lagi, kursi kosong yang tersedia tepat di samping Aham.Aham melambaikan tangannya pada Ayana.Awalnya ragu. Namun mau tak mau Ayana melangkah dan duduk di kursi sebelah Aham."Kenapa kita seolah ditakdirkan untuk kembali bertemu, Ayana!" Aham berbisik di telinga Ayana.Ayana tak menjawab. Namun tiba-tiba ia kepikiran dengan mimpi s
"Aku lah yang mengirim Dokter Althan ke rumahmu!""Apa!"Sontak, Ayana dan Aham menoleh ke arah sumber suara.Althan tersenyum ke arah Ayana dan Aham. Ayana segera mengelus dadanya yang sempat berdebar-debar menahan takut. Takut kalau yang datang dan mendengarkannya tadi adalah Dindar. Namun ternyata Althan.Dengan masih tersenyum, Althan melangkah menuju tempat dimana Aham dan Ayana saat ini berdiri.Aham menyambut Althan dengan senyuman. Sedangkan Ayana memandangi Aham dan Althan secara bergantian. Mereka berdua tampak akrab. Bahkan sangat akrab. Terlihat sekali dari cara mereka mengobrol. Meskipun usia Aham jauh lebih muda dari Althan.Selanjutnya Althan menoleh ke arah Ayana."Saya diberi tugas sama Tuan Dindar untuk menjemput Bu Ayana," ucap Althan pada Ayana.Ayana hanya mengangguk tanpa berkata-kata. Selanjutnya ia melangkah ke arah tempat dimana mobil Althan terparkir. Walaupun sebenarnya Ayana masih sangat penasaran dengan cerita Aham, dan banyak juga pertanyaan-pertanyaan A
Lidya tersenyum. "Ayana sudah tahu. Jadi aku menampakkan diri padanya. Untuk apa juga harus bersembunyi? Toh Ayana sudah tahu, kan?" Lidya menatap Ayana sambil tersenyum.Sedangkan Ayana tak menjawab. Dan wajahnya tak menunjukkan reaksi apa-apa."Hari ini kita ada rapat penting di kantor. Biarkan Ayana pergi dengan taksi langganannya atau kau bisa menyuruh Dokter Althan, bukannya dia Dokter merangkap asistenmu?" ucap Lidya menatap Dindar dengan senyuman kalem."Tidak. Althan memang bekerja denganku. Namun tak baik juga jika terlalu sering bertemu dengan Ayana." Dindar melirik Ayana sengit. Sontak membuat Ayana segera menundukkan wajahnya. Takut akan tatapan itu."Kau berangkatlah dengan taksi langgananmu," ucap Dindar, seketika membuat kelegaan di hatinya. Ah, entahlah. Jika sampai Dindar mengantar kepergiannya ke kampus, ia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Sungguh, ia sama sekali tak mengharapkan berdekatan dengan suaminya yang tak hanya bertemperamen tersebut, namum kej
"Maaf, Aham. Jika kau berusaha untuk kembali memanfaatkan aku agar bisa kembali terpengaruhi oleh dirimu, maka maaf. Aku sudah jera dengan omongan pria. Kau dan Dindar sama saja. Awalnya aja baik, tapi setelah itu, kalian menampakkan sifat aslinya." Setelah berucap dengan penuh penekanan, Ayana segera melangkah pergi.Aham tak tinggal diam saja, ia juga segera melangkah dan menarik kuat lengan Ayana dan memegangnya dengan erat. "Jika itu persamaanku dengan Dindar. Maka aku akan menampakkan perbedaanku dengan suamimu itu." Aham berucap dengan mata menatap lekat Ayana. Seolah-seolah ia ingin menunjukkan keseriusannya dalam ucapannya tadi, saat menyatakan perasaannya.Setelah cukup lama menatap mata Aham, Ayana segera memalingkan wajahnya."Kenapa, Ayana? Kenapa kau berpaling?" Aham kembali ingin membuat Ayana menatap dirinya. Namu Ayana menolaknya.Aham tersenyum kecut. "Kenapa kau takut menatap mataku?" tanyanya."Aku tidak takut!" Ayana berucap dengan masih tak melihat Aham."Kalau b
"Aku suka air matamu yang mengalir karena aku."Ayana segera menghempaskan tangan Aham. "Aku menangis bukan karenamu." Ayana tak jujur. Ia tak mau memberi peluang untuk Aham. Sebab, Ayana tahu, perasaan itu tak akan pernah berjalan dengan sesuai keinginan. Baik keinginan Aham."Lalu karena apa?" tanya Aham. Menatap serius pada wanita cantik di depannya tersebut."Aku sudah terbiasa menangis setiap harinya. Jadi kamu tidak perlu khawatir." Ayana berusaha memalingkan pandangannya. Menghindari tatapan Aham."Kau pikir kau bisa membohongiku, Ayana?" Aham memegang kedua tangan Ayana erat hingga membuat wanita itu tak bisa bergerak."Apa kau tak waras, heum?" Ayana berontak berusaha melepaskan tangan Aham yang mencengkeramnya."Ayana. Katakan, kenapa kau menangisiku?" Aham semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Ayana."Aku tak menangisimu," sangkal Ayana, keukeh."Kau menangis saat kau melihat kebenaran di mataku. Itu kau bilang tak menangisiku?" Aham tampak geram. Dan entahlah, kenapa ia
"Aham, ini…." Ayana seolah tak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya memandang takjub dengan pemandangan yang ada di depannya."Apa kau suka?" Aham maju berdiri di samping Ayana. Yang sekarang matanya tak hanya memandang takjub, melainkan bibirnya menyunggingkan senyuman manis. Ah, entah kenapa melinta senyuman wanita yang entah sejak kapan nya mengisi hatinya tersebut ia juga ingin tersenyum."Aku tak pernah melihat tempat seindah ini." Ayana masih memandangi takjub. Sedangkan Aham yang berdiri di samping Ayana begitu lekat menatap wajah cantik Ayana dengan tanpa berkedip. Wajah cantik itu tampak semakin cantik tatkala dihiasi senyuman."Ini tempat apa, Aham?" Ayana bertanya dengan mata tak lepas memandangi pemandangan yang begitu indah untuk pertama kali ia lihat."Ini namanya Danau. Namun bukan sembarang danau." Aham menjawab dengan mata tak lepas menatap wajah Ayana yang terus tersenyum."Kenapa?" Kali ini Ayana menoleh menatap Aham yang ada di sampingnya tengah bersedekap dad