Share

Bab. 4 Penghuni di Rumah Nenek

Gantari 4

Gorden jendela yang tadi sempat tersibak, kembali tertutup dengan cepat saat aku bersitatap dengan wajah mengerikan itu.  Meski takut aku berusaha menguatkan hati. Ah, ini pasti aku hanya berhalusinasi seperti sebelumnya.

Aku menatap rumah bercat hijau dan tanpa pagar itu dengan lekat. Masih kuingat jelas setiap sudut rumah itu, apakah sekarang masih sama ataukah sudah berubah karena jika dilihat dari bangunannya masih sama seperti dulu saat aku masih kecil, bahkan warna gordennya pun masih sama, berwarna cokelat berhiaskan bunga mawar merah.

Mataku kini tertuju pada halaman samping rumah. Di sana terdapat ayunan dari papan kayu yang menggantung di dahan pohon mangga.  Masih kuingat jelas setiap kali bermain ayunan hingga petang menjelang maka nenek akan datang sembari menenteng sapu untuk menyuruhku masuk rumah.

"Ri, cepat masuk rumah! Mataharinya sudah mau tenggelam. Kalau kamu tidak masuk, dibawa wewe gombel lho.”

Aku kecil bukannya menurut saat mendengar perintah wanita yang rambutnya selalu digelung itu. Aku malah semakin kencang berayun, bahkan sesekali berdiri di atas papan kayu. Bergaya seperti Tarzan sembari terus berteriak seolah aku ini raja hutan.

”Gantari, ayo masuk!"

"Nanti dulu to, Nek. Masih seru ini lho!"

 Jika sudah begitu nenek akan melayangkan gagang sapu tepat di kakiku, tentu saja lebam akan menghiasi paha dan betisku yang kurus kering ini.

"Cah nakal, cepat masuk!" omelnya sembari menyeretku yang terus menangis kesakitan.

Bibirku tersungging , mengenang setiap kenakalan yang kulakukan saat masa kecilku. Memanjat pohon hingga pucuk tapi saat akan turun tidak berani, hanya bisa berteriak-teriak dan menangis meminta tolong. Membuat cerukan tanah seolah tengah membuat danau atau bahkan sebuah kuburan yang ditaburi 

Ah, indahnya masa kecilku meski tidak merasakan kasih sayang orang tua, paling tidak aku memiliki nenek dan juga paman yang menyayangimu. Hidupku tidak kekurangan cinta dan kasih keluarga.

Jika malam menjelang nenek menceritakan padaku banyak dongeng dan kisah sebelum tidur. Namun, aku lebih tertarik saat nenek bercerita tentang mitos dan hantu yang terus didengungkan para orang tua dari mulut ke mulut.

"Nek, memangnya wewe gombel itu apa? Kenapa setiap petang nenek menyebut dia terus?" tanyaku sembari memilin ujung sarung yang terbentang menutupi tubuhku.

"Wewe gombel itu hantu perempuan yang suka menculik anak-anak kecil saat petang. Dia akan menyembunyikan anak-anak di dalam rumpun bambu atau bahkan hutan. Itu makanya nenek selalu menyuruhmu masuk ke rumah saat langit hampir memerah."

"Rumah Wewe gombel itu di mana, Nek?"

"Di hutan larangan."

Banyak pertanyaan yang kuajukan pada perempuan yang kuanggap seperti ibuku itu ditanggapi dengan lembut. Darinya aku tahu ciri-ciri hantu yang menjadi momok bagi para orang tua dan anak-anak. 

Saat ucapan nenek tentang wujud wewe gombel terngiang di telinga, tiba-tiba saja bulu kudukku merinding. Angin kencang tiba-tiba datang membuat hawa di sini menjadi begitu dingin padahal tadinya hangat.

Saat aku masih bingung dengan perubahan suhu di sekitar, aku dikejutkan oleh sesosok wanita mengenakan pakaian putih yang tiba-tiba melintas di depanku. Melesak sangat cepat tanpa menimbulkan suara derap langkah. 

Dia berhenti dan duduk di ayunan kayu sembari menggendong bayi. Bayi yang masih merah dan berlumuran darah, jika dilihat dari kondisinya sepertinya baru saja terlahir. Bayi itu terus menangis  sementara wanita itu terus tertawa begitu nyaring dan mengerikan.

 Dengan kukunya yang hitam dan panjang dia membelai tubuh mungil itu. Tidak, dia tidak membelai dia seperti tengah mencakar bayi itu. Kukunya ditancapkan kemudian ditarik, seolah membelai.  Tentu saja itu melukai kulit bayi. Bayi itu pasti menangis karena kesakitan. Ingin rasanya menolong tapi aku juga takut 

Mataku terbeliak saat melihat wujudnya. Wanita itu bukankah begitu mirip dengan apa yang dia ceritakan nenek dulu. Wanita berambut gimbal dan panjang. Tidak salah lagi, dia itu pasti si Wewe gombel.

Kubekap mulutku agar tidak berteriak. Sepertinya aku harus segera pergi dari sini sebelum wanita itu membawaku ke dunianya. Saat aku hendak berbalik badan, makhluk yang begitu mengerikan itu bangkit berdiri kemudian melesat masuk ke dalam pohon mangga. Bersamaan dengan masuknya, pohon mangga itu bergoncang dengan sangat kencang. Padahal pohon-pohon di sekitarnya tidak ada satupun yang bergerak. Angin kencang yang sempat melanda juga berhenti, suhu udara pun kembali menghangat.

"Nduk."

Sebuah tepukan di pundak membuatku terkejut. Aku berbalik badan untuk melihat siapa yang ada di sana meski dengan hati dan tubuh yang masih gemetar karena ketakutan.

Senyumku terkembang saat melihat siapa yang menepuk pundakku. Rupanya Budhe Lasmi menyusulku.

"Kamu ke mana saja? Itu acara pernikahan Sekar akan dimulai. Ayo, kita kembali."

Aku mengikuti langkah Budhe Lasmi untuk kembali pulang. Entah kenapa, aku merasa seperti ada yang tengah mengawasi gerak-gerikku. Saat aku menoleh tidak ada siapapun. Namun, saat aku menatap jendela rumah nenek, wajah mengerikan itu kembali terlihat. Mata kami kembali bersitatap dan gorden jendela kembali tertutup.

"Budhe, apa di rumah nenek ada penghuninya?"

Wanita itu mengangguk. Menurutnya yang tinggal di sana adalah sepasang suami istri tanpa anak.

"Keduanya itu dulunya korban kebakaran hutan jadi wajahnya rusak karena penuh luka bakar dan lepuhan. Kamu jangan takut."

Aku tersenyum lega karena itu artinya yang melihatku dari tadi bukan sosok hantu hasil halusinasiku semata tapi memang manusia yang menghuni rumah nenek dulu.

Rumah Sekar sudah ramai sekali, banyak tamu yang berkumpul. Suara gamelan dan beberapa penari yang bertalu menjadi hiburan bagi mereka.

"Masuk ke rumah saja dulu, Nduk.   Budhe mau menemui para tamu."

Suasana luar yang ramai begitu kontras dengan suasana rumah yang begitu senyap, sepi dan dingin. Memang semua kegiatan sengaja ditempatkan di luar rumah. Akses dari dapur ke tempat hajatan pun melalu samping rumah. 

Aku memilih untuk mengganti baju dengan yang lebih pantas kukenakan saat ada acara besar dan sakral. Kebaya kutu baru dengan rok batik yang memang kupersiapkan khusus untuk menghadiri hari bahagia sahabatku. Akupun menyapukan bedak dan sedikit lipstick ke wajah agar terlihat lebih segar.

Aku berjalan keluar saat sudah merasa tidak ada yang salah dengan penampilanku.  Saat keluar kamar kulihat kamar Sekar masih tertutup rapat, ingin rasanya aku masuk dan melihat persiapan calon pengantin itu. Namun, kuurungkan mengingat pantangan desa ini yang dituturkan Budhe Lasmi tadi. Selain itu dari luar pintu aku mendengar suara orang berbincang, sepertinya itu orang yang merias Sekar apalagi ada bau menyan yang menguar dari dalam kamar pengantin.

"Ini paesnya sudah sempurna dan cantik, tinggal bunga melatinya yang belum dipasang. Oh, iya, ritualnya sudah lengkap bukan?” Samar kudengar perbincangan dari dalam sana.

Aku menghela napas sebelum akhirnya berjalan keluar untuk membaur dengan tamu-tamu yang sudah ada di luar. 

Kupilih duduk di tempat yang tidak jauh dari pelaminan. Aku ingin melihat dengan jelas setiap prosesi pernikahan  yang akan digelar. Aku ingin tahu bagaimana adat istiadat desa ini, yang mungkin sedikit berbeda dari yang biasa kulihat di kota.

Ada satu lagi tujuanku, yakni ingin melihat bagaimana wajah orang yang begitu dicintai oleh sahabat kecilku sejak kami masih remaja. Ya, Sekar memang menyukai calon suaminya itu bahkan saat aku masih tinggal di sini. Aji, bagaimana rupa anak gendut itu sekarang.  Anak bengal yang suka membuat Sekar menangis saat kecil dulu, kini justru akan jadi pria yang membuat hari-hari Sekar penuh cinta dan kebahagiaan.

Suara gamelan dan juga gerakan gemulai para penari itu sepertinya berhasil membius para tamu karena sejak tadi aku perhatikan bahwa tidak ada satu pun ada yang membuka mulutnya, bahkan untuk berdecak kagum saja tidak. Mata mereka terus menatap para penari seolah telah terhipnotis bahkan aku tidak melihat satu kali pun mereka berkedip.

Sebuah sodoran piring yang berisi beberapa makanan ringan membuatku berhenti memandang para tamu di sekitarku. Mataku kini berganti dengan isi dalam piring yang kupegang. Ada beberapa jenis kue yang terhidang. Namun, aku lebih tertarik pada sebungkus kacang goreng. Perlahan kubuka sembari terus melihat gemulainya penari yang terkadang menarik tamu untuk berjoged bersamanya.

Kuambil satu biji kacang dan kumasukkan ke dalam mulut. Ada yang tidak biasa saat aku mengunyahnya. Jika biasanya kacang goreng itu teksturnya renyah dan garing saat digigit. Tidak untuk kali ini, rasanya saat aku menggigit ada rasanya alot dan saat berhasil kunyah sesuatu yang lumer memenuhi mulutku. Rasanya pun sangat asin.  Pasti ini yang masak kacang terlalu  menabur garam.

Entah berapa biji sudah masuk ke mulutku, rasa asin itu sepertinya sudah bisa diterima oleh lidahku. Toh, ini hanya kacang yang sedikit berbeda dan keasinan. Saat mulutku sibuk mengunyah, mataku terus menatap pertunjukan tarian yang memang menakjubkan. 

Kulihat dalam bungkusan masih ada dua biji kacang sementara di piring ada kue kesukaanku sejak kecil, kue lapis legit. Dengan sekali gigit dua kacang itu telah memenuhi rongga mulutku.

Dikunyahan kedua, aku mulai merasakan hal yang tidak enak di mulut. Aku seperti bukan memakan kacang tapi sesuatu yang berair dan lengket. Aku merasakan sebuah lelehan itu keluar dari sudut bibirku. Kuusap dengan telapak tanganku tapi lelehan itu terus keluar setelah berkali-kali kuusap.

Sungguh terkejut saat menyadari telapak tanganku kini penuh dengan cairan berwarna merah pekat. Setelah kucium, ada bau anyir khas darah. Seketika kukeluarkan kacang yang ada di mulutku.  

Apa ini, kenapa yang kukeluarkan bukan kacang tapi sesuatu berwarna putih dan hitam yang menyatu dengan darah. Dengan cepat kubuang ke lantai benda itu.

Mataku memindai para tamu, bibir mereka tampak mengunyah sesuatu dan dari sudut bibir mereka meleleh cairan merah persis seperti yang kumakan. 

Bibirku terbelangah saat menatap sesuatu yang ada digenggaman seorang tamu di belakangku. Itu bukan kacang tapi mata, entah mata manusia atau hewan. Mereka memakannya tanpa ekspresi dan pandangan mereka yang tertuju ke para penari itu kosong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status