Nadia memperhatikan pak Ryan yang tengah memeriksannya. Tidak ada sapaan maupun sekedar senda gurau seperti biasanya. Ada apa dengan pak Ryan? Pasti ini ulah tunangannya. Yang telah mengancam pak Ryan. Kasihan pak Ryan.
“Aman, Pak,” ujar Nadia. Membuat Ryan menatapnya dengan intens. Seakan mempertanyakan apa yang Nadia maksud.
“Ya... maksud saya. Tunangan saya tidak ada di sini. Bapak jangan takut untuk bertanya kepada saya.”
“Dia kemana?” tanya Ryan.
“Tuh kan, kepo. Dari tadi Bapak menahan diri untuk bertanya, kan? Sudah saya duga.”
“Bersikap sopanlah kepada....”
Hari ini adalah hari kepulangan Nadia. Mereka telah berkemas, Nadia dirangkul oleh tunangannya keluar dari rumah sakit itu.“Bar! Karena aku sudah sembuh, kita merayakan dengan makan-makan, ya?” pinta Nadia memelas dengan bola mata yang berkedip seperti boneka.“Kamu seperti tadi, mirip seperti boneka Annabelle,” ujar Bara, membuat mata Nadia melotot hampir keluar. Cantik seperti ini, dikira boneka Annabelle. Bukannya itu jenis boneka yang terkenal itu, ya? Di film-film, Nadia pernah mendengarnya.Bara menarik Nadia masuk ke dalam mobil, karena tengah asyik melamun. Bara menutup pintu menyusul Nadia masuk ke kursi pengemudi.“Kenapa, hem? Kamu beneran mirip.”
"Gue mau negoisasi sama lo."Gadis yang duduk di depannya, menatapnya dengan intens tanpa bersuara."Gue mau lo nyerahin rekaman itu, ke kita. Dan gue akan kasih lo tiga permintaan. Apapun itu gue akan ngabulin.""Lo berurusan dengan orang yang salah."Marisa mengebrak meja, membuat perhatian orang di cafe itu teralihkan kepada mereka."Walaupun lo rusak. Itu ngak akan menghasilkan apapun.""Jangan main-main sama gue! Terus apa niatan lo ketemu sama gue, di sini?""Gue hanya mau lihat wajah lo, senior."
Nadia berjalan sendirian di kampus menuju perpustakaan. Hari ini, ia mencoba menghindar kedua sahabat nya. Karena ia tidak ingin secara terang-terangan menghindari salah satu dari mereka.Banyak mahasiswi kenalannya di organisasi, menyapanya di lorong kampus. Nadia membalas senyuman mereka apa adanya. Mereka tidak banyak bertanya. Karena melihat raut wajah Nadia yang tidak mood hari ini."Nadia!" teriak Lala melangkah ke arahnya. Nadia tidak menengok ke belakang. Ia mempercepat langkahnya menuju ke perpustakaan."Woy, Nad! Lo kok ngak nungguin kita?!" ujar Lala masih setengah berteriak.Nadia menghela nafas. Ia mendengarnya. Namun seakan tidak memperdulikan Lala.N
"Pak Bara!""Hem.""Di bawah ada ibu Celina yang ingin bertemu dengan bapak."Bara menghela nafas pelan. Kenapa Celina ke sini? Padahal semuanya telah jelas. Dirinya akan menjauh dari gadis itu."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Sambungan terputus. Bara kembali mengerjakan beberapa laporan yang akan diperiksa dan di tanda tangani. Mengenai pembangunan hotel di Bali.Bara menyetujui proyek besar tersebut. Karena Nadia ingin bulan madu ke sana. Jadi dirinya mempersiapkannya dari sekarang.
Nadia mengembangkan senyumannya ketika masuk ke dalam ruangan Bara. Ia melangkah dan menaruh kotak makan di atas meja kerja Bara. Segera duduk di depan pria itu, yang sekarang juga menyambutnya dengan senyuman dan pancaran rindu di matanya."Kok kamu bisa tahu, aku akan datang?" tanya Nadia."Aku di kasih tahu sama salah satu karyawan, aku menyuruh nya mengirim pesan. Ketika kamu datang ke kantor, Sayang."Nadia manggut-manggut, mempercayai nya. Sampai segitunya."Kamu sibuk banget, ya?" tanya Nadia melihat tumpukkan berkas di depan Bara. Pria itu mengangguk dengan raut wajah lelah."Iya, Sayang."
Bara menatap datar ke sekelilingnya. Memperhatikan sedari tadi seorang wanita dengan pakain formal, namun terbuka di belahan dada dan rok sepaha. Menggerakkan lidahnya, menjelaskan perjanjian kerja sama di antara mereka.Candra menatap Bara, yang sepertinya tidak menyukai wanita di depan mereka. Padahal sebenarnya, perjanjian kerja sama tersebut sangat menguntungkan perusahaan.“Bagaimana, Pak Barata?” tanyanya dengan suara dilembutkan.“Penjelasan Anda sangat memukau, Ibu Delia.” Candra segera memberikan pujian.Delia tersenyum bukan ke arah Candra. Namun ke arah Bara yang sekarang ikut menatapnya. Membuat wanita itu salah tingkah.“Terima kasih, Pak Candra. Pak Barata, bagaimana tanggapan Bapak
Dengan langkah lebar, Nadia dan Bara berjalan tergesa-gesa menelusuri lorong rumah sakit. Beberapa menit yang lalu. Nadia menerima telepon dari rumah sakit. Mamanya terlibat kecelakaan di jalan bersama dengan sekretarisnya.Tibalah mereka di depan ruang UGD, di sana terlihat seorang pria dengan wajah tertunduk, duduk di salah satu kursi. Dia papa Nadia, yakni Aldi, yang terlihat putus asa. Membuat detak jantung Nadia berdebar dengan sangat kencang.“Pa! Keadaan Mama, bagaimana? Ma...Mama nggak apa-apa kan, Pa?” tanya Nadia dengan suara yang hampir menghilang.Aldi menghela nafas dalam, ia berdiri dan memeluk sang putri dengan erat, “Mama tidak akan kenapa-kenapa, Nadia. Kita tunggu kabar dari dokter.”“Tapi, pya. Nadia khawatir sama Mama. Ap
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya yang terlihat ramai dengan lalu lalang kendaraan pada pagi hari. Jam berangkat kerja, biasa nya akan ada sedikit hambatan di jalan, yakni macet yang berkepanjangan.“Kita langsung menuju tempat klien, Bu?” tanya Mentari, sekertaris Bella yang masih muda.Bella yang berada di kursi belakang mengangguk, sembari mengecek tabletnya, “Tempat biasa kita bertemu dengan klien, mereka akan tiba beberapa menit lagi. Mentari... jangan ngebut, ya?”“Baik Bu, tapi saya sedikit ngebut ya, Bu? Karena sebentar lagi akan macet, beberapa menit lagi.”“Saya mengerti Mentari. Utamakan keselamatan!” peringat Bella