"Bilnaaa, kemari kamu...!" Bilna yang sedang duduk-duduk santai di teras samping sambil menaikkan kakinya ke atas meja, menoleh ke arahku. Kelihatannya wanita itu sudah mandi dan sudah berdandan cantik. "Ada apa sih Mbak? Enggak perlu teriak-teriak juga kali." Dengan jutek Bilna menjawab. Aku mendekatinya. "Apa yang kamu lakukan di sini, pekerjaanmu di belakang belum selesai. Tuh piring-piring buruan dicuci." "Aku masih capek, Mbak. Masa aku harus mencuci piring. Aku tidak cocok menjadi tukang cuci piring. Emang Mbak pikir saya ini pembantu apa? Malas saya Mbak saya capek.! "Capek katamu, mukamu kelihatan begitu segar. Bilna, saya memberitahumu bahwa pekerjaanmu di sini bukan hanya bersolek ria. Ini bukan rumahmu. Kamu harus menuruti apa yang aku katakan. Cepat kebelakang Saya tidak mau lagi melihat piring-piring kotor. Setelah itu meja makan dibersihkan." "Terus makan malam nanti bagaimana, Mbak? Apakah harus memakai uang kami lagi untuk memesann
"Bilna, aku mau berangkat kerja, sepulang dari kerja nanti aku tidak mau melihat rumah ini berantakan. Tolong kamu kerjakan tugas mu dengan baik. Bersihkan setiap sudut rumahku dengan bersih." "Berisik sekali Mbak Aliyah ini. Aku sudah capek menuruti semua kata-kata mbak. Aku malas, kalau mbak mau melihat rumah bersih, bersihkan sendiri. Jangan hanya bisa menyuruh-nyuruh Aku saja." "Kalau kamu tidak mau, silakan pergi. Pergi saja ke rumah mertuamu." "Oke nanti akan ku ajak mas Habib pergi pindah ke rumah ibu. Biar kamu tahu rasa ditinggal suami." "Ajak saja sekarang. Jangan tunggu nanti." Kembali lagi kami berdebat. Bilna tidak boleh berdiam diri saja di rumahku. Mimpi apa dia sudah numpang mau berleha-leha. Mendengar jawabanku tadi bilna berlalu dengan muka manyun. Mungkin dia menolak untuk menuruti semua perintahku. Tapi dia tidak punya pilihan lain kalau masih mau tinggal bersama Habib di rumah ini. Aku tidak mungkin membebaskannya dari semua pe
"Assalamualaikum" Kulirik arah pintu, rupanya sang ibu mertua yang datang. "Waalaikumsalam. Lah ada Ibu, sini mari masuk, Bu." Bilna menghambur memeluk Ibu mertua. Ih lebay nya. "Ibu apa kabar? Bilna sudah sangat rindu. Kenapa Ibu kok jarang main kemari?" Bilna menggandeng tangan ibu. Sambil matanya melirik ke arahku. Dia pikir aku akan iri melihat kebersamaan mereka, tidak Bilna. "Iya Ibu juga sangat merindukan kalian apa kabarnya si calon cucu ibu sehat-sehat saja kan?" Sambil tangan ibu mengelus perut Bilna. Mendengar pertanyaan ini Bilna melirik ke arahku, santai sajalah. Aku tidak akan membuka rahasiamu sekarang Bilna. Ini belum saatnya dan lagi pula perceraian dengan Habib belum resmi. Aku tidak mau rencana perceraian ini bubar hanya karena gara-gara Habib mengetahui kenyataan bahwa dia yang mandul, bukan Aku. Karena jika dia tahu bahwa janin didalam perut Bunda bukan anaknya kemungkinan besar dia akan meninggalkan wanita tersebut
Kubawa lembaran surat cerai yang harus ditandatangani oleh Habib. Kudatangi ke rumah perempuan yang sedikit lagi akan menjadi mantan mertua. Sedikit lagi ikatan kami akan terpisah secara resmi. Kuharap nanti tidak ada perlawanan yang berarti. Sesampainya di rumah ibu mertua, aku pencet bel. Ting...tong....! Seorang satpam membukakan pintu gerbang. Dan menyuruhku untuk masuk karena beliau telah mengenaliku sejak dulu. Sebab itu segera memanggil si tuan rumah. Tidak lama kemudian keluarlah si ibu mertua. Dari pandangannya sudah jelas-jelas dia membenciku. Tidak mengapa, tidak masalah juga. "Mengapa engkau kemari? Apa mau mencari Habib? Atau mau mengemis minta balikan sama anakku. Oh kamu baru sadar ya Kalau anakku begitu berarti. Kamu pasti sudah menyesal telah mengusir kami mentah-mentah." Pede sekali wanita paruh baya ini. Siapa juga yang mau minta balikan. Melihatnya saja sudah mampu membuat perutku mules, apalagi kalau harus kembali menjadi i
Setelah para benalu telah enyah, maka aku kembali mengambil seorang asisten rumah tangga. Walaupun hidup seorang diri tapi masih sanggup untuk sekedar membayar seorang pembantu. Tentu saja aku tidak akan memperlakukan asistenku semena-mena seperti Bilna. Aku membutuhkan asisten rumah tangga, karena harus menekuni pekerjaan. Sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurus rumah. Tingg.....! Sebuah noifikasi muncul di layar ponselku menandakan adanya pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau. Ada empat pesan masuk dari nomor yang sama. Ku cek ternyata dari sang mantan suami, si Habib. "Kamu pasti menyesal telah mau bercerai denganku, Aliyah." "Kamu akan merasakan kesepian, karena kamu hidup seorang diri." "Lagian kalau kau mau menikah lagipun, tidak akan ada yang mau menikahi perempuan yang punya rahim kering kerontang tidak punya benih keturunan sepertimu. Hahahaaa, sedangkan aku, sedikit lagi akan memiliki baby dari istriku. Sedangkan kamu akan m
Ting... Tong.....! Bel rumahku berbunyi. Bi Yah, asisten rumah datang menemuiku yang sedang sibuk mengurus berkas yang harus ku periksa dengan hati-hati. "Nyonya ada tamu perempuan yang datang." "Baik, suruh dia masuk saja, Bik. Nanti ku temui dia di ruang tamu.!" "Baik, Nyonya." Aku melangkah menuju ke ruang tamu. Siapa gerangan yang datang kerumahku di sore hari seperti ini. Uuph... Ketika kulihat dari daun pintu, ternyata yang datang bertamu adalah Bu Naura. Ibu tiriku sekaligus ibunya Bilna. Ada apa gerangan dia datang kemari. Aku harus awas. Soalnya dia bukan orang yang berhati baik. Harus hati-hati. Kembali ku melangkah ke ruang kerja, ku ambil sebuah alat perekam suara. Kunyalakan dan kuselip di saku atasan tunik yang tengah ku pakai saat ini. "Ternyata Ibu yang datang." Aku duduk di sofa tepat di depan Bu Naura. Bu Naura teesenyum. Tapi senyum itu, bukanlah menggambarkan senyuman yang tulus. Entah ada maksud apa yang terselip di a
Siang ini aku memutuskan untuk makan di luar. Sepulangnya dari kantor ku arahkan mobil langsung menuju ke restoran langganan. Aku memesan seafood kesukaanku bersama jus melon. Tidak harus lama menunggu, pesananku datang. "Sendirian saja mbak?" Tanya seorang perempuan yang baru saja datang, lalu duduk di bagian belakang mejaku. Sebentar kemudian dia membuka maskernya sekilas, mungkin gerah kali ya. Eh serasa saya pernah lihat ini perempuan. Tapi sayang sebelum aku berhasilengingatnya, dengan cepat dia memakainya kembali. Aneh... maklum, aku bukan tipe orang yang mudah dalam mengenali seseorang dengan baik. walaupun cuma sekilas saja, aku masih bisa sefikit mengingat wajah wanita itu. Tapi.. aduuuh perutku melilit. Belum sempat berpikir lebih jauh. Nih panggilan toilet merusak suasana makan siang. Pesanan baru saja datang, eh tahunya malah kebelet. Buru-buru aku melangkah kearah toilet wanita di bagian belakang. Lumayan lama juga harus mendekam di
Sementara itu sebuah mobil berhenti di sebuah jalanan yang sepi. seorang perempuan yang memegang kendali mobil mengerem mobil secara mendadak. Sehingga semakin membuat perempuan di sampingnya tersentak. "Kenapa kok bisa begitu sih. Kamu kurang hati-hati. Hampir saja semuanya berantakan untung kamu tidak ketahuan. Kalau kamu ketahuan aku juga kena imbasnya." Wanita yang duduk di sampingnya cuma bisa menunduk. "Maafkan Aku, Tuan Nyonya. Sungguh aku minta maaf. Semua ini memang kesalahanku. Aku kurang berhati-hati. Untung saja Nyonya cepat menghampiriku. Kalau tidak aku bisa dapat dikejar oleh mereka. Terima kasih banyak sudah menyelamatkan aku. Karena aku juga tidak mau sampai masuk penjara." Wanita dengan perut membuncit itu cuma menghela nafas panjang. Sambil sesekali tangannya mengelus perut. "Kalau sudah begini kecurigaan mereka semakin meningkat. Apalagi kulihat seperti nya Aliyah mulai mengetahui apa yang telah aku sembunyikan." wanita disampi