“Apa? Gian menyetrummu?” Alicia sampai tak bisa menahan kekagetannya dan matanya membelalak takjub.Gegas ke bangku Gian, Alicia bertanya pada remaja itu, “Gian, apa benar tadi kamu menyetrum Jehan?”“Jangan akui, Bocah.” Elang yang sedang rebah nyaman di dalam saku kemeja Gian menyahut santai.Melirik sebentar ke Elang, Gian pun menjawab, “Aku … bagaimana caranya aku menyetrum? Aku hanya memegangnya saja, kok Cia.” Sambil dia menaikkan kedua tangannya yang memakai sarung tangan semua.Melihat wajah tak berdosa Gian, Alicia jadi ragu pada Jehan. Benarkah Gian mampu berbuat sejahat itu? Lagipula, tak ada alat apapun di tangan Gian yang bisa digunakan untuk menyetrum Jehan.Gian bangun dari kursinya dan menghampiri Jehan diikuti Alicia.Melihat Gian malah menghampiri dirinya, Jehan makin ketakutan. “Ampun, Gian! Ampun!” Sembari dia meringkuk melindungi kepalanya dengan sikap takut.Gian terkekeh heran dan bertanya, “Memangnya aku melakukan apa ke kamu, Je? Bukankah aku menyentuh biasa s
Tak pernah ada dalam bayangan Danar kalau semua anak buahnya bisa mengalami kejadian yang aneh seperti itu ketika melawan seseorang, terutama melawan pecundang semacam Gian.“Kau ingin merasakan apa yang dirasakan teman-temanmu?” Segera, ucapan Gian mengalun memasuki pendengaran Danar.Danar tidak sempat menyahut dan hanya menoleh kaget akan kalimat Gian hingga tiba-tiba saja Gian sudah bergerak cepat seperti kilat ke hadapannya, menyebabkan dia kaget bukan kepalang.Lalu, kedua tapak tangan tanpa sarung lateks itu menyentuh kedua pangkal lengan Danar.“Awrgh! Aawrgh! Awrrghh!” Danar segera saja mengalami kejang-kejang dan jatuh di lantai. Dia masih sadar dan melihat Gian yang berjongkok ke dirinya sambil memberikan senyum seringai padanya. Seketika, Gian terlihat sangat menakutkan baginya.“He he … kau sudah merasakannya? Kalau kau ingin merasakan yang lebih dari itu, boleh saja, cari saja masalah denganku, maka aku dengan senang hati memberikan padamu.” Sembari ujung telunjuknya men
Melinda belum sempat mencegah ketika anak sulung kesayangannya sudah menghampiri Gian dan berniat mencekal kerah seragam sang adik.Namun, alih-alih bisa mencengkeram kerah baju, Carlen justru kejang-kejang karena tersetrum ketika perutnya disentuh tapak tangan Gian.Si sulung kejang-kejang hingga tersungkur di lantai dan meneruskan kelojotan di sana sampai memuntahkan makanan yang sudah tertelan, sungguh pemandangan yang aneh dan menjijikkan.Cheryl yang menonton pun segera menyingkir karena tak mau terkena muntahan Carlen.Gian sudah lebih dulu menyingkir.Melinda bergegas menolong putranya di lantai dan berseru ke Gian, “Kamu kenapa jahat sekali dengan kakakmu? Kamu monster! Kamu monster, Gian!”Gian menatap ibunya dan dia berkata dengan suara penuh kekecewaan, “Selama ini dia menindasku sejak aku kecil, apakah itu tidak Mama pandang sebagai kejahatan? Dia dan Hanz kerap memperbudak aku, menindasku, bahkan menyiksaku sejak dulu, apakah Mama pernah membelaku?”Melinda baru saja berh
Gian sudah menetapkan misinya yaitu balas dendam pada orang-orang yang telah menyakiti hati dan fisik dia selama ini.Itu benar-benar dia laksanakan.Dia datangi preman-preman sekolah yang pernah merugikan dia. Satu demi satu mereka merasakan setruman Gian hingga kelojotan dan tak bisa melaporkan perbuatan Gian karena dia sudah mengancam mereka semua.Lagipula, jika dilaporkan, atas tindakan apa? Mana mungkin polisi memercayai ada manusia memiliki kekuatan listrik untuk mencelakai orang lain? Yang ada, pelapornya akan dikata sinting dan mengada-ada saja.Oleh karena itu, selama beberapa hari ini, Gian bisa puas menuntaskan kemarahan terpendamnya kepada siapapun yang telah menyakiti dia.Hanya dalam waktu sekejap saja, nama Gian sudah tersebar di sekolahnya sebagai orang yang harus diwaspadai.Mereka tidak lagi berani berbuat macam-macam pada Gian. Ini sungguh merupakan hal melegakan bagi Gian. Kehidupan sekolahnya menjadi lebih tentram dan damai seperti yang dia dambakan selama ini.“
Sedikit bingung dan bertanya-tanya mengenai kenapa Alicia ingin bicara dengannya, Gian tetap menghampiri gadis itu. “Ya, Cia?”“Yuk ke halaman belakang!” ajak Alicia, kali ini tidak menggandeng tangan Gian seperti biasanya.Gian patuh dan berjalan beriringan dengan Alicia ke halaman belakang sekolah.Di sana ternyata sudah ada beberapa siswa bergerombol sedang mengobrol dan beberapanya merokok. Melihat kedatangan Gian, mereka segera mematikan rokok dan lekas pergi dengan raut segan pada Gian.Alicia melihat itu semua dengan lirikannya dan kemudian menempati beton yang tadinya diduduki para siswa itu. “Duduklah, Gian!” Sembari dia menepuk sisi di sebelahnya yang kosong.“Iya.” Gian menempatkan pantat di sebelah Alicia.“Kamu tahu kenapa aku mengajak kamu ke sini dan ingin bicara padamu?“Tidak, aku tidak tahu, Cia. Memangnya ada apa?”“Gian, aku perhatikan belakangan ini kenapa sepertinya anak-anak ketakutan kalau melihat kamu, yah?”“Itu … tapi ….”“Iya, aku tahu, itu memang bagus kar
Danar melihat Alicia dan Gian sedang berduaan di halaman belakang, duduk berdampingan di balok beton yang dibuat seperti bangku panjang di sana.Ada darah yang mendidih karena cemburu, tapi Danar teringat bagaimana dirinya disetrum oleh Gian, maka menelan kecemburuannya, ia pun mengajak anak buahnya untuk pergi dari sana, mencari tempat lain untuk bersantai.Tentu saja Alicia dan Gian melihat Danar dan gengnya ternyata tidak mendekat dan justru meninggalkan halaman belakang, dan itu cukup mengagetkan bagi Alicia.Sedangkan bagi Gian, dia sudah bersiap memberi pelajaran tak enak pada Danar dan kawan-kawannya apabila masih nekat mendekat saat dia dan Alicia berduaan begini. Tapi, ternyata itu tidak perlu terjadi, Danar sudah menyingkir lebih dulu, seakan menghindarinya.Alicia memiringkan kepalanya dengan raut sedikit bingung akan sikap Danar. “Tumben sekali dia tidak cari gara-gara.”Gian tergelitik untuk bertanya, “Apakah kau lebih suka dia mendekat ke sini, Cia?”“Oh! Tentu saja tida
Mulut Gian melongo, kenapa ibunya datang bersama kakak sulungnya, Carlen? Bukankah kemarin dia sudah menegaskan pada sang kakak untuk tidak perlu datang karena dia hanya menginginkan Melinda saja yang menerima rapornya?Di area depan sekolah, banyak murid yang menatap Melinda dan Carlen, bertanya-tanya siapa gerangan lelaki di samping wanita paruh baya itu?“Eh? Bule dari mana itu?” Seorang siswi bertanya-tanya di samping temannya ketika Carlen melewati dirinya.Temannya juga menyahut, “Duh, tampan sekali bule itu! Aku jadi deg-degan begini!”“Astaga, kenapa dia begitu memesona? Seketika rahimku menghangat!” Siswi lain berbisik kepada kawannya ketika melihat Carlen bagai melihat pangeran impian.Banyak siswi yang terpesona oleh Carlen. Mana mungkin tidak? Dia tinggi, fitur wajahnya sangat Eropa dan rambutnya cokelat keemasan. Apalagi ketika dia tersenyum, wanita segala usia pasti terpikat!Tidak ada yang mengetahui Melinda karena biasanya rapor Gian diambilkan oleh tetangga mereka sej
Kecurigaan Gian semakin tebal ketika dia terus saja mendengar teman-temannya terus membandingkan dia dengan Carlen dan si sulung hanya tersenyum menanggapi mereka, sementara Melinda sedang di dalam kelas dengan wali murid lainnya.“Ya ampun! Kamu kakaknya Gian?” jerit Imelda seperti tidak ingin percaya.“Ini tidak bohong, kan? Coba sini Kakak aku cubit!” Evita yang genit langsung mencubit lengan Carlen, tapi tidak keras-keras tentunya.“Auw! Ha ha, kenapa aku malah dicubit?” Carlen berlagak memekik kecil menanggapi Evita. “Kan kamu yang butuh diyakinkan.”Evita hanya terkekeh nakal dan siswi lainnya merasa iri karena itu.“Kakak namanya siapa?” tanya Devi.“Carlen. Atau panggil saja Len.” Carlen memberikan jawaban disertai senyuman simpatik yang sanggup melelehkan hati para siswi yang merubunginya di depan kelas.Sonia segera menyahut, “Aku panggil Sayang saja, yah!”Segera saja Sonia mendapatkan sorakan “huu” dari teman-temannya yang merubungi Carlen.Guru yang sedang berbicara denga