Sedikit bingung dan bertanya-tanya mengenai kenapa Alicia ingin bicara dengannya, Gian tetap menghampiri gadis itu. “Ya, Cia?”“Yuk ke halaman belakang!” ajak Alicia, kali ini tidak menggandeng tangan Gian seperti biasanya.Gian patuh dan berjalan beriringan dengan Alicia ke halaman belakang sekolah.Di sana ternyata sudah ada beberapa siswa bergerombol sedang mengobrol dan beberapanya merokok. Melihat kedatangan Gian, mereka segera mematikan rokok dan lekas pergi dengan raut segan pada Gian.Alicia melihat itu semua dengan lirikannya dan kemudian menempati beton yang tadinya diduduki para siswa itu. “Duduklah, Gian!” Sembari dia menepuk sisi di sebelahnya yang kosong.“Iya.” Gian menempatkan pantat di sebelah Alicia.“Kamu tahu kenapa aku mengajak kamu ke sini dan ingin bicara padamu?“Tidak, aku tidak tahu, Cia. Memangnya ada apa?”“Gian, aku perhatikan belakangan ini kenapa sepertinya anak-anak ketakutan kalau melihat kamu, yah?”“Itu … tapi ….”“Iya, aku tahu, itu memang bagus kar
Danar melihat Alicia dan Gian sedang berduaan di halaman belakang, duduk berdampingan di balok beton yang dibuat seperti bangku panjang di sana.Ada darah yang mendidih karena cemburu, tapi Danar teringat bagaimana dirinya disetrum oleh Gian, maka menelan kecemburuannya, ia pun mengajak anak buahnya untuk pergi dari sana, mencari tempat lain untuk bersantai.Tentu saja Alicia dan Gian melihat Danar dan gengnya ternyata tidak mendekat dan justru meninggalkan halaman belakang, dan itu cukup mengagetkan bagi Alicia.Sedangkan bagi Gian, dia sudah bersiap memberi pelajaran tak enak pada Danar dan kawan-kawannya apabila masih nekat mendekat saat dia dan Alicia berduaan begini. Tapi, ternyata itu tidak perlu terjadi, Danar sudah menyingkir lebih dulu, seakan menghindarinya.Alicia memiringkan kepalanya dengan raut sedikit bingung akan sikap Danar. “Tumben sekali dia tidak cari gara-gara.”Gian tergelitik untuk bertanya, “Apakah kau lebih suka dia mendekat ke sini, Cia?”“Oh! Tentu saja tida
Mulut Gian melongo, kenapa ibunya datang bersama kakak sulungnya, Carlen? Bukankah kemarin dia sudah menegaskan pada sang kakak untuk tidak perlu datang karena dia hanya menginginkan Melinda saja yang menerima rapornya?Di area depan sekolah, banyak murid yang menatap Melinda dan Carlen, bertanya-tanya siapa gerangan lelaki di samping wanita paruh baya itu?“Eh? Bule dari mana itu?” Seorang siswi bertanya-tanya di samping temannya ketika Carlen melewati dirinya.Temannya juga menyahut, “Duh, tampan sekali bule itu! Aku jadi deg-degan begini!”“Astaga, kenapa dia begitu memesona? Seketika rahimku menghangat!” Siswi lain berbisik kepada kawannya ketika melihat Carlen bagai melihat pangeran impian.Banyak siswi yang terpesona oleh Carlen. Mana mungkin tidak? Dia tinggi, fitur wajahnya sangat Eropa dan rambutnya cokelat keemasan. Apalagi ketika dia tersenyum, wanita segala usia pasti terpikat!Tidak ada yang mengetahui Melinda karena biasanya rapor Gian diambilkan oleh tetangga mereka sej
Kecurigaan Gian semakin tebal ketika dia terus saja mendengar teman-temannya terus membandingkan dia dengan Carlen dan si sulung hanya tersenyum menanggapi mereka, sementara Melinda sedang di dalam kelas dengan wali murid lainnya.“Ya ampun! Kamu kakaknya Gian?” jerit Imelda seperti tidak ingin percaya.“Ini tidak bohong, kan? Coba sini Kakak aku cubit!” Evita yang genit langsung mencubit lengan Carlen, tapi tidak keras-keras tentunya.“Auw! Ha ha, kenapa aku malah dicubit?” Carlen berlagak memekik kecil menanggapi Evita. “Kan kamu yang butuh diyakinkan.”Evita hanya terkekeh nakal dan siswi lainnya merasa iri karena itu.“Kakak namanya siapa?” tanya Devi.“Carlen. Atau panggil saja Len.” Carlen memberikan jawaban disertai senyuman simpatik yang sanggup melelehkan hati para siswi yang merubunginya di depan kelas.Sonia segera menyahut, “Aku panggil Sayang saja, yah!”Segera saja Sonia mendapatkan sorakan “huu” dari teman-temannya yang merubungi Carlen.Guru yang sedang berbicara denga
Alicia dan Gian bertanya-tanya dalam hati masing-masing, untuk apa Carlen menghampiri mereka di halaman belakang. Terlebih Gian, dia memasang wajah muram dan tatapan tajam untuk memberikan peringatan pada kakaknya.“Halo.” Suara Carlen mengalun baik dengan wajah penuh senyum simpatik ketika dia melihat Alicia. “Teman dekatnya adik aku, ya?” Dia sambil menunjuk ke Gian.Karena hanya pertanyaan wajar, Alicia mengangguk sebagai respon awal dan menjawab, “Iya.”Pandangan Carlen masih tertuju ke Alicia saja tanpa ingin melirik adiknya, dan dia menjulurkan tangan ke gadis itu, “Perkenalkan, namaku Carlen, atau kamu bisa panggil aku Len. Rasanya tidak afdal kalau tidak mengenal teman baik adikku.”Karena itu tujuan Carlen dan Alicia hal demikian masuk akal, maka dia menyambut uluran tangan Carlen dan menjabatnya dengan pantas selama beberapa detik, itupun Alicia yang menarik terlebih dahulu tangannya.Carlen hendak mengatakan sesuatu ketika Gian mendahului dengan berkata, “Cia, kamu duluan,
Bangku beton yang sangat berat untuk diangkat beberapa orang itu dengan mudah diangkat menggunakan satu tangan saja oleh Gian, bagaimana Carlen tidak merasa ciut nyalinya?“A—ampun, Gian! Ampun!” Kedua tangan Gian lekas diangkat untuk menutupi kepalanya, khawatir adiknya akan menghantamkan beton itu ke dia.Brak!Gian mengembalikan bangku beton tersebut ke tempat semula dan ada sedikit retakan muncul di betonnya tapi Gian tidak ambil peduli. “Ingat baik-baik ucapanku, Len. Jangan cari gara-gara denganku, patuhi aku kalau tak ingin tubuhmu gosong dan bau sangit!”Setelahnya, Gian meninggalkan Carlen di halaman belakang.Jantung Carlen berdebar kencang sampai dia limbung dan segera duduk di bangku beton tadi, menenangkan dirinya. Kini dia sudah sangat yakin bahwa adiknya memang sudah bukan adiknya yang dulu. Gian sudah berubah.Yang lebih mengerikan, adiknya memiliki kekuatan di luar nalar manusia! Dia sangat yakin adiknya memang mempunyai kekuatan yang bisa menyetrum pihak lain.Ternya
Siang itu mungkin saja merupakan siang menyebalkan dan sial bagi Carlen karena dia dipaksa Gian untuk mencuci semua baju orang di rumahnya. Semuanya, termasuk dalaman juga. Gian mengawasi seperti mandor di dekat Carlen mencuci tanpa bisa diinterupsi Melinda sama sekali. “Mama, daripada Mama gelisah melihat keadaan anak kesayangan Mama, lebih baik masak untuk makan malam saja, sana!” Gian menggunakan dagunya untuk menunjuk ke arah dapur saat kedua tangannya dilipat di depan dada dan besandar santai di ambang pintu ruang cuci. Melinda hendak mengatakan sesuatu namun urung dan menutup kembali mulutnya. Sepertinya dia memang sudah tidak bisa melakukan apapun terhadap Gian yang memiliki kekuatan aneh dan di luar nalarnya. “Cuci yang bersih, Len, jangan sampai luntur, apalagi sobek. Terutama bajunya mama, dia paling marah kalau ada apa-apa dengan bajunya.” Gian bertutur sembari Carlen terus menggosokkan sikat dan sesekali harus mengucek dengan tangan usai disikat untuk dibilas. Carlen t
Cheryl masuk ke dalam rumah dan mendapati bunyi sikat digosokkan bertubi-tubi seperti bukan digerakkan oleh 1 orang saja. Karena penasaran, dia melangkah ke ruangan belakang dan mendapati Gian ada di ambang pintu ruang cuci.Gadis itu bertanya-tanya, tumben sekali kakak pecundangnya itu berdiri layaknya mandor. Lalu yang membunyikan sikat ….Ketika Cheryl melongok ke dalam ruang cuci, di sana ada Carlen dan Zohan yang berjuang menyikat pakaian di bawah tatapan mata Gian.Si bungsu melongo, tak bisa menyembunyikan terkejutnya melihat apa yang terpampang di depan mata. Bagaimana bisa situasi kini malah terbalik. Dia menatap Gian yang bertingkah laksana mandor.Zohan melihat kedatangan Cheryl dan berkata, “Cher! Dia sudah datang! Gian, Cher juga harus ikut mencuci!” Dia tak mau hanya tersiksa sendirian, semua harus ikut!Gian menggeleng dan menjawab, “Cher tak perlu mencuci.”“Kenapa?” Kali ini Carlen mendongak dengan mata penuh keluhan.“Karena Cher tidak pernah jahat padaku.” Jawaban G