Aku memarkirkan mobil di depan sebuah gedung berlantai lima. Sebuah gedung yang tak asing lagi karena terlalu sering aku datang kemari dulu kala. Seperginya dari restoran tempatku menghabiskan waktu bersama dengan Zanna, aku tak langsung pulang ke rumah. Ada hal lain yang harus kulakukan sekarang juga.Turun dari mobil, aku melenggang santai memasuki gedung yang tidak lain merupakan kantor tempat Raefal bekerja. Ya, aku mendatangi kantor Raefal untuk membicarakan hal yang serius dengannya.Terhitung sudah empat hari berlalu sejak kepergiannya dari rumah. Sejauh ini dia tak pernah menunjukan batang hidungnya di depanku, dengan kata lain tak pernah sekali pun dia pulang ke rumah. Meski hampir setiap waktu dia mengirimiku chat atau pesan suara. Beribu kata maaf sudah dia ucapkan dalam pesannya. Kata-kata bujuk rayu sudah dia lancarkan. Namun, kedatanganku kemari bukan berarti hatiku telah luluh.Seperti yang dia katakan tempo hari, kami akan berbicara lagi setelah hati dan pikiran kami t
Dua hari sejak kejadian di kantor Raefal, aku belum bertemu dengannya lagi. Seperti yang dia katakan, dia sama sekali tak menyerah. Gencar meneleponku meski tak pernah sekali pun kuangkat teleponnya. Pesan-pesan singkat penuh perhatian pun tak lupa dia kirimkan padaku, membuatku teringat pada masa-masa kami pacaran dulu.Namun, keputusanku tampaknya tak bisa diganggu gugat lagi. Aku sudah tak sanggup menjalani ikatan pernikahan dengannya. Aku tak ingin seumur hidup terus tertekan dan tak bisa tenang karena setiap saat mengkhawatirkan serta mencurigai Raefal. Intinya, kepercayaanku padanya sudah lenyap dan rasanya sulit untuk diperbaiki. Sebuah hubungan tanpa adanya tiang penyangga bernama kepercayaan, hanya akan membawa duka jika dipaksakan. Setidaknya itulah yang aku percayai.Sebenarnya, dua hari ini aku merasa hidupku kembali damai. Pikiranku tenang karena semua kebenaran telah terungkap dengan jelas. Aku sudah bicara baik-baik dengan Raefal, mengutarakan keputusan akhirku. Kekesal
Raefal masuk ke dalam ruangan tanpa mengatakan apa pun, bahkan tak ada sapaan ramah atau sekedar basa-basi yang dia lontarkan untuk Aradi. Aku menghela napas panjang, dari tatapan mata dan sikap juteknya ini, aku tahu dia sedang kesal atau mungkin marah.“Hai, Fal. Bagaimana kabarnya?”Aradi yang berinisiatif melontarkan pertanyaan, lagi-lagi membuatku tak enak hati jika mengingat betapa baiknya seniorku yang satu ini. Bahkan dia menolak saat aku berencana untuk membayar biaya rumah sakit ini. Terlebih dia begitu antusias dan peduli pada keadaan Raffa.“Baik,” jawab Raefal terkesan ketus.“Hm, aku udah periksa keadaan Raffa. Demamnya masih cukup tinggi, tapi jangan khawatir kami akan terus mengecek kondisinya. Untuk beberapa hari ini dia harus menjalani rawat inap di sini.”“OK. Makasih.” Lagi-lagi Raefal membalas dengan ketus, tanpa sadar membuatku memutar bola mata. Dia membuka jas hitamnya, menyampirkan jas tersebut di sandaran sofa. Lantas menghampiri ranjang Raffa seolah tak memp
“Masuk ke dalam yuk, jangan lama-lama di sini, gak baik buat Raffa.” Aku mengingatkan karena aku sadar mereka nyaris lupa waktu.Aku mengembuskan napas lega karena mereka tak membantah ucapanku. Kami kembali ke ruang rawat Raffa, merebahkan kembali tubuh mungil Raffa di ranjang.Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit sejak kembali ke ruangan, Raffa akhirnya kembali tidur. Mungkin karena obatnya mulai bereaksi.“Kamu gak kasihan sama Raffa?”Aku yang sedang menyelimuti tubuh putraku dengan selimut, seketika menoleh pada Raefal yang berjalan menghampiri sofa. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku mengikutinya duduk di sofa tersebut.Tak menolak, aku pun ikut mendudukan diri di sofa, tepat di sampingnya. Kedua mataku masih tertuju pada sosok Raffa yang terlelap dalam tidur.“Raffa itu masih kecil. Dia masih membutuhkan kita.” Raefal melanjutkan ucapannya. “Aku beberapa hari gak pulang aja, dia udah kayak gini. Apalagi kalau kita pisah. Bisa kamu bayangin dia akan sesedih apa
Taman di halaman depan rumah sakit yang kupilih untuk bersantai sekedar menghilangkan penat. Aku cukup takjub dengan rumah sakit ini, fasilitas taman untuk bersantai para pasien disediakan di beberapa spot yang bagus. Di halaman depan, rooftop maupun di halaman belakang. Dari gedung rumah sakit yang terdiri dari 5 lantai serta berbagai fasilitas lengkap nan mewah yang disediakan baik untuk pasien maupun untuk keluarga pasien, bisa kuterka rumah sakit ini cukup elit. Memperjelas bahwa keluarga Dokter Aradi pasti bukan keluarga sembarangan hingga bisa mendirikan rumah sakit semewah ini.Aku duduk di sebuah kursi panjang yang terletak tak jauh dari pohon apel hijau yang sedang berbuah. Sungguh indah dipandang mata, membuat suasana hati yang sempat buruk karena pertengkaran dengan Raefal tadi, seketika berubah membaik.Di kiri dan kanan, banyak pasien yang sedang duduk santai ditemani keluarganya. Banyak pula pasien anak-anak yang tetap ceria meski dari wajah pucat mereka bisa kutebak mer
Setelah dua malam dirawat di rumah sakit, kondisi Raffa dinyatakan pulih. Suhu tubuhnya sudah normal. Dia tidak mengeluhkan kepalanya pusing ataupun perutnya yang sakit. Aku lega tiada tara,Selama Raffa dirawat di rumah sakit, Raefal selalu datang. Tidak segan-segan menginap di ruang rawat Raffa demi menemani putranya. Dia juga tak membahas tentang hubunganku dan Aradi lagi. Tak meledak-ledak seperti diawal meski tetap saja dia bersikap ketus setiap kali Aradi datang untuk memeriksa kondisi Raffa.Setelah perbincangan panjang antara aku dan Aradi di taman, pria itu juga tak pernah membahasnya lagi. Aradi tampak tak main-main dengan ucapannya, memberiku ruang untuk berpikir tanpa mendesakku untuk membicarakan topik pernikahanku dengan Raefal yang di ujung tanduk. Aradi bersikap seolah pembicaraan itu tak pernah terjadi meski kentara dia memperlihatkan kepeduliannya secara terang-terangan padaku. Bahkan dia tak segan menunjukan perhatiannya padaku dan Raffa di depan Raefal sekalipun.
“OK, aku perhatiin. Cepetan bikinnya, jangan lama. Bentar lagi waktunya Raffa minum obat.”Dia memasang pose telapak tangannya sedang memberi hormat padaku, lagi-lagi membuatku memutar bola mata.Setelah itu, seolah menjadi chef cocok menjadi profesinya selain bisnisman, dia mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat bubur.Aku mengernyit bingung ketika melihatnya mengeluarkan wortel dan kentang. Lalu memotongnya menjadi kotak-kotak kecil.“Sayur itu buat apa?” tanyaku.“Buat dicampurin ke buburnya. Kita bikin bubur sayur buat Raffa. Ditambah ayam tentunya.”“Raffa gak boleh makan yang berminyak-minyak dulu kalau kamu berniat goreng ayamnya.”Dia menggeleng. “Nggak kok, siapa bilang aku mau goreng ayamnya?”Aku tak mengatakan apa pun lagi. Hanya diam memperhatikan ketika dia memasukan ayam potong yang sudah dia bersihkan ke dalam air. Oh, ternyata dia merebus ayam itu.Raefal begitu cekatan memasak. Sejak dulu aku senang memperhatikannya ketika sedang memasak, terlihat keren di mat
Sejak tragedi Raffa sakit dan dirawat di rumah sakit, aku mengizinkan Raefal kembali tinggal bersama kami, dengan catatan tak kuizinkan dia tidur bersamaku. Dia menempati kamar tamu dan terkadang kupergoki dia tidur bersama putranya.Mengingat statusku yang masih istri sahnya, aku tak melupakan kewajibanku sebagai seorang istri seperti menyiapkan pakaian kerja maupun makanannya, tapi untuk urusan lain aku tak sanggup melakukannya. Aku bersyukur karena Raefal tampaknya memahami kondisiku. Dia tak pernah menunjukan tanda-tanda berusaha menggoda atau memaksaku memenuhi kebutuhannya di atas ranjang.Walaupun dia masih terang-terangan mencoba meluluhkan hatiku dengan melakukan berbagai hal manis. Setiap hari dia mengirimkan bunga untukku, bunga yang berbeda tapi dengan makna yang sama yaitu tentang cinta sejati.Dia selalu pulang tepat waktu seperti dulu sebelum perselingkuhan ini terjadi. Pukul 5 sore, dia sudah ada di rumah. Terkadang membantuku memasak di dapur atau dia akan menemani Ra