Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.
“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.
“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.
“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”
“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.
“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”
Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Angin membiarkan mawarBergoyang pada tangkainyaDari ribuan mawar yang tumbuhTak semuanya memberikan kedamaian***Karangan bunga menutupi seluruh bagian depan rumah mewah keluarga De Luca yang luasnya lima hektar lebih, hanya di depannya saja. Semua bertuliskan ucapan duka cita dan bela sungkawa. Hari ini, kota San Angelo dan seisinya berduka. Mereka kehilangan sosok orang terkaya namun memiliki hati mulia. Fransiscus De Luca, pemilik kerajaan bisnis Maximo Corporation telah berpulang dengan tenang pada usia delapan puluh lima tahun. Ragam pelayat datang dan berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari yang hanya menggunakan pakaian lusuh dan bersandal jepit, sampai dengan mereka yang menggunakan pakaian sekelas Valentino dan Armani. Seorang perempuan berambut hitam, lebat, ikal dan panjang berjalan menyusuri lorong sepi di area barat perumahan. Usia memang baru dua puluh lima tahun, tapi aura kedewasaan jelas terpercik di waja
Lynea sedang mengalami hati yang berbunga. Ia membayangkan sejumlah harta akan diberikan padanya melalui warisan Fransiscus. Tidak hanya uang, namun bisa juga berupa mobil klasik maupun benda berharga lainnya. Ia hendak menuruni tangga saat terlihat Alonzo masih ada di belakangnya. Diputuskan untuk menunggu teman satu-satunya di Istana De Luca ini agar bisa turun bersama menuju ruang keluarga. “Tuan Enrico, sudah saatnya pembacaan warisan!” panggil Alonzo kemudian mengetuk-ngetuk pintu kamar sang majikan. Setelah lebih dari lima menit dan tiga puluh ketukan, keluarlah Enrico hanya dengan memakai selembar selimut untuk menutupi area vitalnya. Entah saking cueknya atau memang Tuan Muda itu tidak cukup pintar untuk menutupi seluruh bokongnya. Lynea dapat melihat sedikit bongkahan kekar diantara lipatan selimut Enrico. “Suruh saja Paman Romario naik ke kamarku! Biar dia bacakan di sini!” Enrico menolak untuk turun. “Maaf, Tuan.
Matahari semakin lelah untuk terus bertahan. Ia merunduk masuk ke dalam peraduan di balik bumi. Udara menjelang malam terasa semakin dingin, menusuk tulang Alonzo yang terdiam di depan gerbang Istana De Luca. Pikirannya hanya terletak pada keselamatan Lynea saja. "Panggilkan David! Suruh dia menemui aku di markas!" seru Alonzo pada penjaga gerbang sembari membalikkan badan. Ia hendak kembali menemui tuannya. "Bagaimana?” Enrico menunggu kembalinya Alonzo di depan pintu ruang keluarga. “Nona Lynea masih menolak, Tuan. Tapi sa—” “Bodoh! Kemana otakmu itu? Kenapa tidak kamu paksa dia kembali?” hardik Enrico memarahi pesuruhnya. “Apakah saya harus menggendongnya, Tuan? Saya rasa, tidak pantas bila saya menyentuh calon istri Anda,” jawab Alonzo menunduk tanpa berani menatap wajah tuannya. “Jangan sebut dia calon istriku! Aku masih jijik dengan kenyataan itu! Pokoknya bawa dia kembali! Atau k
Lynea hanya bisa menunduk dan terdiam ketika Tuan Muda De Luca itu mengancam akan mencelakai dia atau keluarganya, bila menolak untuk menikah dalam tiga bulan ke depan. Sesekali ia melirik kepada Alonzo yang juga hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa.“Mengapa Anda memaksa saya seperti ini, Tuan? Pernikahan bukan sesuatu untuk dipermainkan. Pernikahan itu suci dan seba—”“Diam! Aku tidak menyuruh kamu ceramah, Linen!” bentak Enrico memotong ucapan Lynea.“Lynea, bukan Linen!”“Kalau aku bilang Linen, ya Linen!” Kembali Enrico berteriak sampai matanya mendelik karena sangat emosi menghadapi Lynea.“Kita menikah dan memiliki anak hanya di atas kertas. Saat warisan cair aku akan memberikan sepuluh persen kepadamu.”Enrico terlihat santai saat berbicara memiliki anak hanya di atas kertas. Lynea terkesiap mendengarnya. Hati macam apa yang sedang ia hadapi?“
Suasana di kamar Enrico benar-benar kacau. Bila sebelum ini hanya suara erangan dan desah kenikmatan yang muncul, malam ini telah berganti dengan jerit tangis dan ketakutan. Alonzo sangat iba melihat Lynea diperlakukan kasar oleh Tuan Mudanya. Ia ingin melerai dan melarang Enrico agar tidak menyakiti wanita manis itu, tapi ia tidak ada kuasa sama sekali. Lynea menjerit sejadi-jadinya. Ia langsung berdiri dan berlindung di balik tubuh besar Alonzo. Namun, Enrico tidak peduli. Ia seperti hewan buas yang terus mengejar mangsa di depan mata. "Aku tidak mau!" jerit Lynea makin menangis dan ketakutan, “jangan tarik bajuku! Jangan perkosa aku!” Alonzo akhirnya memberanikan diri untuk melindungi Lynea. Ia sedikit menghalangi gerak Enrico dengan menyembunyikan separuh tubuh wanita itu di belakangnya. “Maaf, Tuan. Tapi Nona Lynea belum pernah memiliki kekasih sebelumnya,” sela Alonzo mencoba membuat tuannya berhenti dan memahami kondisi
Eddy Milano adalah seorang designer kenamaan yang dipilih Enrico untuk membuat pakaian pertunangan mereka. Nama besarnya sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Hanya orang berlimpah harta saja yang mampu membeli masterpiece darinya.Lynea selama ini hanya bisa membayangkan memakai salah satu gaun Eddy Milano untuk acara pernikahannya. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa ia akan berada di sini berbicara langsung dengan sang designer. Terlebih lagi, betapa kehadirannya di situ sangat dihormati. Semua tentu tidak lepas dari keberadaan Enrico De Luca bersamanya.“Lumayan,” jawab Enrico singkat, mengomentari tampilan Lynea.“Ah, kalau lumayan, maka aku tidak setuju! Ayo kita cari gaun yang lain saja kalau begitu!” sela Eddy Milano tampak kecewa.“Untuk seorang Enrico De Luca, kecantikan adalah kesempurnaan. Ayo, Sayangku! Mari kita cari gaun lain yang akan digandrungi tunanganmu!” ajak sang designer me
Jantung Enrico semakin kencang berdetak ketika ia melihat Lynea sudah tidak sadarkan diri. Tangan wanita itu terus mengucurkan tetesan darah akibat luka sobek. Perasaan marah semakin menguasai emosinya.“Kalau kalian tidak bisa mendapatkan orang tadi dalam waktu satu minggu ke depan, akan kubuang tubuh kalian ke danau di halaman belakang!” teriaknya mengancam.Alonzo dan David saling pandang dengan mimik ketakutan. Keduanya pun bingung bagaimana seseorang bisa ternyata sudah ada di dalam kamar mandi wanita menunggu kedatangan Lynea di sana.“Saya curiga ada mata-mata di antara anak buah, Tuan. Siapa saja yang tahu kalau Nona Lynea akan bersama Tuan mendatangi Bellevue siang ini?” tanya Alonzo menganalisa.“Mana aku tahu? Itu tugas kalian, bukan?” hardik sang Tuan Muda menggebrak kaca jendela saking marahnya, sampai kaca tersebut bergetar.Seketika suasana kembali menjadi hening. Baik