Enrico segera menutup laptop di atas meja. Tanpa dikomando Alonzo pun melanjutkan dengan membawa benda kotak itu dalam tentengan tangannya. Sementara Bryant, pura-pura ingin ke toilet. Pemuda itu melewati Lynea tanpa berani memandang wajah kakaknya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian semua berwajah aneh?” selidik Lynea curiga.
Ia memicingkan mata. Bergantian menatap Enrico dan Alonzo.
“Saya harus mengecek dulu kondisi restoran. Permisi, Nyonya,” pamit Alonzo buru-buru melangkahkan kaki keluar ruangan.
“Apa yang kalian tonton barusan?” selidik Lynea masih curiga.
“Bukan apa-apa. Hanya sebuah film lucu,” jawab Enrico. Sedetik kemudian, ia merasa jawabannya sangat bodoh.
“Oh ya? Apa judulnya?”
“Aku lupa!” tukas Enrico menekan tombol di kursi rodanya.
“Jadi, kamu sampai menghentikan sesi terapi di kolam arus hanya untuk menonton film lucu?” Lynea memposisikan diri di depan pintu sehingga Enrico tidak bisa keluar.
“Lyn, apa
Hai Best Readers! Thank You sudah setia mengikuti lika-liku perjalanan cinta Enrico dan Lynea. Kini media sosial Author sudah hadir dan bisa dikunjungi melalui INSTA : @rein_angg16 FBOOK : Rein Angg Mampir yuk untuk kenalan dengan para tokoh dalam cerita ini. Juga untuk kenalan dengan Author, he he he. Ditunggu Like, Komen, DM juga boleh untuk saran dan kritik. See You There!!! Love : Rein_Angg
Enrico bersama Alonzo menatap sebuah makam. Tertulis di nisan David Moretti terbaring dengan tenang bersama Tuhan. Napas Enrico terasa sesak. Ia terkenang momen kebersamaan dengan pengawal paling berani bernama David. Sesuai janjinya dulu. Apabila ia berhasil kembali berjalan dengan normal, maka tempat pertama yang akan ia datangi adalah makam David, sang bodyguard kebanggaannya. “Dia rela kehilangan nyawa demi aku,” lirih Enrico. Suaranya tergetar. Kenangan terakhir sebelum ia pingsan adalah bagaimana David tersungkur di sampingnya. Peluru yang ditembakkan Maddy untuknya justru bersarang di tubuh sang bodyguard. “Kamu masih terus mengirim uang untuk ibu dan adiknya?” tanya Enrico menahan isak. “Masih, Tuan. Sudah otomatis transfer dari bank.” Alonzo melepas kacamata dan menyeka bulir kesedihan. “Baguslah. Naikkan jumlahnya setiap satu tahun sekali.” “Baik, Tuan.” Keduanya kembali terdiam. Suara tawa David terngiang di telinga
Racauan dari Lynea membuat Enrico menggila. Ia tidak menyangka istrinya akan seliar ini di atas ranjang. Penampilan serta perilaku Lynea selama ini terlihat kalem, tenang, dan kadang pemalu. Siapa menduga ia bisa berteriak dan mendesah seperti sekarang.Enrico berhenti sejenak menikmati dada istrinya. Ia memeta wajah merona Lynea yang sedang terpejam dengan napas semakin memburu. Tubuh seakan bergerak dengan sendirinya menggelinjang tanpa bisa ia tahan dan kontrol.“Mmmh …,” desah Lynea tanpa jeda.Menyadari sang suami berhenti mencumbu, ia membuka mata dan mendapati wajah Enrico yang sedang terpana.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Lynea khawatir.Ia menjadi salah tingkah dan berusaha menutupi dada telanjangnya dengan selimut.“Yang salah adalah … aku telah menyia-nyiakan cintamu padaku selama ini,” jawab Enrico mengecup kening sang istri.“Maafkan aku, Lynea. Aku janji, mulai se
Pagi hari di kota Paris. Udara dingin merebas, menambah nikmat kehangatan yang tercipta dalam dekapan Enrico De Luca. Mata Lynea masih terpejam dengan damai, sementara sang suami sudah terbangun lebih dulu dan mengecek berbagai hal lewat ponselnya.Nama Alonzo muncul di layar yang bergetar.“Ya?” jawab Enrico.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Ada informasi tentang perusahaan di San Angelo. Maximo Corporation baru saja mengumumkan akan bekerja sama dengan San Angelo’s Wealth Future Corporation.” Alonzo menjelaskan situasi terkini.Enrico menghela napas kasar. Perlahan ia menarik tangan dari pundak Lynea. Meninggalkan tempat tidur lalu menuju balkon. Ia tidak ingin percakapan dengan Alonzo membangunkan istrinya.“Viery sudah mengumumkan secara resmi?” tanya Enrico. Ia berdiri di balkon hanya dengan memakai jubah tidur satin berlabel inisial hotel.“Internal perusahaan sudah mendapat pengumumannya, Tu
Rombongan Enrico sudah bersiap untuk menikmati keindahan kota Paris hari ini. Sebenarnya untuk Enrico dan Alonzo sendiri, kota Paris bukan lokasi yang asing. Sudah tidak terhitung berapa kali ia mengunjunginya. Selain itu, banyak foto model di sana yang merupakan teman kencan satu malam Tuan Muda De Luca, pada jaman dahulu kala.Mereka menaiki Menara Eiffel sampai tingkat paling tinggi dan menikmati pemandangan kota Paris tanpa terhalang apa pun.“Benar-benar indah pemandangan dari atas sini,” gumam Lynea tak berkedip.“Hmm, apakah menjadi lebih indah lagi karena menikmatinya bersamaku?” rayu Enrico memeluk Lynea dari belakang dan langsung mengecup pipi istrinya.Lynea menoleh hingga bibir mereka bertemu. Keduanya berciuman, seolah dunia hanya milik berdua.“Ayo, kita turun sekarang. Masih banyak tempat lain yang bisa kita datangi. Kalian para wanita tidak ingin berbelanja?” ajak Enrico menggandeng tangan Lynea m
“Tarik ucapanmu itu!” tegas Lynea. Rasa panas terasa mengaliri darah sampai di wajahnya.“Bisa saja benar, kan? Untuk apa aku tarik?” tolak Enrico.Keduanya sama-sama keras kepala. Sedikit banyak Lynea merasa kesal dan ingin membalas dengan membuat suaminya cemburu. Ia lupa, bahwa seorang Enrico De Luca bukanlah orang yang tepat untuk dibuat cemburu seperti ini. Bila ia tidak kemudian menyuruh anak buahnya menembak Gabriel saja sudah baik.“Kamu pikir aku semudah itu berpaling dari satu lelaki ke lelaki lain? Aku bukan kamu yang selalu memiliki mantan teman tidur di setiap negara dan kota!” balas Lynea sengit.“Lalu kenapa kamu masih berhubungan dengan Gabriel? Kalau kamu bukan perempuan murahan seperti itu, harusnya kamu tidak menerima teleponya, bukan?” ejek Enrico. Lelaki satu ini memang pintar sekali membuat emosi seseorang semakin naik ke ubun-ubun.“Seperti kamu juga seharusnya tidak mener
“Kamu akan baik-baik saja, Sayang,” ucap Enrico merengkuh jemari Lynea lalu menciumnya.“Aku merasa mual sekali, dunia rasanya berputar,” sahut Lynea lemas. Matanya sayu menatap.Mendengar ini, hati Enrico semakin tidak tenang. Ia tahu pihak rumah sakit sudah memasukkan obat-obatan dan tanda-tanda vital istrinya semua dalam keadaan normal. Akan tetapi, ia terus gelisah selama Lynea masih merasa sakit seperti ini.Suhu tubuh sudah kembali normal. Tidak sepanas saat di mobil tadi. Harusnya kondisi yang membaik ini dibarengi dengan kembalinya rasa nyaman. Ingin rasa hatinya mengobrak-abrik seisi ruangan UGD karena Lynea masih merasa tidak enak badanPintu ruangan terbuka, seorang dokter wanita yang masih muda belia memasuki ruangan dengan membawa selembar kertas di tangannya. Ia tersenyum dengan manis, menatap Lynea dan Enrico secara bergantian.“Ada apa kamu senyum-senyum? Istriku masih tidak enak badan! Aku robohkan rum
Lynea terdiam mendengar pertanyaan Gabriel. Sebuah kalimat yang ia akui sangat menohok di dalam batin. Selama ini memang sering terjadi perang batin melihat sikap Enrico kepada dunia. Namun, seiring berbagai keindahan yang telah ia jalani bersama suaminya, rasa cinta membutakan segala.“Lyn, maafkan aku. Bukannya aku mau membuatmu marah. Aku hanya merasa kamu tidak bersama orang yang tepat. Kamu begitu lembut, sementara dia begitu … begitu kasar.” Gabriel memajukan diri hingga duduk di pinggir ranjang.“Enrico begitu lembut padaku. Dia menyanjungku. Aku bahagia bersamanya,” sanggah Lynea memalingkan wajah.Tawa kecil terdengar. Sesaat tawa itu serasa mencibir pernyataan terakhirnya. Lynea melirik pada Gabriel dan kedua pandang mereka beradu.“Baiklah kalau kamu bahagia. Aku akan berusaha mempercayainya, Lyn.” Gabriel terus tersenyum.“Kamu juga bukan orang suci. Kamu bermain dengan Elena di belakangk
Tubuh terasa ringan ketika pandang kemudian menggelap. Lynea pingsan. Punggungnya melengkung ke depan sehingga kepala terantuk meja. Hampir saja ia merosot dari kursi bila Enrico tidak cepat menangkap tubuh lunglai sang istri.Bryant dan Jenna cepat menaiki panggung. Flash kamera wartawan semakin hebat memancarkan cahaya. Kondisi kacau di atas panggung tentu merupakan berita terpanas siap untuk disebarluaskan.“Bawa ke belakang panggung!” perintah Enrico pada Bryant.“Paman Roma, Alonzo! Lanjutkan konferensi pers!” Enrico mengikuti langkah adik iparnya ke belakang panggung.Bryant meletakkan Lynea di atas sofa panjang. Keringat terlihat membasahi wajah ayu yang sedang terlelap tak sadarkan diri.“Lyn? Lynea! Bangun!” Ia menepuk pelan pipi kakaknya.“Aku telepon Dokter Maria!” Enrico mengeluarkan ponsel. Wajahnya pucat karena panik. Berkali-kali keningnya dipijit.Jenna mengambil botol pa