Saat jam makan siang, Edzard mengajak Eve dan Rere makan siang di sebuah resto, salah satu cabang milik perusahaan Edzard. Ketiganya makan dengan tenang. Edzard bangkit dari duduk membuat kursi yang diduduki berderit. Kedua istrinya memandang ke arah Edzard. Lelaki itu tersenyum, menoleh ke arah Rere juga Evelyn secara bersamaan.
"Abang ke dalam dulu melihat pembukuan resto," ujar Edzard.
"Iya, Bang," jawab Rere,sedangkan Evelyn hanya mengangguk dan tersenyum.
Edzard melenggang pergi berjalan masuk ke dalam meninggalkan kedua istrinya. Hiruk-pikuk orang berlalu lalang membuat suasana semakin ramai. Rere menatap Evelyn dengan canggung, dia hendak mengutarakan isi hati namun kebingungan. Evelyn tidak se
Suasana terlihat sedikit memanas antara para wanita yang bercengkrama. Edzard meminit pelipis dengan kedua ujung jari. Rasanya sangat penat, lelah, mendengar ocehan ke empat wanita di sampingnya. Seperti tidak ada lelahnya jika mereka membahas sesuatu yang Edzard anggap tidak terlalu penting. Lelaki itu melirik ke arah jam di tangan, hampir menunjukkan pukul satu siang. Saat Edzard hampir berpamitan. Terdengar suara khas anak kecil. "Mama." Sekali lagi panggilan tersebut terdengar. Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara. Helen bangkir dari duduk dan berjalan mendekat. "Iya Sayang, Mama ada disini," ucap Helene. Edzard menatap ke arah kedua istrinya, dia mengangkat tangan kanan lalu mengarahkan jari telunjuk ke arah jam tangan yang dia pakai. Rere beserta Evelyn yang duduk berdampingan saling pandang, lalu mengangguk. Mereka bangkit secara bersamaan. "Ka
Edzard memeluk hangat tubuh dalam dekapannya, lelaki tersebut mengusap punggung Evelyn, mencoba menenangkan hati wanita tersebut yang penuh kecemasan. Edzard paham benar apa yang dirasakan sang istri, dia mencoba menyelami kegundahan Evelyn. Posisinya memang bukan hal yang menguntungkan kini. Mengingat dia tidak lagi bisa meninggalkan dua wanita dalam hidupnya, posisi Edzard yang serba salah. Yah, Edzard kini berada di posisi serba salah, melepas Rere bukan hal mudah. Mengingat gadis baik hati tersebut sudah memantapkan hati untuk bersamanya. Edzard yang lebih dahulu tergoda akan kemolekan Rere. Malam yang merubah segalanya, malam dimana Edzard secara sadar mengambil kesucian Rere. ‘Aku yang terlalu tergoda pada kenikmatan itu, sekarang aku yang bersalah, menyakiti dua wanita sekaligus,’ bisik Edzard. “Semua salahku Eve,” ucap Edzard. Bibirnya terasa kelu, hanya kata maaf yang berulang kali dia lontarkan. “Berhentilah me
Ketika sebuah hubungan yang telah dipertahankan. Tidak akan mungkin mampu bertahan jika pondasi dari keduanya tidak sama-sama dipupuk, saling menjaga dengan baik. Saat diri tersesat dalam kesedihan. Kemudian secuil kekosongan itu akan membuat jiwa lain masuk. Lalu jalan mana yang akan ditempuh sebagai tempat untuk kembali. Hati gundah gulana tidak bertepi, seolah takdir sedang mengajak bercanda. Kehidupan tak ubahnya sebuah garis yang telah terencana oleh sang pencipta. Maka sudah sepantasnya aku kembali kepada haribaannya, bukan. Dengan bersungguh-sungguh, disepertiga malam ini aku memohon kepada sang pencipta. “Ya Allah, Engkau yang mampu membolak-balik hati manusia. Ketika rasa itu terlanjur ada pada satu hati yang bercabang. Maka hancurkan saja salah satu rasa yang salah. Sebelum berkembang pesat dan tidak mampu melepas keduanya,” ungkapku kemudian meraupkan tangan ke arah wajah. “Amin, aamin ya rabbal alamin,” imbuhku kemudian.
Rere menghela napas panjang, aku melepas pelukan. Kemudian membalikkan tubuhnya. Tatapan begitu tenang, dia tersenyum manis, aku membalas senyum itu. Aku meraih segelas susu tadi, lalu berjalan ke dekat meja makan. Derik kursi terdengar nyaring ketika ditarik untuk duduk. Rere memperhatikanku dengan tatapan yang entahlah, tidak dapat digambarkan dengan kata. “Kemarilah!” perintahku menepuk-nepuk paha, dimana aku masih mengenakan sarung. Rere tersenyum, ah sebuah senyum yang sangat manis. Wanita muda tersebut duduk di pangkuan. Aku menyesap susu hangat di dalam gelas lalu menyisakan sebagian untuk Rere. Gadis itu kembali tersenyum, dia meraih gelas susu yang aku ulurkan dan meminumnya sedikit demi sedikit. “Tidak seperti itu juga, Bang,” kata Rere menjeda, “mau mendengar cerita saya?” tanya Rere. Aku memeluknya, “Katakanlah,” ujarku. Rere kemudian menceritakan dari
Dalam hidup terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tidak bisa menghakimi, semua mempunyai pilihan masing-masing, sebagai orang terdekat hanya bisa menasehati juga memberi saran. Selebihnya pilihan ada ditangan masing-masing. Masalah yang datang membuat seseorang menjadi lebih baik dalam bersikap. Usai pagi tadi menemui Kenzo, dimana ini demi seorang adik yang aku sayangi. Siang ini aku menemui calon suami Nayla, yaitu Akbar, aku mengajaknya bertemu di sebuah resto. Sejalan dengan apa yang terjadi, aku ingin berusaha meyakinkan, agar hubungan mereka baik-baik saja. Disinilah kami sekarang, duduk berdua menikmati santap siang, lebih tepatnya hanya aku. Akbar terlihat ogah-ogahan, hanya mengaduk-aduk nasi di dalam piring. “Makanlah, aku tidak akan mengobrol denganmu jika kau tidak habiskan makananmu!” perintahku.
Menjelang siang, Nayla mengganti pakaian yang lebih rapi, hari ini dia libur kuliah. Hati sedikit lega usai menceritakan sebagian masalah kepada Edzard. Sang kakak bahkan membantunya untuk berbicara dengan Akbar. Ada sedikit rasa was-was takut lelaki itu tidak mempercayainya, Nayla hanya meminta sedikit waktu kepada Akbar untuk menyelesaikan urusan dengan hatinya. Masa lalu yang membuat terbelenggu, Nayla ingin melepaskan segalanya. Tidak butuh waktu lama, gadis tersebut keluar dari kamar dengan cantik, mengenakan dress overal warna orange dipadukan dengan blazer warna biru cerah. Flat shoes yang dia kenakan sesuai dengan warna tas selempangnya. Kenzo menantinya dengan tidak sabar, dia tengah duduk di sofa ruang tamu. Kedua netra Nayla dan kenzo saling bertemu, mereka melempar senyum. Kenzo begitu terpesona wajah ayu Nayla. “Kita pergi sekarang!” ajak Kenzo. “Iya,” jawab Nayla. Mereka berjalan beriri
Perpisahan, suatu yang sangat menyakitkan ketika harus melepas, meninggalkan hal yang sangat berharga. Separuh hati yang pergi, meninggalkan segala rasa yang pernah singgah, tentu bukan hal mudah. Akan tetapi, ketika hati merasa lelah, melepas belahan jiwa adalah hal yang membuatnya bahagia, maka dengan berat hati memang harus melepasnya. senja dalam cinta, hanyut tenggelam ditelan kenyataan. Senyum itu melebur, melepas yang harus dilepaskan. Hati remuk redam menerima kenyataan, yang baru saja terjadi seolah semu, kebahagiaan yang terenggut sempurna, hilang seiring langkah mulai menjauh. Jalan yang ditempuh, bukan jalan menuju kenyataan manis, Akan tetapi, menapaki terjalnya jalan, sesuatu dari yang tidak dapat kita sentuh. Sakit, itu yang kini Kenzo rasakan, pelabuhan untuk tempatnya singgah sekejap. Kebahagiaan seujung kuku dia rasa. Terpaksa semua kembali pada luka tempat semua berasal. Bukan sebuah harapan hampa yang tidak bertepi, hanya rasa itu memang tidak sehar
Sore hari ketika Edzard baru saja menginjakkan kaki di pelataran rumah, terdengar suara riuh para wanita. Sang surya masih semangat bersinar meski sudah hampir memasuki waktu maghrib. Cahaya sang surya perkasa, menghujani langit yang kemudian berwarna kemerahan, sangat indah. Lukisan nyata dari sang kuasa. Edzard mendongak menikmati sejenak langit sore tersebut lalu dia tersenyum. Menatap ke arah pintu yang sedikit terbuka. Suara lantang Angel terdengar nyaring, diiringi tawa jenaka yang lain. Entah sejak kapan ke empat wanita tersebut menjadi akrab satu sama lain. Bahkan menurut pengakuan Rere, ada satu grup khusus di aplikasi FastaApp, aplikasi untuk berkirim pesan. Edzard membuka pintu rumah, gelak tawa semakin terdengar nyaring. Keempat wanita yang asyik mengobrol tersebut memandang ke arah Edzard, lelaki tampan tersebut mengerutkan kening melihat mereka kompak terdiam. “Kenapa diam?” tanya Edzard. Mereka buk