✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Kota Batu Saghra jauh lebih suram dari dugaanku. Semakin kami mendekat, langit semakin muram dan berangin. Mariam tetap memacu kudanya hingga masuk semakin dalam ke kota.
Seperti yang kalian tahu, kota ini tampak terbengkalai. Tidak hanya terkesan tak berpenghuni, tapi juga dipenuhi patung berbentuk manusia layaknya arca. Sebagian sudah rusak, kebanyakan kepalanya sudah hilang. Terasa mustahil jika kami dapat menyelamatkan mereka.
“Jangan jauh-jauh dariku, Kyara,” bisik Mariam. “Tempat ini bukan untuk bermain.”
Aku membalas, “Anak macam apa yang mengira ini taman bermain?”
“Ada banyak anak-anak ke sini karena penasaran, lihat apa yang terjadi.”
Beberapa hewan mulai dari jinak sampai yang buas berdatangan. Anehnya, mereka hanya menatap kami. Tidak ada reaksi lain. Begitu aku balas tatapan mereka, matanya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku. Seakan hendak menyuruh kami pergi.
“Kau tahu siapa mereka, Kyara?” bisik Mariam.
“Mereka yang ... Dikutuk?” tebakku.
Mariam mengiakan. “Kita akan menginap di rumah Ariya. Pura-puralah kalau kita ini pengelana yang tersesat.”
“Baik, Mariam.”
Para hewan kalang kabut saat kami menyebut namanya. Saat itulah sosok wanita muncul dan menyapa kami.
“Halo, semua!”
Jujur saja, kesan pertama saat aku melihat Ariya Wynter adalah dia gadis yang manis. Berkulit kuning langsat dan mulus. Rambut sebiru langit malam diikat ke bawah, selaras dengan matanya yang biru. Dia memakai pakaian serba biru tua dengan rok pendek disertai celana hingga menutupi seluruh kaki. Ditambah dengan topi lebar biru tua dilengkapi sebuah bintang di ujung topinya.
“Selamat siang 💙!” serunya dengan antusias. “Aku Ariya Ferrant Elzalis Wynter, putri dari Count Wynter. Aku penguasa daerah ini.”
Mariam membalas dengan dingin. “Ya, kami hanya pengelana yang tersesat. Bisa beritahu penginapan murah?”
“Wah, sayangnya tidak ada.” Ariya menggeleng. “Kalian, sebagai tamuku, kuizinkan tinggal di istanaku selama yang kalian mau 💙”
Terdengar seperti tawaran menggiurkan, bukan? Begitulah caranya menjebak korbannya. Dia akan menyeretmu secara perlahan, membuatmu seakan mengali kuburmu sendiri.
Mariam jelas berpura-pura ragu. “Bolehkah, Nona?”
Ariya mengangguk. “Boleh, dong 💙”
Ariya langsung menuntun kuda kami. Entah bagaimana kuda itu menjadi jinak dan mengikuti langkahnya ke istana. Mariam jelas menyadari kejanggalan itu, namun memilih diam agar terkesan seperti mangsa yang empuk.
Seperti dugaanku, istana Ariya sungguh megah. Warnanya biru pucat, selaras dengan pakaian pemiliknya. Ukurannya yang besar, bahan terbuat dari beton, beragam patung–atau mungkin para korban–menghiasi bagian luarnya. Sebagian patung sudah kehilangan anggota tubuh terutama kepala. Tak lupa, gerbang yang terbuka lebar menambah kesan seakan dia pemimpin yang sangat terbuka.
“Masuklah! Anggap saja rumah sendiri.”
Dalamnya saja sudah begitu luas, serba biru tentunya. Beberapa foto dipajang sepanjang jalan. Banyak sekali foto yang kutemukan. Yang paking heboh adalah foto keluarga. Ada banyak sekali anak di sana.
“Aku anak kedua dari tujuh bersaudara,” jelas Ariya. “Kini, Abi mengizinkanku hidup sendiri sebagai penguasa, aku bisa membangun negeri sendiri dan membanggakan orangtua! Rencananya aku bakal membuat negeri yang disegani juga cantik 💙”
Kalimatnya saja terkesan manis. Berbanding terbalik dengan tindakannya barusan.
Berbeda denganku, Mariam masih memasang wajah datar sementara aku terbuai dengan beragam keajaiban yang bertubi-tubi. Wajar saja, untuk pertama kalinya aku keluar rumah dan berkeliling istana.
“Oh, ya.” Ariya berpaling menatap kami. “Siapa nama kalian?”
Aku membuka mulut.
Mariam langsung memotong. “Aku Hiwaga dan dia Reem.”
Aku– yang kini jadi Reem–hanya diam menanggapi. Untung tidak menyebut nama asli.
“Hiwaga?” Ariya mengerutkan kening. “Um ...”
“Apa?” tanya Mariam.
Ariya memaksakan senyum. “Nama asing, ya. Kalian orang mana?”
“Dari Aibarab,” balas Mariam. “Aku cukup terkenal.”
Ariya menatapku. “Dia putrimu?”
“Bisa dibilang begitu.” Mariam menyentuh bahuku.
Ariya mengangguk. “Kalian mau menginap di mana?”
Ariya menunjuk sebuah lorong yang dipenuhi pintu. Cukup lucu karena pintu lain memiliki warna beragam yang bahkan tidak selaras dengan warna dinding. Hanya kamar Ariya–pintu kamar biru–satu-satunya yang selaras dengan warna lainnya. Mungkin kamar itu tempat tinggal para saudaranya agar tidak salah masuk.
“Aku pilih yang putih,” ujar Mariam. “Biarkan Reem bersamaku.”
Ariya tampak heran, dia sedikit menelengkan kepala. “Oke, Nona. Masuk saja. Kebetulan baru kubersihkan 💙”
Mariam berterima kasih dan langsung menarikku ke kamar berpintu putih. Letaknya paling ujung dan jelas akan menyulitkan Ariya jika dia hendak menyerang kami kelak.
Kamar kami, anehnya, serba biru muda di dalam. Terdapat kasur raksasa di depan kami. Ukurannya dua bahkan tiga kali lipat lebih luas dan empuk dibandingkan penginapan tadi.
Mariam membuang beberapa benda tajam seperti pisau, silet, gunting dan jarum ke jendela luar. Semua rupanya terselip di laci atau celah-celah kecil. Aku tidak paham kenapa harus dibuang, biasanya jin takut benda itu. Tunggu, Ariya bukan jin. Dia penyihir.
Aku berbaring dan merasakan sensasi nyaman menyelimuti. Mariam ikut berbaring di sisiku dan langsung mendengkur.
Begitu terpejam, aku tertidur pulas. Melupakan segalanya.
***
Ariya menjamu kami dengan beragam makanan yang tampak lezat. Aku teringat dengan peringatan dari Safir : jangan pernah menerima minuman berupa air berbau dan berwarna.
Terpaksa kami meminum air minum biasa. Ariya terus memperhatikan cara makan kami yang terkesan waspada.
“Jangan sungkan 💙” Ariya tersenyum. “Ada banyak makanan di sini.”
Mariam memaksakan senyum. “Tidak apa. Kami memang makan sedikit.”
Aku melihat Ariya terus memandang kami tanpa ekspresi. Aku seakan terikat dengan mata birunya yang indah. Tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Sementara waktu terus berjalan.
Mariam mencolekku.
Menyadari kesalahanku, tidak boleh menatapnya terlalu lama, aku kembali melanjutkan makan tanpa sekalipun menatap penyihir itu.
Beruntung tubuhku hanya sedikit kesemutan akibat ‘membeku’ sejenak.
***
“Kamu nyaris jadi batu,” bisik Mariam begitu kami masuk ke kamar.
“Maaf,” bisikku. “Aku terpesona dengan matanya. Indah sekali.”
“Begitulah semua orang.” Mariam memutar bola matanya yang juga biru. “Terpesona sampai lupa diri. Lalu menyesal setelah jadi batu.”
“Memangnya mereka masih bisa hidup setelah itu?” tanyaku. Jadi teringat dengan dongeng tentang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu.
“Rasanya seperti tidur panjang. Tapi jika terlalu lama, kamu bakal mati juga.”
Dia mengucapkannya dengan santai seakan itu hanya dongeng. Bicara soal dongeng, aku teringat jika Ariya juga menyukainya.
“Bagaimana kalau kita mendongeng untuk Ariya? Mengalihkan perhatiannya?” usulku, tentunya sambil berbisik.
“Bagaimana kalau kamu yang mendongeng untuknya?” balas Mariam. “Aku tidak tahu cerita anak-anak.”
Aku sedikit kecewa. Aku mengubah topik. “Ketika tengah malam nanti, kita bakal mengintip Ariya memasak?”
“Ya. Aku yang akan melakukannya. Kamu diam saja di sini.”
“Aku mau ikut!” Aku sedikit meninggikan suara. “Bukankah aku ... Terlibat?”
Mariam mengerutkan kening. “Baik, tapi jangan berisik!”
“Baik.”
Kami pun menunggu.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara.“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya.Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra.Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap.Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan.Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. “Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. “Kamu di sana saat itu?” tanyaku. “Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mere
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. “Bagaimana?” tanya temannya. “Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” “Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” “Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” “Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” “Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” “Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” “Terserah.” Perdebatan mereka berakhir di situ.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran