Share

Bab 2

Part 2

“Mbak, mulai nanti setelah sekolah, Mbak jaga Hasbi ya! Ibu mau bekerja ikut Juragan Ratno metik cengkeh. Nanti kalau sudah  dapat uang, langsung buat beli mukena,” kata Ibu saat kami sedang sarapan bersama.

“Ibu ....” Aku menatap ibu dengan perasaan sedih. “Ibu tahu ‘kan, aku tidak pernah meminta apapun? Aku tidak pernah mengeluh meskipun makan hanya sama daun singkong saja, aku tidak pernah mengeluh meski tidak pernah diberi uang saku saat sekolah, aku juga tidak pernah marah sama ibu, meski sering disuruh ibu jagain Hasbi kalau ibu ke sawah. Tapi soal mukena, aku benar-benar ingin punya mukena baru ....”

“Iya, makanya, jagain Hasbi, ya! Kalau dapat bayaran, langsung ibu belikan, nitip sama pedagang yang ke pasar, supaya tidak keluar ongkos. Kamu mau warna apa?” tanya ibu dengan suara yang lembut.

“Warna apa saja aku mau, ibu. Aku tidak perlu yang mahal. Yang penting mukena baru.”

***

“Uang kita sudah cukup buat beli dua mukena,” kata ibu sebelum kami tidur.

Aku yang sudah beberapa hari memilih tidak mengaji, tentu saja langsung tersenyum senang. “Benarkah, Bu?” tanyaku girang.

“Iya, benar! Nanti kamu ibu belikan yang agak bagus ya, Nis? Ibu beli yang murahan gak papa. Yang penting kamu bisa mengaji. Setelah ini, kamu jangan bolos sekolah dan ngaji ya!”

“Tentu saja, ibu! Aku tidak akan menyia-nyiakan barang yang ibu berikan untukku. Nanti aku akan menjaga mukenaku dengan baik supaya tidak cepat kotor. Ibu, jangan belikan yang warna putih ya! Biar kalau kena noda tidak kelihatan,” celotehku senang.

 “Iya. Dinis, ngaji sama sekolah yang benar, ya! Biar kelak kalau sudah besar, Dinis jadi orang sukses. Dapat suami yang sayang sama Dinis. Dan hidup Dinis tidak menderita seperti ibu,” kata ibu sambil mengulurkan tangan mengelus pucuk kepala.

Entah kenapa mendengar ibu berkata demikian, aku ingat bapak. “Bapak kenapa sudah berbulan-bulan tidak pulang, Bu? Teman-teman yang bapaknya ke Jakarta cerita, mereka dikirimi surat sama baju. Kok bapak tidak pernah seperti itu ya?” Terlontar sebuah pertanyaan polos.

Ibu terisak, tetapi cepat menghapus air matanya. Selalu seperti itu, ibu berusaha menyembunyikan kesedihan di hadapanku.

“Ibu, kalau bapak tidak pulang, apa aku dan Hasbi akan menjadi anak yatim?”

“Tidurlah, sudah malam! Besok habis subuh, ibu akan langsung ke rumah Bude Darmi buat nitip mukena. Soalnya bude berangkatnya pagi sekali.” Entah karena alasan apa, ibu selalu seperti itu, memutus pembicaraan jika aku membahas tentang bapak.

Malam itu, aku benar-benar tidak tidur. Kesedihan karena membahas bapak sirna sudah tatkala mengingat akan dibelikan mukena baru. Tiga hari bekerja menjadi pemetik cengkeh, ibu sudah dapat uang untuk beli mukena kami berdua. Tentu saja yang harganya murah. Akan tetapi, itu tidak masalah. Yang penting aku bisa memakai mukena sendiri tanpa harus menunggu bergantian sama ibu.

***

Lepas dzuhur, Bude Darmi datang ke rumah membawakan barang titipan ibu.

“Ini, Resmi, mukenanya sudah dibeli. Ini yang buat Dinis warnanya biru, katanya gak mau warna putih. Ini yang buat kamu warna putih. Ini aku ambil ongkos buat ganti uang bensin lima ribu.” Bude Darmi, kakak tertua ibu memberikan plastik hitam. “Kamu sih, tidak mau bekerja ke Jakarta. Jadi anakmu harus kasihan tidak bisa dibelikan barang-barang seperti anak lain. Kan sudah aku bilang, pergilah ke Jakarta. Hasbi sama Dinis biar sama aku di rumah. Kamu cukup kasih uang bulanan sama aku,” lanjut Bude Darmi.

Ibu hanya diam tidak menanggapi. Bude Darmi, meski kakak kandung ibu, selalu mengucapkan kata-kata yang sering membuat ibu sedih.

“Dulu kamu mau dimadu sama pegawai KUA, tidak mau. Coba kalau mau, istri pertamanya akan kalah dan kamu yang menang. Kamu memilih nikah sama Harno karena tampan. Buktinya apa? Kamu hanya makan hati,” kata Bude Darmi lagi.

“Mbak, terima kasih ya, sudah mau dititipin mukena. Aku harus masak. Dinis belum makan,” kata ibu sambil berlalu ke dalam.

“Kamu kalau sudah besar diatur orang tua mau ya, Dinis! Itu lihat ibu kamu! Nasibnya terlunta-lunta. Kamu ikut dibawa sengsara. Kalau dapat pegawai negeri seperti aku, kamu akan bahagia. Lihat itu Mbak Fariha, senang ‘kan hidupnya?” Bude darmi memang selalu membanggakan kemewahan Mbak Fariha, anak perempuan semata wayangnya yang sekarang duduk di bangku SMP.

Meski kami sepupu, Mbak Fariha tidak mau bila bermain denganku. Dia selalu membenciku dengan alasan yang aku tidak tahu. Jika dia punya barang bagus yang kekecilan, bukannya diberikan sama aku yang masih saudara, tetapi memilih temanku yang lain yang diberi.

Aku sudah terbiasa diperlakukan berbeda oleh orang sekitar. Aku sudah kebal. Yang penting sekarang, aku punya mukena baru.

Malam itu aku berangkat ke masjid paling awal. Teman-teman melihatku memakai mukena baru. Ada yang memuji, ada juga yang sinis. Sudah biasa terjadi di kalangan kami, akan ada semacam geng dan yang terlindas tentu saja anak orang yang tidak mampu.

Kegiatan mengaji berjalan lancar. Tidak ada huru hara. Mungkin akulah penyebab semua kegaduhan. Buktinya, malam ini berangkat awal, tidak ada pembahasan apapun.

Di sela-sela kami mengaji, terdengar suara gaduh dari warga sekitar. Kami hendak bangkit, tetapi dibentak ustadz disuruh melanjutkan.

Entah kenapa perasaanku tidak enak. Ingin rasanya cepat pulang ke rumah. Suara gaduh dan teriakan warga perlahan menjauh. Hatiku terasa cemas sekali.

“Dinis, ibu kamu diseret orang suruhan Juragan Ratno. Ayo kita menyusul.” Sambil terengah, bude Darmi datang menarik tanganku. Semua mata tertuju padaku termasuk Pak ustadz.

“Dinis masih mengaji,” cegah Pak Ustadz.

“Ini urusannya gawat, Pak Ustadz. Aku harus membawa Dinis,” kata Bude Darmi.

“Emangnya ada apa?” tanya Pak Ustadz.

“Resmi katanya mencuri uang.”

Lemas terasa seluruh persendian. Ibu mencuri? Ibu mencuri uang untuk apa? Apa untuk membeli mukena ini? Kalau ibu diseret, Hasbi bagaimana? Kalau ibu mencuri, apa ibu akan dibawa ke kantor polisi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status