Sebulan berlalu, setelah mengajak Niken bermain ke kolam renang, Raka benar-benar tidak pernah menghubungi aku lagi. Hati ini menjadi dilema. Satu sisi, tidak kupungkiri, bahwa sang mantan pacar, yang sudah berstatus duda itu, kian hari semakin menawan. Getar-getar cinta yang sempat padam, kini sudah kembali bergelora kembali. Akan tetapi, di sisi yang lain, aku masih takut untuk membangun kembali biduk rumah tangga. Aku takut peristiwa karamnya biduk rumah tanggaku dengan mas Rama, akan terulang kembali. Memang kami pernah saling mencintai, tapi itu 'kan dulu. Disaat kami berdua masih bau kencur, cinta monyet. Kalau sekarang, aku masih ragu, jika diri ini masih ada di hatinya. Saat ini aku serahkan semua kepada Tuhan sang Pemilik Kehidupan. Bila jodoh, pasti dia tidak akan lari kemana. Pun, sebaliknya. Sekuat apa pun usaha kami untuk bersatu, jika Tuhan tidak Berkehendak tidak akan terjadi pernikahan kami berdua. Lagian untuk saat ini aku lebih fokus ke karir dan juga m
"Om, minggu depan kita main kesini lagi, ya?" ajak Niken, polos. Lalu dia melirikku. "Papa gak pernah mengajak Niken jalan-jalan. Apa salahnya Niken ajak om Raka." Raka tersenyum mendengar celoteh anak semata wayang aku. "Minggu depan kita kemari lagi ya? Nanti kita mainkan semua permainan yang ada disini. Bagaimana?" Tanya Raka antusias. Lelaki itu terlihat sangat akrab dengan Niken, entah pribadinya yang sangat mudah dekat dengan anak-anak atau dia sedang mencari simpatiku. Kedua anak manusia beda generasi itu mengobrol begitu akrab. Sebenarnya tidak ada hal yang penting yang mereka bicarakan tetapi mereka sangat serius seperti sahabat akrab yang baru saja bertemu. "Ma, Minggu depan kita jalan-jalan sama om Raka ya?" Rengek Niken seraya menarik-narik ujung bajuku. Sebenarnya aku tidak suka melihat Niken terlalu dekat dengan Raka. Status janda yang aku sandang membuat diri ini harus berfikir seribu kali jika terlalu dekat dengan laki-laki manapun. Seperti ucapan bu Mur
Hari ini adalah hari ulang tahun Niken yang ke tujuh. Sudah lama dia merengek ingin dirayakan. Kebetulan aku juga ada sedikit rejeki, jadi apa salahnya menyenangi anak semata wayangku. Dari pagi sudah sibuk membuat persiapan ulang tahun. Beberapa tetangga sebelah rumah kuminta untuk membantu masak di rumah. Ibu hanya mengawasi saja karena semenjak bapak tidak ada, beliau sudah lemah dan banyak melamun. Beliau tidak lincah seperti dulu lagi. Menu ulang tahun seperti biasa, nasi tumpeng kuning lengkap dengan lauk pauk. Beberapa anak gadis sebelah rumah, aku mintai tolong untuk memasukkan aneka jajan ke dalam plastik, serta menata meja yang akan digunakan untuk acara potong kue. Kak Ayu sedang menghias ruangan. Kertas warna warni dihiasi dan di tempel di dinding. Berbagai macam ucapan selamat ulang tahun datang dari kerabat. Bang Imran bertugas memasang balon dan pernak pernik bagian atas ruangan. Acara akan dilaksanakan jam satu siang. Dengan dua badut yang aku sewakan unt
"Nes, aku mau bawa Niken." Tiba-tiba saja Mas Rama menginginkan Niken untuk tinggal bersamanya. Tentu saja permintaan mas Rama membuat hati ini bergejolak. Padahal selama ini dia tidak pernah menghiraukan anak kami."Kenapa kamu mau bawa Niken?" Protesku."Niken itu anakku, Nes. Jadi aku lebih berhak terhadap dia. Aku tidak mau anakku dirawat oleh orang yang tidak benar." Jawab mas Rama. "Maksud kamu apa? Tidak benar bagaimana? Jangan cari-cari masalah, deh!" Tidak ada angin dan tidak ada hujan mas Rama mengatakan aku tidak benar mengurus Niken. Kalau bukan mencari masalah apa juga namanya. Selama ini kami sudah bahagia walaupun hanya berdua. "Aku gak mencari-cari masalah. Kamu tahu kan? Aku paling tidak suka anak gadisku dekat dengan lelaki dewasa selain dengan ayah kandungnya sendiri. Apa kamu gak pernah nonton berita?" Kurasa mas Rama sakit hati karena Niken lebih memilih Raka dalam memberikan suapan pertama kue ulang tahun, dibandingkan dia yang jelas-jelas bapak kandungnya."B
Sampai di ambang pintu, seketika kaki ini tidak bisa melangkah. Ya Tuhan firasatku benar. Mereka memperlakukan anakku seperti seorang pembantu. Lebih tepatnya seorang budak. Niken dengan baju yang basah kuyup dan wajah lesu sedang menyeret kain lap basah di lantai. Seumur-umur anak itu belum pernah melakukan pekerjaan yang mereka suruh tersebut."Kerja yang benar. Kau lelet sekali, sama kayak ibumu." Hinaan demi hinaan terus saja mereka lakukan kepada gadis kecil berusia baru saja genap tujuh tahun itu.Tidak sanggup aku melihat putri semata wayang diperlakukan seperti itu. Betul-betul tidak manusiawi. Kak Ayu berdiri menatap sekitar ruangan. Begitu juga Raka, tanpa diberi aba-aba dia sudah masuk duluan dan mengambil Niken."Hentikan, Nak. Mengepel ruangan bukan tugas kamu. Biar mereka yang mengerjakannya." Raka hendak menggendong Niken."Begini rupanya akhlak seorang nenek kandung terhadap cucunya? Anda hebat bu Lastri." hardik aku dan juga ikutan masuk untuk menghampiri Niken yang
"Akan aku laporkan kalian semua, atas perbuatan penganiayaan terhadap anak di bawah umur." Ancam Agnes membuat hati ini meradang. Bagaimana tidak. Seorang wanita yang pernah menjadi wanita nomor satu di hati ini, tega mau menjebloskan aku dan ibuku ke penjara."Nes, jangan gegabah. Kamu tanya dulu sama Niken dari mana asal bekas lebam di tubuh dia. Bisa jadi 'kan dia jatuh dari kamar mandi. Kok malah menuduh Sinta sama ibu yang menganiaya dia?" Aku berusaha membela diri. Anak mana yang tega melihat orangtuanya yang sudah tua mendekam dalam penjara."Jadi kamu gak mengakui perbuatan ibu dan adikmu? Oke!! Biar pengadilan yang akan mengungkap siapa pelaku penganiayaan terhadap anakku. Ayo Raka. Kawani aku ke kantor polisi." Agnes begitu sombong sekarang mentang-mentang sudah mempunyai bodyguard.Ya lelaki yang selama ini diincar oleh Vita, ternyata lebih menyukai mantan istriku yang kampungan di bandingkan Vita wanita gaul dan selalu nampak modis. Tapi tidak apa-apa juga Raka menolak Vit
"Nes, tolong cabut laporan kamu." Pesan Mas Rama melalui pesan chat. Dan aku tidak membalas pesan itu.Ayah macam apa mas Rama? Anaknya disiksa dia diam saja.Setengah jam berlalu, akhirnya mas Rama menelpon aku."Nes, kenapa gak kamu balas pesan aku?" Tanyanya di seberang sana."Pesan apa?" Tanyaku pura-pura tidak tahu."Tolong cabut laporan kamu di kantor polisi. Kasian ibu dan Sinta malam ini mereka mendekam di penjara. Akibat laporan kamu. Gak nyangka kamu bisa setega itu." Bukannya sadar orang tuanya bersalah, malah aku yang dituduh tega menjebloskan ibu dan adiknya ke penjara. Manusia macam apalah si Rama itu."Oh jelas aku tega dong." Jawabku sekenanya. Enak saja main cabut laporan, sementara anakku masih trauma, entah bagaimana cara menyembuhkan traumanya itu."Gak nyangka kamu bisa sejahat itu terhadap keluargaku." Sekarang aku yang dituduh jahat, jadi ibu dan adiknya apa namanya? Manusia yang tidak pernah instropeksi diri."Hei kadal. Jahat mana adikmu yang sudah menganiaya
"Kenapa rupanya kalau aku janda hah? Masalah buat kamu? Apa status janda aku, merugikan kamu?" Mendengar hinaan yang keluar dari lelaki yang telah menjandakan aku, seketika emosi ini naik ke ubun-ubun. Aku tidak menyangka jika mulut mas Rama bisa selemes itu, kayak kotoran sapi. Dia yang dulu selalu menghargai wanita, sekarang malah sebaliknya."Nes, Mas lihat, emosi kamu semakin tidak terkendali. Kenapa bisa begitu, Dek?" Tanya mas Rama seraya menatap dengan tatapan penuh makna. Seakan aku ini wanita yang haus belaian sehingga akan tunduk dengan tatapan genitnya itu. Dasar lelaki buaya. Udah mempunyai istri banyak, masih saja kurang."Bukan urusanmu. Kau itu bukan siapa-siapa aku. Aku tidak butuh perhatianmu. Keluar kau dari rumah ini!" Hardik aku seraya menunjuk ke arah pintu yang terbuka dari tadi, memberi isyarat supaya lelaki yang tidak tahu malu itu pergi dari hadapanku."Sabar, Nes. Makanya menikahlah biar bisa terkontrol emosi. Sudah lama 'kan, kamu gak menyalurkan hasrat. Mas