Bagian 14. Tak Dianggap Serius “Jadi, kapan Andra ke sini, Nai?” tanya Abah saat kami baru saja menyelesaikan makan malam. Gerakan tanganku yang hendak membereskan piring-piring kotor terhenti. Mata Abah awas menatap, membuat aku sedikit salah tingkah. Aku berdehem sebelum akhirnya menjawab. “Kata Mas Andra pasti datang, Bah. Tapi belum tahu kapan.” Abah mendesah, sedangkan jemarinya mengetuk pelan meja makan yang terbuat dari kayu jati. Aku bisa menangkap kegelisahan dalam tindakannya itu. “Abah tidak suka membiarkan masalah berlarut-larut. Suruh dia datang secepatnya. Kalau dia tidak datang, kamu tahu harus bagaimana,” tukas Abah. Usai mengucapkan itu, Abah segera bangkit. Sosoknya yang masih tegap di usia 60 tahun menghilang dari pandangan mata. Sementara Umi, hanya diam melihat interaksiku dengan Abah. Aku seketika menjadi tak bersemangat. Kupinggirkan piring, lantas duduk lagi di kursi. “Memangnya Andra bilang apa, Nai?” Suara Umi lembut memecah keheningan. Kulirik sekilas
Ponsel itu sudah tak berdering lagi saat aku masuk ke kamar. Segera aku raih untuk mengeceknya. Tertera di sana 2 panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari Mas Andra. Mau apa dia menelepon? Kalau mau datang, harusnya ia tak perlu memberitahu dulu. Beberapa menit aku tunggu, kalau-kalau ia menelepon lagi. Namun, ponselku tak juga kunjung berdering lagi. Sedikit kesal, aku segera memencet nomornya. Dalam hitungan detik, panggilanku diangkat. “Halo, Nai. Kamu tadi ke mana? Mas telepon berkali-kali, kok kamu gak angkat?” sapa Mas Andra. “Mau apa menelepon?” Aku tak menggubris ucapannya sedikit pun. “Ehm, itu … kalau seminggu lagi aja Mas ke sana, gimana?” tanya Mas Andra ragu. Aku mendesah. Padahal semalam aku sudah menegaskan kalau dia harus secepatnya datang ke sini. Kalau tidak, akan lain lagi ceritanya. Mas Andra ternyata tak menganggap ucapanku dan Abah serius. Mungkin ia pikir aku hanya sekadar menggertak saja. “Apa lagi alasanmu sekarang, Mas?” tanyaku geram. “Kamu jan
“Hati-hati, Nai. Jangan ngelamun,” tegur Abah saat aku hampir menerobos lampu merah. “Ah, maaf, Bah.” Aku terhenyak. “Berhenti di depan sana. Biar Abah yang nyetir, tangan kamu gemetar.” Akhirnya mau tak mau aku menuruti perintah Abah. Di umurnya yang sudah lanjut, Abah masih sangat tenang dan fokus saat menyetir. Aku menyandarkan badan pada bangku mobil. Semakin dekat jarak ke rumah, semakin tak karuan pula debaran jantungku. Sepuluh menit kemudian, mobil sudah terparkir di depan rumah. Kutemui pintu pagar dalam keadaan tertutup. Halaman dipenuhi dengan sampah daun, tentu saja sejak aku pergi tak pernah disapu. Lantai teras penuh dengan debu. Bahkan, gorden jendela pun belum ada yang dibuka. Aku hanya bisa menggeleng saat melihat kondisi rumah yang seperti tak berpenghuni. Tanpa ragu aku membuka pintu dan mengucap salam. Bau pengap menyeruak, membuat hidungku mengkerut. “Naira!” sahut Mama. Matanya melebar melihatku. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut dan juga marah. “Wah,
Bagaimana aku tidak mual melihat apa yang terhidang di bawah tudung saji? Sepiring makanan yang sudah membusuk sampai-sampai banyak belatung di atasnya. Bahkan, hewan-hewan kecil itu sampai berjatuhan di atas meja.Tak tahan, aku berlari untuk membuka pintu belakang, lalu meludah berulang kali. Mataku sampai berair menahan rasa ingin muntah. Ya Allah, benar-benar Mama dan Mas Andra tidak bisa diandalkan untuk menjaga rumah tetap bersih. Padahal aku baru pergi beberapa hari saja. Selama ini mereka sudah sepenuhnya bergantung padaku untuk menjaga rumah ini tetap layak dihuni. Belum sempat aku menutup pintu, Mas Andra masuk ke dapur dan memanggil. “Nai, ayo ke depan!” ajaknya dengan wajah gugup. Aku melemparkan sorot mata tajam ke arahnya. Mas Andra tampak kebingungan saat aku tak menjawab. “Nai, kamu kenapa?” tanyanya. “Coba kamu buka dan lihat apa yang ada di bawah tudung saji itu, Mas!” perintahku. “Emangnya ada apa?” Ia malah balik bertanya. “Lihat sendiri!” Suaraku meninggi sak
“Ndra, apa-apaan sih mertua sama istri kamu? Kok nuduh sembarangan gitu? Heh, kamu jangan diam aja!” bentak Mama pada Mas Andra yang terus-terusan menunduk.Sebenarnya ada sedikit rasa tak tega pada Mama. Beliau memiliki riwayat penyakit darah tinggi. Aku khawatir penyakitnya itu akan kumat kalau mengetahui kebenarannya.“Maaf, Ma. Tapi yang Abah bilang barusan memang benar. Alasan aku keluar dari rumah, karena Mas Andra sudah bermain gila!” ucapku tenang, lalu mengusap wajah.“Ber-bermain gila? Astaga? Kamu jangan nuduh yang macam-macam ya, Nai! B ukannya malah kamu yang sudah selingkuh di belakang Andra?” Mama mulai naik pitam.Aku menghembuskan napas berat. Bagaimana menjelaskannya pada Mama? sementara Mas Andra hanya diam saja.“Jelaskan sama mamamu, Andra!” titah Abah.“Se-semua itu salah paham, Bah. Naira salah paham. Saya tidak pernah bermain gila, Bah!” elak Mas Andra.“Tuh, betul kan, mana mungkin Andra bermain gila! Kalau nuduh kira-kira, dong!” dukung Mama.Aku menggeram. M
“Ma-maaf, Bah!” Hanya itu yang bisa Mas Andra ucapkan.“Saya menikahkan Naira bukan untuk disakiti, tapi untuk dibahagiakan! Kalau kamu sudah tidak bisa lagi membahagiakannya, kembalikan dia ke orang tuanya baik-baik!”“Sekali lagi maaf, Bah! Maafin saya!”Bahu Mas Andra berguncang, jemari menyeka mata berulang kali. Apa dia menangis? Ah, mustahil.“Sekarang, keputusan saya serahkan pada Naira. Terserah dia mau bagaimana. Nai, Abah tunggu kamu di mobil. Selesaikan secepatnya!” titah Abah sembari berdiri. Sesaat kemudian ia berlalu menuju ke mobil yang terparkir di depan.“Bah, sekali lagi saya minta maaf, Bah!” teriak Mas Andra. Abah tak menggubris sama sekali. Lelaki yang aku sayangi sepenuh jiwa dan raga itu terus berjalan menjauh.Sekarang hanya aku dan Mas Andra. Dia menatapku dengan mata yang basah.“Kamu nangis, Mas? Apa yang kamu tangisi?” sindirku.“Mas benar-benar minta maaf, Nai! Mas benar-benar sudah khilaf. Mas gak cinta sama sekali dengan perempuan-perempuan itu, Nai! Dal
Aku bisa melihat mimik wajah Mama dan Mas Andra berubah. Mereka pasti tak menyangka aku akan sampai setega ini. Namun, untuk sebuah hadiah pahit bernama pengkhianatan, hal ini cukup setimpal.“Dasar angkuh kamu Naira! Mama doakan kamu sial sampai 40 hari ke depan! Biar tau rasa kamu! Ingat, ucapan orang yang teraniaya itu didengar sama Tuhan!” ancamnya, kehabisan akal.Jantungku berdebar kencang mendengar ucapan Mama barusan. Ada gejolak besar yang mendorongku untuk membalas dengan ucapan yang tak kalah buruknya. Namun, aku masih menahan diri.“Hati-hati dengan ucapan, Ma. Salah-salah bisa berbalik ke Mama sendiri! Kalau sudah tak ada lagi yang penting, aku permisi! Assalamu’alaikum!”Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang itu, aku melangkah cepat. Abah sudah terlalu lama menunggu di mobil. Meski urusan masih jauh dari kata tuntas, tapi aku sudah bisa bernapas sedikit lebih lega. Sekarang saatnya pulang dan membelikan es krim pesanan Fadil.*“Bagaimana tadi, Nai?” tanya Umi lembut.
(PoV Andra)Aku terduduk lemas setelah kepergian Naira dan Abah. Benar-benar tak menyangka kalau mereka akan datang ke sini. Tadinya aku pikir Naira hanya menggertak saja. ternyata ia benar-benar ke sini, dan lagi bersama dengan bapak mertua. Padahal aku sudah senang, mengira ia benar-benar pulang.“Ndra, apa benar yang dibilang Naira? Kamu selingkuh, Ndra?” tanya Mama. Suaranya bergetar dengan wajah tampak emosi.Aku tak menjawab. Ada sedikit rasa malu di dalam hati. Sudah ketahuan begini, aku harus bagaimana?“Andra! Kalau ditanya itu jawab!” bentak Mama dengan mata melotot.Aku menghela napas kesal. “Andra Cuma main-main aja sama perempuan-perempuan itu, Ma!” jawabku sebal.Mata Mama menyipit, menatap tajam ke arahku. Ah, drama lagi, drama lagi. apa belum cukup aibku dibuka habis-habisan hari ini?“Main-main katamu? Kamu sampai bohongin Mama soal penyakit itu? Kamu sampai kena penyakit kelamin? Ya ampun, Andra! Malu-maluin banget kamu!” omel Mama lagi.Kupingku terasa panas mendeng