(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke
Kembali aku periksa dengan teliti. Setiap folder yang berisi beragam aplikasi, aku buka satu per satu. Ternyata memang, Mas Andra memiliki nomor WA lain khusus di tabletnya.Di antara percakapan yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja chat dari banyak perempuan ada di sana. Salah satunya yang paling mencuri perhatian adalah dari Chelly. Beberapa bukti transfer uang antar bank pun tertera dengan jelas. Jantungku bagaikan di remas kuat melihat setiap nominal yang dikirimkan Mas Andra untuk perempuan itu.Setiap bulan Mas Andra mengirimkan 4 sampai 5 juta ke rekeningku dan entah berapa juta ke rekening Mama. Itu pun, terkadang Mama masih merongrong dan mengaturku agar tidak boros. Berbagai macam petuah harus aku patuhi. Jika tidak, maka omelan pedas dari mulutnya akan meluncur bebas. Namun, untuk perempuan itu Mas Andra dengan entengnya mengirimkan 2 sampai 5 juta hanya untuk kenikmatan sesaat yang terlaknat. Belum lagi membayar perempuan-perempuan lainnya. Apa yang akan dikatakan Ma
Jadi itu yang membuat Mama marah? Ah, andai Mama tahu apa alasannya aku begitu. Namun, belum saatnya untuk memberitahu Mama sekarang. biarlah nanti akan aku ungkap di saat yang tepat saja. Saat ini Mama hanya termakan dengan asumsinya sendiri.Orang tua di mana pun pasti akan membela anaknya. Aku sangat paham akan hal itu. Apalagi Mas Andra adalah anak tunggal Mama. Pastilah ia akan dibela sedemikian rupa, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Harus bagaimana aku menjawab Mama sekarang? Aku mengusap pelan pelipis yang sedikit berkedut. Kepalaku agak pusing, mungkin karena pengaruh menangis tadi.“Maaf, Ma. Naira gak ada maksud seperti itu. Naira masih melayani dan merawat Mas Andra dengan sebaiknya, kok,” jawabku pelan, menekan emosi yang membuncah.“Merawat dan melayani sebaiknya, katamu? Cih! Kamu pikir Mama percaya? Mama lihat sendiri bagaimana kamu acuh tak acuh sama Andra. Apalagi semenjak kalian pulang dari rumah sakit! Jangan-jangan tahu suami sakit, kamu mulai mau membangkang!”
Entah sudah berapa jam aku tertidur di kamar Fadil. Sampai jam 11 tadi, Mas Andra belum juga pulang. Saat makan malam, Mama terus-terusan menunjukkan wajah sinis ke arahku. Kalau bukan menyabarkan diri, mungkin aku tak perlu masak untuknya. Namun, aku masih menahan diri untuk tidak memancing keributan karena ada Fadil yang melihat.Telingaku menangkap suara samar dari luar, entah dari mana asalnya. Perlahan aku bangkit, lalu keluar dari kamar. Suara itu makin jelas terdengar. Kukira berasal dari kamarku dan Mas Andra. Siapa di dalam sana? Apa Mas Andra sudah pulang? Atau Mama? Kulirik sekilas jam yang menunjukkan pukul 4 pagi.Sedikit berjingkat aku mendekati ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Terlihat Mas Andra berjalan mondar-mandir di dalam sana. Sesekali ia mengacak rambut, dan berdecak kesal. Kapan ia pulang? Mungkinkah Mama yang membukakan pintu?Terlihat Mas Andra membuka pintu lemari pakaian. Tangannya dengan cekatan mengangkat tumpukan-tumpukan baju. Laci-laci pun diperik
“Jangan main-main, Naira! Kembalikan tas itu, sekarang juga!” bentak Mas Andra tepat di depan wajahku.“Begitu caramu meminta baik-baik, Mas? Begitu? Kamu pikir aku akan sudi mengembalikan benda itu? Jangan harap!” Aku mendorong dadanya kuat.Badan Mas Andra hampir terjengkang. Ada kilatan aneh di matanya yang berubah menjadi beku. Aku merasa sangat ketakutan dan terancam sekarang. Ya Tuhan, tolong aku!“Sejak kapan kamu berubah menjadi melawan, Naira? Kualat kamu! Cepat kembalikan tasnya! Kalau tidak—“ Ucapan Mas Andra terpotong.“Kalau tidak, apa, Mas?” tantangku.“Jangan sampai aku harus berbuat kasar, Naira!” Dadanya kembang kempis. Bukan, ini bukanlah sosok Mas Andra yang aku kenal.Mas Andra yang dulu dengan romantis melamarku di pinggir pantai dan selalu bertutur kata baik, tidak pernah mengancam seperti itu. Siapa kamu? Siapa? Badanku mulai gemetar.“Tak akan pernah aku kembalikan! Barang-barang dalam tas itu akan menjadi bukti kuat dari kebusukanmu selama ini!” teriakku tegas
Abah sudah pulang dari mesjid, sedang bermain dengan Fadil seperti biasa saja. Fadil yang sudah rindu dengan kakung dan utinya, tampak ceria dan gembira. Sekali-kali Abah melirik ke arahku. Sementara aku, diam sambil terus menyiapkan sarapan di meja makan.Perasaanku mulai tak karuan. Dalam kepala sedang menyusun kalimat-kalimat yang harus aku sampaikan pada Umi dan Abah nanti. Aku tahu, hal ini tak akan mudah. Lima belas menit kemudian, sajian sudah siap di meja. Aku segera memanggil Abah dan Fadil untuk bergabung makan bersama.“Makan dulu, Bah. Fadil juga, yuk!” ajakku, ketika semua makanan sudah siap di atas meja.Soto ayam kampung kesukaan Abah sudah tersaji. Wajah Abah tampak berseri memandangi meja makan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memasak untuk Umi dan Abah. Ah, aku benar-benar rindu suasana seperti ini.Tanpa basa-basi, kami segera menikmati hidangan. Sesekali Abah memuji cita rasa masakan. Tentu saja aku merasa senang. Setelah dua mangkok soto tandas, akhirnya
(PoV Andra)Sial, benar-benar sial. Bagaimana mungkin Naira sampai bisa menemukan tas itu? Bukankan aku sudah menyimpannya sedemikian rupa? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tas itu berisi benda-benda “penting” yang selama ini aku kumpulkan dan simpan sedemikian rupa.Ah, belum lagi tablet yang isinya bermacam-macam. Semoga saja Naira tidak bisa mengutak-atik benda keramat itu. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding setengah mati.Saat ini aku terkunci di dalam kamar. Entah kapan Naira merencanakan semuanya. Jangan-jangan saat aku pergi? Pantas saja dia cuek dan tidak menghubungi sama sekali. Dia benar-benar sudah berubah.Aku sungguh kalah cepat dengannya. Tanganku terus-terusan memutar handel pintu, berharap Naira akan membukakan kuncinya. Andai saja jendela tidak dipasangi teralis, sudah pasti aku sudah keluar lewat sana.“Nai! Naira! Buka pintunya, Nai! Tolonglah, Nai!” teriakku sekuat tenaga. Tak ada jawaban sama sekali. Hanya terdengar suara teriakan mama dan samar sahu
Aku mulai mencari-cari sendiri wanita untuk diajak kencan melalui aplikasi tanpa bantuan Robi. Jika di luaran aku bisa melakukan hal-hal liar dan menggairahkan, maka saat pulang aku bertemu dengan Naira yang teduh dan menenangkan. Rasa bersalah itu, perlahan-lahan hilang. Semuanya akan baik-baik saja selama Naira tak tahu.Empat bulan yang lalu, aku akhirnya ditugaskan untuk menyelesaikan proyek di luar pulau. Ada rasa sedih dan senang sekaligus saat itu. Sedih karena harus meninggalkan Naira, Fadil, dan Mama tapi senang karena aku mendapatkan kebebasan untuk bersenang-senang.Tingkahku menjadi semakin liar saja. Tak ada yang mengawasi atau pun mengingatkan masalah dosa. Aku bahkan memiliki seorang wanita yang selalu bersedia dikencani kapanpun aku mau. Meski bayarannya sedikit mahal, aku puas karena ia sungguh luar biasa.Tak ada rasa cinta ataupun tanggung jawab, hanya transaksi kenikmatan semata yang kami jalani. Rasa sepi karena berjauhan dengan keluarga, sedikit terobati dengan k