Kesialan Dinara nampaknya belum berhenti. Kali ini netranya kembali bertabrakan dengan tatapan elang yang membeku. Belum sempat Dinara menjauhkan diri dari sana, suara Kalista yang menggelegar kembali terdengar dan kali ini membuat Dinara kembali kehabisan kesabaran. "Kayanya lo emang sengaja cari perkara sama gue supaya dinotice crush?" Dinara membeku di tempat. Dihadapannya ada Sandi yang berdiri kaku balas menatapnya. Sementara dibelakang tubuhnya ada Kalista yang entah sejak kapan sudah berdiri disana menyusulnya."Astaga Dinara! Gue gak pernah nyangka bahwa kita bakal terlibat dalam satu frame. Tapi berhubung lo udah mengacaukan kesenangan gue, should we make it even better?" Semua manusia disana serentak menahan nafas. Mereka tahu bagaimana kasarnya Kalista kalau sudah dalam mode merundung orang. Tapi mereka juga tahu bahwa Dinara bukan gadis sembarangan. Tidak sabar akan kejadian mengejutkan macam apa selanjutnya. "Soal cinta bertepuk sebelah tangan yang lo alamin karena Sa
"Cewek gue katanya bos!" pekik seseorang yang makin menyulut riuh sorakan yang lainnya. Bagaimana tidak? tiga orang populer mendadak terlibat dalam satu frame dan menghasilkan sebuah pertunjukan besar.Sandi si incaran para kaum hawa tak pernah sekalipun terdengar se-emosi itu di depan umum. Tapi kini dengan netra memerah dia mencengkram lengan salah satu penggemar fanatiknya di depan umum. Apalagi disaat bersamaan tangan sebelahnya juga merengkuh lembut gadis lainnya. "S-Sandi, sakit!" Kalista mendadak terdengar ciut. Padahal sedari tadi suaranya adalah yang paling menggelegar disini. Dia mungkin berusaha menampakkan citra sok lemah di depan laki- laki incarannya.Netra nyalang Sandi tidak padam sama sekali. Dengan sebuah dengusan ia memandang Kalista remeh."Lo kok lebih belain cewek aneh ini daripada sahabat lo sendiri?" tanya Kalista dengan sok sedih.Semua tahu bagaimana Sandi Arsena selalu ramah dan berteman dengan siapapun. Teman Sandi memang dari berbagai kalangan, termasuk K
Dinara mengabaikan beberapa pesan yang masuk hampir bersamaan di ponselnya. Dia bahkan mendadak masuk kedalam grup baru besutan Kiran. Seperti yang dia duga, kejadian tadi sudah pasti sukses membuatnya jadi bahan perbincangan teman- teman satu almamaternya. Setidaknya Dinara bersyukur sudah lulus, dia tidak perlu menghadapi semua orang itu lagi setiap hari. Kiran, Viviane, Julie, dan Kanaya masih memborbardirnya dengan ribuan pertanyaan. Gadis itu pada akhirnya memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Mengarahkan pandangannya ke kiri, menyaksikan pepohonan dan jalanan malam yang berada disekitarnya. Denting ponsel disebelahnya juga tidak kunjung berhenti, sudah pasti lelaki itu mengalami hal yang sama dengannya. "Kita gak bisa pura-pura saling gak kenal lagi, kan?' Dinara menoleh saat Sandi akhirnya buka suara dengan nada sindiran. Satu tangan lelaki itu sibuk menekan tombol power guna menonaktifkan ponselnya sebelum melemparkannya kembali ke tempat semula. Dari reaksinya, Dinara yak
Dinara tidak kaget saat menemukan Sean bersama Dikta bermain game di ruang keluarga. Kemarin Dikta memang mengatakan akan bersama Sean seharian karena orang tua bocah itu sedang pergi ke Bandung untuk beberapa urusan keluaarga. Satu-satunya yang membuat Dinara jengkel adalah keberadaan Sandi Arsena yang notabene merupakan kakak Sean. Pikirnya hanya Sean yang akan berada disini, namun mengapa Sandi juga ikut duduk bersandar disana juga? Tiga laki- laki itu sepertinya benar- benar menikmati hari minggu pagi yang menyenangkan. Rebahan santai namun mulutnya aktif—entah makan ataupun melafalkan nama-nama binatang. Satunya tiduran di sofa, ada yang di lantai, dan ada juga yang bersandar di dekat sofa. "Kak Naraaa! Ikut main game gak?" sapa Sean dengan senyum cerah. Bocah laki-laki itu menyapanya dengan manis. Sejak awal bertemu, Sean sudah menunjukkan keramahan yang luar biasa—sepertinya satu keluarganya pun begitu. Ditambah lagi, Tante Sandra mengatakan bahwa Sean memang kerap mere
Tidak ada waktu untuk tenang di hari minggu yang cerah ini. Bukan karena pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, melainkan karena tiga anak laki-laki yang tadinya sibuk bermain playstation itu seperti tidak kehabisan energi sama sekali. Beberapa waktu yang lalu mereka mulai bermain UNO lalu bergeser pada permainan kartu lainnya. Permainan apapun itu, hebohnya tetap sama. Saling tertawa dan bicara dengan suara keras nan lantang yang menggema. Untung saja ada cukup jarak antar rumah di kompleks ini sehingga Dinara tidak perlu khawatir mendapatkan omelan dari tetangga manapun. Ditambah lagi, jarak dari ruang keluarga dengan halaman depan rumahnya pun tidak terlalu dekat sehingga orang lewat pun tidak akan mendengar kegaduhan disini. Sayangnya Dinara bukan orang luar. Dia harus bertahan dan terpaksa menikmati seluruh kegaduhan tidak biasa ini secara dekat nan lekat. Pasalnya, Dikta sekarang sudah bergabung dalam klan super ribut milik Sandi dan Sean. Dia tidak tahu sejak kapan adiknya
Dinara bersenandung kecil, bibirnya menggumamkan lirik puitis sebuah lagu yang sempat dia dengar di radio—entah apa judulnya. Angin menerpa rambut panjangnya yang tergerai hingga melambai halus. Kardigan panjang berwarna nude yang dia kenakan menutupi kaos crop dan celana pendeknya. Seperti gadis kecil, netranya berbinar ketika menemukan beberapa cangkang kerang yang sudah kosong. Sandi yang berjalan dibelakangnya sampai bingung sendiri ketika Dinara tiba- tiba berjongkok dan menampakkan sebuah senyuman indah karena temuannya. Padahal tadi Dinara lah yang ragu- ragu beranjak dari duduknya, tapi kini dia justru terlihat sangat antusias. Dari responnya, Sandi tahu dia tidak salah memilih tempat ini sebagai lokasi rekreasi singkat mereka. Pergerakan gadis itu benar- benar halus sehingga Sandi bahkan sampai tidak sadar terus mengarahkan mirorless miliknya kearah Dinara. Gadis yang terlalu sibuk bergelung dalam dunianya sendiri itu bahkan tidak menyadari ada bidikan dari beberapa sudut
"Lo ngutang penjelasan banyak banget, Din!"Dinara baru saja melilitkan handuk di rambut basahnya saat Kiran muncul di depan pintu kamar mandi. Selain Kiran, tiga lainnya juga menjajah kamar Dinara. Ada Viviane yang tengah duduk di meja rias. Julie rebahan di tempat tidur. Sementara Kanaya duduk di lantai sibuk dengan setoples nastar buatan Dinara. Kamar yang biasanya tenang temaram kini dalam hitungan menit berubah bak markas yang habis digunakan sebagai arena perang.Empat orang wanita itu menyambangi kediamannya bertepatan saat Dinara baru saja kembali dari pantai bersama dengan Sandi dan adik-adiknya. Itu pukul delapan malam dan pertemuan tidak diduga itu benar-benar mengagetkannya. Dinara merasa seperti diciduk satpol karena empat pasang mata itu menuntutnya dengan tatapan minta penjelasan."Kita udah nelpon dan chat lo berkali-kali tapi hp lo gak aktif!"Petikan kalimat protes yang disuarakan Kiran menyadarkan Dinara. Saking nyamannya tanpa ponsel, dia bahkan belum menyalakan po
"Kangen banget ya sampai minta ketemuan sama gue?"Sandi menaik turunkan alisnya dengan senyum miring menggoda. Dinara yang baru saja sampai di depan rumah Sandi masih mempertahankan raut masamnya. "Hapus foto gue!" Titahnya.Alis Sandi kembali mengenyit naik sebelah. Melihat Dinara yang datang dengan kaos rumahan, rambut setengah basah dan sandal super lucu membuat Sandi menyadari betapa seriusnya gadis itu. Dia langsung datang hanya dalam beberapa menit setelah foto candid di pantai tadi Sandi unggah di instagram pribadinya. Meskipun Dinara memandangnya galak, tak sedikitpun Sandi gentar. Dia malah dengan santai membuka gerbang lebih lebar. "Masuk dulu, yuk! Dingin banget diluar, apalagi lo cuma pakai kaos tipis," ujarnya tenang. Dinara merasa Sandi benar- benar meremehkan kemarahannya. Gadis itu menghempas tangan Sandi yang hendak menuntunnya masuk ke dalam rumah."Gak! Kita bicara disini aja!" Tegasnya.Penolakan Dinara membuat Sandi lagi- lagi tersenyum miring."Kalau gitu, lo