Jangan lupa vote dan comment ya teman- teman! Terimakasih :)
Tidak ada waktu untuk tenang di hari minggu yang cerah ini. Bukan karena pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, melainkan karena tiga anak laki-laki yang tadinya sibuk bermain playstation itu seperti tidak kehabisan energi sama sekali. Beberapa waktu yang lalu mereka mulai bermain UNO lalu bergeser pada permainan kartu lainnya. Permainan apapun itu, hebohnya tetap sama. Saling tertawa dan bicara dengan suara keras nan lantang yang menggema. Untung saja ada cukup jarak antar rumah di kompleks ini sehingga Dinara tidak perlu khawatir mendapatkan omelan dari tetangga manapun. Ditambah lagi, jarak dari ruang keluarga dengan halaman depan rumahnya pun tidak terlalu dekat sehingga orang lewat pun tidak akan mendengar kegaduhan disini. Sayangnya Dinara bukan orang luar. Dia harus bertahan dan terpaksa menikmati seluruh kegaduhan tidak biasa ini secara dekat nan lekat. Pasalnya, Dikta sekarang sudah bergabung dalam klan super ribut milik Sandi dan Sean. Dia tidak tahu sejak kapan adiknya
Dinara bersenandung kecil, bibirnya menggumamkan lirik puitis sebuah lagu yang sempat dia dengar di radio—entah apa judulnya. Angin menerpa rambut panjangnya yang tergerai hingga melambai halus. Kardigan panjang berwarna nude yang dia kenakan menutupi kaos crop dan celana pendeknya. Seperti gadis kecil, netranya berbinar ketika menemukan beberapa cangkang kerang yang sudah kosong. Sandi yang berjalan dibelakangnya sampai bingung sendiri ketika Dinara tiba- tiba berjongkok dan menampakkan sebuah senyuman indah karena temuannya. Padahal tadi Dinara lah yang ragu- ragu beranjak dari duduknya, tapi kini dia justru terlihat sangat antusias. Dari responnya, Sandi tahu dia tidak salah memilih tempat ini sebagai lokasi rekreasi singkat mereka. Pergerakan gadis itu benar- benar halus sehingga Sandi bahkan sampai tidak sadar terus mengarahkan mirorless miliknya kearah Dinara. Gadis yang terlalu sibuk bergelung dalam dunianya sendiri itu bahkan tidak menyadari ada bidikan dari beberapa sudut
"Lo ngutang penjelasan banyak banget, Din!"Dinara baru saja melilitkan handuk di rambut basahnya saat Kiran muncul di depan pintu kamar mandi. Selain Kiran, tiga lainnya juga menjajah kamar Dinara. Ada Viviane yang tengah duduk di meja rias. Julie rebahan di tempat tidur. Sementara Kanaya duduk di lantai sibuk dengan setoples nastar buatan Dinara. Kamar yang biasanya tenang temaram kini dalam hitungan menit berubah bak markas yang habis digunakan sebagai arena perang.Empat orang wanita itu menyambangi kediamannya bertepatan saat Dinara baru saja kembali dari pantai bersama dengan Sandi dan adik-adiknya. Itu pukul delapan malam dan pertemuan tidak diduga itu benar-benar mengagetkannya. Dinara merasa seperti diciduk satpol karena empat pasang mata itu menuntutnya dengan tatapan minta penjelasan."Kita udah nelpon dan chat lo berkali-kali tapi hp lo gak aktif!"Petikan kalimat protes yang disuarakan Kiran menyadarkan Dinara. Saking nyamannya tanpa ponsel, dia bahkan belum menyalakan po
"Kangen banget ya sampai minta ketemuan sama gue?"Sandi menaik turunkan alisnya dengan senyum miring menggoda. Dinara yang baru saja sampai di depan rumah Sandi masih mempertahankan raut masamnya. "Hapus foto gue!" Titahnya.Alis Sandi kembali mengenyit naik sebelah. Melihat Dinara yang datang dengan kaos rumahan, rambut setengah basah dan sandal super lucu membuat Sandi menyadari betapa seriusnya gadis itu. Dia langsung datang hanya dalam beberapa menit setelah foto candid di pantai tadi Sandi unggah di instagram pribadinya. Meskipun Dinara memandangnya galak, tak sedikitpun Sandi gentar. Dia malah dengan santai membuka gerbang lebih lebar. "Masuk dulu, yuk! Dingin banget diluar, apalagi lo cuma pakai kaos tipis," ujarnya tenang. Dinara merasa Sandi benar- benar meremehkan kemarahannya. Gadis itu menghempas tangan Sandi yang hendak menuntunnya masuk ke dalam rumah."Gak! Kita bicara disini aja!" Tegasnya.Penolakan Dinara membuat Sandi lagi- lagi tersenyum miring."Kalau gitu, lo
Manusia tidak bisa saling paham dengan apa yang ada dalam pikiran manusia lainnya. Kali ini, Sandi semakin membuat Dinara yakin seratus persen dengan hipotesis itu. Tidak ada satupun tindakan Sandi bisa dia pahami sekarang. Apa sih yang sebenarnya Sandi inginkan darinya? Dalam waktu kurang dari satu bulan, Sandi berhasil memberinya banyak sekali jenis kejutan. Mulai dari sorotan umum, narasi kisah yang harusnya sama sekali tidak dia perlukan, hingga letupan- letupan baru di relungnya yang sama sekali tidak mau Dinara akui keberadaannya. Ya. Dinara benci mengakui bahwa Sandi membuatnya kembali berdebar akan hal- hal yang tidak pasti. Munafik kalau Dinara mengatakan bahwa dia tidak merasakan sesuatu setiap kali berdekatan lagi dengan Sandi. Dia tidak sebodoh itu untuk menangkap sinyal bahwa saat ini Sandi berusaha mendekatinya. Nah, itu dia masalahnya. Untuk apa Sandi mendekatinya? Dinara yakin letupan dan aneka perasaan aneh yang kini menjalar dalam dirinya adalah sebuah sinyal
Senyum penuh wibawa yang tadi dia sampirkan langsung luruh begitu saja begitu kembali pada tempat duduknya. Dinara menghela nafas perlahan, menahan sesak yang menjalar dalam hatinya. Kepalanya sedikit menengadah, takut kalau- kalau ada air mata yang jatuh merusak riasannya.Suasana disini sangat ramai. Dinara duduk di deret keempat dari sekitar 20 deret yang ada. Saat ini, pita toganya sudah digeser Rektor. Giliran bangku dibelakangnya yang ikut prosesi. Alunan lagu dari grup paduan suara mengiringi barisan wisudawan yang menunggu giliran diresmikan. Ini akan berlangsung cukup lama karena Rektor harus meresmikan sekitar lima ratus wisudawan dan wisudawati yang berada di aula utama kampus ini.Hari ini seharusnya menjadi salah satu hari paling bahagia yang dia miliki. Diwisuda sebagai lulusan dengan predikat terbaik di fakultasnya merupakan pencapaian luar biasa untuk Dinara. Sayang sekali kedua orang tuanya tidak bisa turut hadir dalam acara ini. Adiknya juga masih ada ujian sehingga
"Tau darimana gue wisuda hari ini?""Astaga Dinara! Lo kuliah di kampus besar! Jadwal wisuda lo bisa gue dapet dengan mudah, apalagi banyak juga temen- temen gue yang berasal dari kampus ini," ujar Kiran gemas sendiri. Dinara hampir melupakan fakta yang satu itu. Banyak sekali yang posting terkait persiapan wisuda dan semacamnya di media sosial. Kiran yang juga anak jebolan medsos pasti langsung paham akan adanya perhelatan ini. "Om sama tante belum dateng, Din?" Pertanyaan dari Viviane mendadak membuat Dinara sedikit lesu. Meski begitu, dia tetap berusaha untuk terlihat tetap tegar. "Papa masih ada urusan di Jepang, jadi mama juga ikut disana. Dikta masih ada ujian juga," jawabnya sembari memaksakan sedikit senyum. Viviane agaknya merasa bahwa dia keliru bertanya. Jadi dia pada akhirnya hanya bisa tertawa canggung. "Ya udah, anggap kehadiran kita disini penggantinya. Sebagai utusan keluarga lo, hari ini Kiran yang traktir makan!" Ujaran penuh semangat dari Kanaya langsung mendap
Mudah sekali menggoyahkan fokus manusia. Dinara merasa imannya lemah hanya karena terjebak dalam situasi cukup canggung dengan Sandi Arsena sekarang. Berada tepat disamping pengemudi tampan yang tengah memamerkan kedua tangannya akibat lengan kemeja digulung asal. Dua kancing kemeja teratas juga terbuka, seolah sengaja memamerkan kulit dan leher panjangnya. Bukan sesuatu yang luar biasa namun cukup membuat Dinara berusaha mati-matian untuk mempertahankan kewarasan dan kejernihan pikirannya. Panasnya cuaca ibukota hari ini memang harus diakui. Setelah keluar dari gedung wisuda, hampir semua orang yang dia temui mengeluhkan cuaca panas. Termasuk lelaki disebelahnya ini yang langsung tanpa aba- aba melonggarkan berbagai kancing di pakaiannya.Setelah makan bersama di resto dekat kampus, semuanya langsung menuju destinasi yang berbeda. Keluarga Dinara yang dijemput salah seorang staff papanya masih harus kembali ke sekolah Dikta karena mereka meninggalkan tas Dikta disana. Teman- teman