Sandi masih senyum-senyum tipis usai meninggalkan pekarangan rumah Dinara. Momen liburan yang berkesan baginya karena pada akhirnya berhasil membuatnya punya status dengan gadis cantik itu. Akhirnya, setelah sempat gagal confess saat SMA, kali ini Dinara benar-benar jadi kekasihnya. Ada banyak hal yang telah ia rencanakan untuk mengisi hari-harinya bersama dengan sang kekasih. Dia bahkan sudah memikirkan ingin meminang Dinara dengan adat apa. Meskipun cukup sadar bahwa setelah ini kemungkinan mereka harus LDR sementara waktu sebab masa pendidikan magister sang gadis akan dimulai sebentar lagi. Bagi Sandi kerinduan akan sangat menyiksanya. Tapi dia yakin bisa melewati itu semua dan tidak mau menjadi menyebalkan bagi Dinara. Untuknya, dia akan menjadi sosok kekasih yang selalu mendukung Dinara dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Dia tidak mau egois.Lagipula, bukan masalah besar baginya untuk mengunjungi Dinara disana nantinya. Salah satu privilege yang dimiliki karena lahir di keluarga
Dinara membalik badan agar tengkurap. Dirinya masih digulung selimut tebal, tidak ada keinginan untuk turun dari ranjang meskipun waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Mungkin sekitar lima belas kali dia mengubah posisi rebahan—terhitung sejak hampir dua puluh menit lalu saat dia membuka matanya. Pagi-pagi bukannya produktif tapi malah diisi dengan overthinking. Kalau hari-hari biasa, Dinara pasti sudah melompat bangkit dari tempat tidur dan mulai melakukan banyak aktivitas. Tapi hari ini rasanya berbeda, tubuhnya seperti diberi perekat diatas kasur. Meski begitu, dia juga tak bisa menutup mata lagi. Hanya bolak-balik memandangi langit-langit kamar dan cahaya yang mulai masuk dari sela-sela jendela. Malas sekali rasanya untuk turun dari kasur dan masuk kerja. Begini ya ternyata rasanya hari pertama kerja setelah seminggu liburan. Dering ponsel pada akhirnya memaksanya untuk mengumpulkan kesadaran. Setelah berdiam diri pda akhirnya dia harus bicara juga hari ini. “Lo udah mas
Alana dan Dinara hendak kembali ke kantor setelah dua jam lebih meeting bersama dengan perwakilan PR The Royals. Diatas ubun-ubun mereka seperti sudah mengeluarkan asap akibat brainstorming nonstop sembari mendengarkan celah apa saja yang perlu mereka antisipasi dari setiap konten. Axel cukup jeli melihat berbagai sisi dan mempertanyakan hal yang dikemudian hari bisa jadi sebuah masalah. Dari sini terlihat jelas mengapa lelaki itu dengan cepat bisa melesat menduduki posisi puncak PR The Royals. Pria itu punya mata elang dan jelas pandai bicara. “Terimakasih atas kerjasamanya, kami menantikan hasil yang luar biasa dari kinerja kalian!” harap Axel ketika mengantarkan mereka keluar dari ruangan. Begitu juga Selena yang mengekor dengan sopan. Tak letih memajang senyum dan keramahannya disana. Alana dan Dinara mengangguk sopan saat permisi. Meninggalkan ruangan rapat The Royals yang dingin. Setelah meninggalkan email dan nomor telepon yang lebih mudah untuk dihubungi, keduanya pergi
Usai hari kerja yang super melelahkan, malam ini tim konten berada di sebuah resto yang telah secara khusus disewa Alana untuk makan malam tim mereka. Wanita tiga puluh tahun itu bilang, dia hanya ingin merayakan beberapa pencapaian tim dengan sebuah jamuan makan malam. Sebenarnya, ini bukan kali pertama karena ketua tim yang baik itu memang sudah beberapa kali memboyong timnya untuk acara serupa. Semuanya dengan riang hadir, makan malam gratis siapa yang hendak menolak, coba?Hanya Dinara yang jelas tahu apa maksud utama pertemuan malam ini. Mungkin setelah Alana menjelaskan tujuannya, dia pikir suasana tim akan sedikit campur aduk. Dinara yakin mereka bahagia akan kabar pernikahan Alana, tapi bagaimana respon mereka saat tahu bahwa Alana akan segera meninggalkan tim?Alana bisa dibilang merupakan leader idaman. Bahkan banyak tim lainnya yang iri dengan kekompakan dan sinergi divisi mereka berkat leadership Alana. Wanita itu bukan sekedar perfeksionis, dia adalah sosok yang menguatk
“Mimpi apa gue semalem? Ini mah double kill!” Stecia mencubit kecil pinggang Dinara yang duduk disampingnya. Dihadapan mereka sekarang ini duduk berjejer sang penguasa muda Arkasa Pradipta dan Sandi Arsena. Makhluk-makhluk luar biasa tampan yang tiba-tiba ikut hadir memenuhi undangan Alana. Kalila juga sama tak berkedip. Dia tahu Sandi adalah lelaki yang tengah mendekati Dinara, juga Arkasa calon suami bosnya sendiri. Tapi tak pernah tahu bahwa dua manusia kelewat tampan itu masih satu keluarga besar. Apalagi duduk bersebelahan dengan aura bersinar seperti itu. “Saya minta maaf karena terlambat,” ujar Arkasa sopan. Dia dan Sandi memang datang sedikit terlambat setelah hampir sepuluh menit tim itu makan duluan. “Nggak apa, pak. Toh kita kan santai saja ya disini,” ujar Stecia tanpa berkedip. Mas Alam diujung meja sudah hampir tertawa melihat wajah cengo rekan kerjanya itu. Mereka melanjutkan makan malam santai sembari sesekali tertawa. Sandi awalnya sedikit kikuk karena tiba-tiba
“Astaga!”Dinara kaget bukan main saat menemukan presensi manusia tinggi yang kini tengah tiduran santai diatas ranjangnya. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi. Untung saja kali ini dia tidak lupa membawa dan mengenakan pakaiannya saat masih berada di dalam kamar mandi. Jadi tidak akan ada adegan keluar hanya mengenakan handuk. Melirik jam dinding, ini benar-benar masih pukul sepuluh pagi. Janji temu mereka masih pukul tiga sore. Bukankah Sandi berada di rumahnya terlalu dini? Tapi melihat wajah lelah yang tergambar meskipun dalam tidur, Dinara menekan protesnya. Termasuk pasal Sandi yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarnya tanpa dia ketahui. Dia hendak membangunkan kekasihnya, namun disaat bersamaan suara ketukan di pintunya terdengar. Tanpa repot membuka pintu, Dinara dapat mendengar bagaimana sibuknya sang adik hingga bicara amat buru-buru. “Kak Nara aku berangkat acara pelantikan dulu, ya! Dianter supir terus nanti balik jam 5 sore!” Selebihnya hanya ada gedebuk-ge
Tidur siang mungkin hanya mitos. Pada kenyataannya, sepasang insan itu pada akhirnya menghabiskan waktu dengan cuddle manja sembari berbincang kecil pasal aneka hal random. Dinara cukup sadar bahwa detak jantungnya sejak tadi masih berpacu cepat. Dia hanya berharap bahwa Sandi tak sampai mendengarnya. Meskipun faktanya, detak jantung Sandi pun sama berisiknya. Akan selalu sama seperti itu. Mereka seolah tak akan pernah merasa cukup terbiasa mendapatkan afeksi menyenangkan dan berdegup kencang berkat satu sama lain. Sentuhan kecil dengan bumbu senyum malu- malu kucing ataupun tautan dengan tatapan dalam, semua itu masih sama mengirimkan sengatan menyenangkan. Mungkin inilah yang namanya sedang kasmaran. Apapun terasa indah saat berdua. Jemari keduanya saling bertautan, sesekali Sandi mencuri kecupan kecil dan menggelitiki kekasihnya hingga mereka berdua saling bertukar tawa. Dinara sama sekali tak pernah menyangka bahwa dirinya juga akan merasakan hal- hal manis semacam ini. Dia ta
Keduanya tiba di Kafe Kelana sekitar pukul enam sore. Parkiran sudah cukup penuh dipadati pengunjung yang lalu lalang di areal kafe. Sandi mengamit pelan lengan kekasihnya, menembus keramaian sekaligus banyak pasang mata yang terang-terangan memandang mereka. Keduanya tidak tuli, sama-sama bisa menangkap nama mereka disebut-sebut disana. Dinara tahu kedai ini memang katanya sarang dari fans-fansnya Sandi sebelumnya. Didominasi oleh kaula muda yang mungkin nongkrong malam minggu, Dinara rasa ada banyak wajah familiar yang dia temui disana. Sebut saja beberapa teman Sandi yang sempat beberapa kali bertandang ke rumah Sandi. Juga beberapa adik kelas semasa SMA atau anak-anak lain yang dia pernah dia lihat tapi tak tahu namanya. Sandi begerak luwes, tersenyum menyambut ramah banyak sapaan disana. Terlihat bahwa dirinya memang pelanggan setia yang sering mampir tanpa mampu dihitung berapa banyak lagi kuantitinya.Keduanya berhasil menembus areal outdoor yang cukup ramai dan masuk kedala