Share

Ditemani Belanja

Bab 5 - Ditemani Belanja 

Papa memperhatikanku yang mengunyah bakso dengan lahap.

"Pelan-pelan El, makannya. Kamu kayak gak makan bakso bertahun-tahun saja!" seru papa.

Aku tersedak, ya, memang benar kalau aku sudah tak makan bakso selama bertahun-tahun. Ah, papa dinasihati seperti itu membuatku malu.

"Hemmm ... maaf pa, El memang baru kali ini makan bakso lagi," ucapku jujur.

Bola mata papa membulat, ia terkejut mendengarnya.

"Jadi, selama ini kamu gak pernah makan bakso?"tanyanya prihatin.

Aku mengangguk pelan.

"Keterlaluan sekali Heru! Harusnya dia membiarkanmu untuk sekadar jajan bakso!"ucap papa.

Ah, papa tak tahu saja, berapa uang nafkah yang diberikan Mas Heru padaku selama ini. Jika tahu, mungkin dia akan jauh lebih marah.

"Ya sudah, kalau kamu mau bungkus lagi untuk dibawa pulang, bungkus saja," ujar papa.

Aku menggeleng. Kalau nanti aku iyakan, pasti Mas Heru akan menintrogasiku dan menuduh macam-macam.

"Jangan pa, aku makan di sini saja. El sudah kenyang kok," kataku.

Aku tak berbohong, memang sudah kenyang dan perutku seperti ingin meletus sekarang.

"El, ada yang mau papa katakan," ujar papa.

Ya, aku hampir lupa bahwa papa ingin mengatakan sesuatu padaku.

Hal ini karena kekenyangan makan bakso, pasti. Makanya aku mendadak pikun.

"Papa mau ngomong apa?" tanyaku serius.

Sebab, tak biasanya Papa akan seperti ini.

"Papa ingin mewariskan seluruh harta papa padamu. Rumah, mobil, serta pabrik keripik kentang semua sudah atas namamu. Tak lupa beberapa bidang sawah dan tanah yang dulu atas nama almarhum ibumu, sekarang menjadi punyamu. Papa harap, kamu pergunakan dengan sebaik-baiknya. Papa juga akan memberitahu Heru tentang ini," jelas papa.

Mendengar nama Mas Heru, seketika aku berpikir dan langsung mencegah Papa untuk memberitahunya. Ah, kalau suamiku tahu, pasti dia akan merasa kepemilikan.

"Jangan beritahu Mas Heru, Pa. El mohon. El gak mau Mas Heru dan keluarganya tahu," ujarku.

Alis papa bertaut, sepertinya ia ingin bertanya alasan kenapa aku tak ingin Mas Heru tahu soal harta yang diberikan papa.

"El, bisa kamu jelaskan kenapa kamu gak mau Heru tahu?" tanya papa.

Aku menghela napas dan membuangnya kasar.

"Pa, selama ini, uang nafkah El dijatah sama Mas Heru. Mas Heru hanya memberi uang lima belas ribu, setiap harinya," kataku jujur.

Papa terlihat shock mendengar penuturan putri sambungnya ini. Bagaimana tak shock, dulu, sebelum menikah, uang lima belas ribu adalah uang yang diberikan papa untuk jajanku di sekolah. Itu hanya sekali jajan saja. Belum uang jajan siang dan sore.

Bulir bening dari pelupuk mata papa keluar, beliau menangis. Ah, tadinya aku tak ingin memberitahu papa, mengingat kondisi kesehatannya yang tak bagus. Namun, kalau sampai papa memberitahu Mas Heru soal harta warisan itu, Mas Heru pasti akan menyuruhku menjualnya.

"El, maafkan papa, papa sudah mengizinkanmu menikah dengan orang yang salah," kata papa menyesal.

Aku menggeleng, ini bukan salah papa. Ini salahku. Harusnya dulu aku tak usah percaya sama Mas Heru. Mentang-mentang dulu dibelikan apa yang kumau, saat diajak menikah aku mau saja.

"Bukan salah Papa, ini salahku. Jadi, kumohon untuk tak memberitahu Mas Heru soal warisan ini," pintaku memohon.

Papa mengangguk, ia paham benar dengan kondisiku saat ini.

"El, maaf papa baru tahu kalau selama ini kamu kekurangan, ini, ambillah. Pinnya adalah tanggal lahir Mamakmu," jelas papa.

Papa memberikan sebuah kartu ATM padaku. Aku menolaknya, toh aku bukan tanggungjawabnya lagi. Namun papa memaksaku untuk menerima ATM tersebut.

"Jangan ditolak. Papa mau kamu hidup berkecukupan. Itu bukan uang papa, tetapi uang almarhumah Mamakmu yang dikumpulkan. Sedikit banyak juga ada uang almarhum bapakmu. Jadi, jangan kamu tolak El," kata papa

Mau tak mau, aku menerima benda pipih itu.

"Terima kasih, pa," kataku.

Papa tersenyum.

"Ya sudah, ayo kita pulang, papa antar kamu, El," ajak papa.

Aku menolak, mengingat aku baru membeli ayam dan cabai saja, bagaimanapun aku harus membeli beberapa macam sayur dan lauk agar tak ke pasar lagi beberapa hari ke depan. Tentu, menggunakan uang enam puluh ribu yang tadi pagi Mas Heru berikan.

"Aku mau belanja lagi, pa. Untuk stock agar tak bolak-balik ke pasar. Papa kalau mau duluan, tak apa-apa. Aku belanja dulu," ucapku.

Papa tak setuju, ia akhirnya menemaniku belanja.

"Kamu mau belanja apa, El? Biar papa yang bayar," tawar papa.

Aku menolak, kalau nanti aku beli lauk yang enak,Mas Heru pasti akan berpikir kalau uang belanja yang diberikannya cukup.

"Biar El saja yang bayar, pa. El hanya mau belanja sayur dan ikan untuk empat hari ke depan dengan uang ini," kataku.

Papa membuka genggaman tanganku. Ada beberapa sisa uang kembalian membeli ayam dan cabai tadi. Ya, karena disuruh masak yang enak, aku membeli ayam yang harganya dua puluh ribu, sekilo. Uang jatahku sehari saja tak cukup membeli ayam sekilo itu. Sementara beli cabai tadi, hanya lima ribu rupiah saja, beruntung bisa dapat setengah kilo sebab belakangan ini harga cabai turun drastis.

"Ya ampun El, hanya sisa uang tiga puluh lima ribu?" tanya papa tak percaya.

Aku mengangguk. Semoga saja cukup untuk membeli lauk lainnya.

***

Aku dan papa berkeliling pasar, mencari tahu dan tempe yang bisa dijadikan lauk untuk dua hari ke depan. Harga tahu dan tempe cukup terjangkau bagi dompetku, makanya aku selalu membeli lauk tersebut.

"Tempenya dua, tahunya satu, Kang. Jadi berapa?" tanyaku pada penjual tersebut.

"Tempe dua, enam ribu, tahu satu empat ribu, jadi sepuluh ribu, Neng," kata penjual tersebut.

Aku menyerahkan selembar uang sepuluh ribu pada pedagang tersebut.

Kini, aku mengajak Papa untuk membeli kentang, wortel, terong, kol, dan kacang panjang.

"Pa, kita belanja sayuran ya," ajakku.

Papa menurut, ia melangkah megikutiku.

"Pak, kentangnya berapa sekilo?" tanyaku.

"Lima belas ribu, Neng. Mau?" tanya pedagang tersebut.

"Kasih setengah kilo aja. Jadi tujuh ribu aja, ya?" tawarku.

Pedagang itu setuju, ia menimbang kentang setengah kilo untukku.

"Pak, terongnya kasih tiga ribu, wortel tiga ribu, kacang panjang tiga ribu, dan kol empat ribu, ya," ucapku.

Pedagang itu mengangguk, ia kemudian memasukkan belanjaanku.

"Jadi berapa, Pak?" tanyaku.

"Kentang tujuh ribu, terong tiga ribu, jadi sepuluh ribu, tambah wortel dan kacang panjang enam ribu, kol empat ribu, jadi dua puluh ribu, Neng." Pedagang tersebut menyerahkan belanjaan sayur yang kubeli tadi.

Kini, uang enam puluh ribu yang diserahkan Mas Heru tadi pagi bersisa lima ribu rupiah. Rasanya ingin kusimpan untuk kebutuhan mendesak, tetapi aku teringat kalau bawang merah dan bawang putih di rumah sudah habis, maka aku berjalan menuju tukang bawang.

"Pak, kasih bawang merah dan bawang putihnya ya. Lima ribu saja," kataku.

Meski dengan wajah cemberut, pedagang tersebut tetap melayaniku.

"Beli sekilo dong, Neng. Ini beli cuma lima ribu, doang!" ejek Pedagang bawang.

Papa yang mendengar ingin marah, tetapi kularang. Ya, sudah makananku jika dilayani penjual di pasar dengan wajah tak suka seperti itu. Aku sudah terbiasa.

"El, papa mau menghajar penjual tersebut!" kata papa geram.

"Gak usah pa, buang-buang energi. Ayo, kita pulang," ajakku.

Papa menurut, kini ia malah menangis. Maafkan papa, El. Kamu makan sampai mengirit seperti itu.

"Gak apa-apa, pa. El sudah tiga tahun terbiasa dengan semua ini," kataku.

"Ya Allah, El. Malang sekali nasibmu, Nak. Papa janji, kamu tak akan kekurangan seperti ini lagi," kata papa.

Aku menggeleng, sebenarnya, jika Mas Heru mau makan yang kumasak, tak jadi masalah uang lima belas ribu yang diberikannya. Toh, aku juga belum punya anak dan kebutuhan dapur yang lain seperti gas, gula, minyak, garam, sabun, dan yang lain, dibeli oleh Mas Heru sendiri. Namun, suamiku itu sering tak terima jika makan dengan lauk ala kadarnya.

"El, ada yang mau papa katakan lagi, ini soal Heru," kata papa.

Aku terbengong, kira-kira papa mau mengatakan apalagi?

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status