Share

Papa Eleanna

Bab 4 - Papa Eleanna

"Assalamualaikum," sapa orang tersebut.

Aku menatap ke arah pintu, sedikit terkejut dengan kehadiran orang itu. Begitu juga dengan Mas Heru, buru-buru dia tak jadi menamparku, malah kini membelai pipiku mesra. Dasar, pandai sekali dia bersandiwara.

"Masuk, Pa. Maaf Anna dan Mas Heru jarang berkunjung," kataku.

Ya, lelaki itu adalah papaku. Ah, bukan Papa biologis, tetapi dia papa sambungku. Mamak menikah lagi setelah bapak meninggal.

Papa mengangguk.

"Gak apa-apa, kamu sehat, El?" tanya papa.

Aku tersenyum saja. Ingin sekali kukatakan bahwa badanku sehat, tetapi jiwaku sakit. Namun, itu kuurungkan, mengingat penyakit jantung yang diderita papa.

"El, ditanya kok malah tersenyum saja? Kamu sedang ada masalah sama suamimu?" tanya papa lagi.

"Ah, El sehat, Pa. Papa sudah makan? Tumben gak ngomong kalau mau ke sini, harusnya papa bilang, jadi El masak yang enak hari ini," kataku basa-basi.

"El, meski kamu bukan anak kandung papa, papa tahu kalau kamu sedang ada masalah," ucapnya.

Aku meneguk saliva, dari dulu memang lelaki pengganti ayahku tahu bagaimana sifatku.

"Heru, El, apa kalian ada masalah?" tanya papa.

Mas Heru kelabakan, ia mungkin saat ini sedang menyusun rangkaian kalimat untuk diucapkan.

"Ehm ... kami, kami baik-baik saja pa, tak ada masalah," jawab Mas Heru bohong.

Dasar lelaki pandai bersandiwara, harusnya dia jujur saja kalau dirinya memang sedang ada masalah denganku, toh tadi dia mengangkat tangannya dan ingin menamparku.

"El, benar apa yang dikatakan Heru?" tanya papa.

Aku bingung, mau menjawab jujur takut kalau-kalau jantung papa kumat. Maka, mau tak mau aku mengikuti alur drama yang tadi dibuat Mas Heru.

"Iya pa, kami gak lagi ada masalah kok," kataku bohong.

"El, kalau suamimu ini berbuat yang tidak-tidak, katakan saja pada papa. Papa tak segan-segan memberi dia hukuman yang setimpal," ujar papa.

Aku tersenyum saja, sedangkan Mas Heru terlihat ketakutan.

"Heru, kenapa tadi papa dengar suara ribut-ribut dari luar?" Mata papa menatap Mas Heru tajam.

Mas Heru gelagapan, ia mungkin sedang berpikir kalimat apa yang ingin dikatakan agar papa percaya.

"Hemm ... itu ... tadi Heru lagi ... lagi ... lagi latihan drama, pa," kata Mas Heru.

Cuih, latihan drama katanya, latihan drama kepalanya botak. Udah jelas-jelas dia ingin menghajarku, malah dibilang latihan drama. Benar-benar lelaki yang pandai bersilat lidah.

"Latihan drama? Latihan drama pakai membentak istrimu dan mau mengayunkan tangan ke arahnya?" tanya papa sinis.

Mas Heru terlihat salah tingkah, aku juga. Aku takut kalau kebohongan kami terbongkar.

"El, kamu tahu Nak, kamu itu adalah putri papa satu-satunya. Kamu mungkin bukan anak kandung papa, tetapi sedari kecil, papa membesarkanmu sampai akhirnya menikah. Kalau Heru menyakitimu, katakan saja, papa tak akan segan-segan meminta anggota papa untuk menghabisi Heru," kata papa tegas.

Mas Heru hanya diam, ia meneguk salivanya, keringat dingin mulai bercucuran di keningnya. Ah, aku belum mengatakan pada kalian, papa adalah mantan preman pasar yang disegani orang-orang. Meski mantan preman, banyak sekali anak buahnya yang masih setia sampai sekarang.

"Pa, kami gak apa-apa. Kalau rumah tangga berantam dan adu mulut itu biasa," kataku.

Aku juga kasihan kalau nanti Mas Heru dijadikan perkedel tempe oleh papa. Bisa-bisa mertuaku minta ganti rugi nanti.

"Iya, papa tahu. Papa hanya gak mau ada yang menyakiti putri papa ini," katanya.

Aku tersenyum saja.

"Pa, papa mau makan apa? Biar El siapkan," tawarku.

Papa menggeleng.

"Papa ke rumahmu bukan untuk numpang makan, ada yang ingin papa katakan sama kamu," ujarnya.

Aku mengernyitkan kening, ada hal penting apa sampai papa bela-bela datang ke rumah ini.

"Hal penting apa, pa?" tanyaku.

Papa diam saja. Ia melirik Mas Heru yang masih keringat dingin.

"Nanti saja, papa katakan padamu. Ingat El, kalau Heru menyakitimu, jangan sungkan kabari papa. Nanti, papa pasti akan memberitahu hal penting apa yang harus kamu ketahui. Papa pamit ya, El. Heru, tolong jaga putriku. Jangan macam-macam apalagi sampai menyakitinya!" ucap Papa.

Kulihat perubahan ekspresi wajah Mas Heru. Namun ia tetap mengangguk.

***

Saat Papa pulang, Mas Heru kembali memarahiku.

"Pasti kamu yang memanggil preman itu ke mari!" ujar Mas Heru sinis.

Aku menatapnya tajam. Tak menyangka kalau Mas Heru akan menuduhku sembarangan.

"Kita sama-sama kaget. Jangan menuduhku sembarangan!" kataku tegas.

Mas Heru mencebik, ia seperti tak percaya dengan ucapanku.

"Kau tak bisa dipercaya. Jangan berbohong padaku!" kata Mas Heru.

Ingin sekali aku pukul wajahnya itu.

"Aku tak berbohong. Kau kenapa sih, Mas?" tanyaku.

Mas Heru malah meninggalkanku pergi.

Dasar lelaki aneh.

***

"Ini uang jatah nafkahmu!" kata Mas Heru.

Mas Heru memberikan uang enam puluh ribu dan menaruhnya di atas meja. Aku terheran-heran, sebab baru kali ini ia memberikan uang senilai enam puluh ribu.

"Ini jatah selama empat hari," kata Mas Heru lagi.

Akh, aku yang tadinya merasa senang, berubah kecewa. Ternyata sama saja, aku tetap dijatah lima belas ribu sehari.

"Maaf, kemarin aku sudah marah-marah dan ingin menamparmu," kata Mas Heru lagi.

Aku mengangguk, tetapi bercampur heran. Karena ini adalah kali pertama Mas Heru meminta maaf padaku. Biasanya, dia akan dengan pongah memarahiku tanpa merasa bersalah.

"Ya, aku juga minta maaf," ucapku.

Mas Heru tersenyum.

"Dek, nanti, kalau papa ke mari, tolong masakkan makanan yang enak. Papamu mungkin akan ke mari lagi," kata Mas Heru.

Aku mengernyitkan dahi. Ada apa sebenarnya dengan lelaki ini. Kenapa tiba-tiba dia menyuruhku belanja dan masak yang enak. Apa ada sesuatu?

"Mas tahu dari mana kalau papa mau ke mari?" tanyaku curiga.

"Tahu dari si Sindi. Tadi dia ngabari Mas, katanya mau ke sini," ucap Mas Heru.

Sindi? Sejak kapan Mas Heru berkomunikasi dengan anak tetangga rumah papa itu? 

"Sejak kapan Mas jalin komunikasi dengan Sindi?" tanyaku menyelidik.

Mas Heru terlihat gelagapan, aku paham benar sifat Mas Heru saat gugup dan melakukan kesalahan.

"Hemm ... tadi Sindi yang ngasih tahu Mas. Mas mana pernah komunikasi dengannya," jawab Mas Heru.

Aku hanya ber-oh ria saja. Awas saja kalau kamu berbohong, Mas. Aku tak akan segan-segan mengadu pada papa dan membiarkanmu jadi perkedel.

***

Sesuai titah Mas Heru, aku kembali ke pasar, tentu dengan berjalan kaki seperti biasa. Alasannya tak lain adalah untuk menghemat biaya. 

Tiba-tiba, ponselku berdering. Tertera nama papa di sana.

"Halo, pa. Assalamualaikum," jawabku.

[Waalaikumussalam. Kamu di mana El?] tanya papa.

"Di pasar, kenapa pa?" tanyaku.

[Jangan ke mana-mana. Papa akan menyusulmu sekarang. Ada yang ingin papa sampaikan perihal kemarin.] kata papa.

Aku menunggunya di sebuah warung bakso langganan. Ah, bukan untuk membeli bakso, aku hanya numpang duduk dan ngaso sebentar.

Tak lama, papa muncul dengan mengendarai motor.

"Maaf ya El, papa lama. Kamu udah pesan bakso?" tanya papa.

Aku menggeleng.

Papa memanggil Mamang bakso dan memesan dua mangkuk sekaligus.

"Makanlah, El. Semenjak menikah, kau tampak kurus," ucap papa.

Aku meneguk ludah, ya, papa benar, semenjak menikah badanku tak terurus, bahkan bobot tubuhku turun drastis.

"El, makan yang banyak. Papa akan memberitahukan sesuatu padamu," ucap Papa.

Aku menurut apalagi bakso di hadapanku benar-benar menggugah selera. Ini adalah kali pertama aku makan bakso lagi setelah 3 tahun menikah dengan Mas Heru. Ah, menyedihkan memang, bahkan untuk jajan semangkuk bakso saja uang jatah nafkahku tak cukup.

Namun, apa yang ingin papa sampaikan padaku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status