Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
Hanya KarenaTak Berpendidikan TinggiPart 1***"Mas, Afni besok harus bayar uang sekolah. Dua ratus ribu lagi. Uang yang Mas kasih sama Hanah tidak cukup." Kuhampiri Mas Jimy setelah ia selesai makan dan duduk di kursi minimalis.Ia menoleh. "Aku kasih uang sama kamu lima ratus ribu. Harusnya cukup untuk makan satu minggu plus bayaran sekolah." Pandangannya masih biasa.Aku menunduk. "Iya, tapi 'kan bayaran uang sekolah Afni itu tiga ratus lima puluh ribu. Sisa uang makan cuma seratus lima puluh ribu, Mas. Kata kamu harus cukup satu minggu, kan?" jawabku lembut sambil menunduk."Ini, nih! Pendidikan kurang ya gini. Gak bisa memenej uang. Hambur terus!" celetuknya.Deg!Hambur?Aku rasa uang segitu yang ia kasih plus untuk bayaran sekolah, apa iya cukup?"Kok kamu bahas itu lagi sih, Mas? Kalau masalah uang, apa urusannya? Memang di jaman serba mahal ini, cukup uang makan seratus lima puluh ribu untuk kita berempat?" jawabku dengan nada pelan supaya ia tak tersinggung."Heh, Hanah! D
Tidn! Tidn!Terdengar suara klakson mobil mendekat dan memarkir di halaman rumah kami. Tepat di pukul sepuluh siang."Aduh, pasti itu mobil baru Jimy. Lihat, ah!" Ibu tiba-tiba nyelonong melewatiku yang sedang menyapu lantai. Jadi Mas Jimy jadi beli mobil? Maksudnya, nyicil mobil?Penasaran langkah kaki ini pun melaju dengan tangan kosong. Karena sapu ijuk sejenak kusimpan dengan cara di senderkan ke dinding.Setelah aku keluar. Benar saja. Mas Jimy keluar dari mobil berwarna putih dengan sumringah. Di susul ibunya menghampiri."Ini mobil barunya?" ujar Ibu dengan bola mata menghijau ibarat menaburkan uang lembaran. Ia juga nampak sumringah dan keteteran dengan rasa bahagianya."Mobil baru, Bu?" sapa seseorang dari kejauhan. Tetangga kami."Iya, Bu, ini baru beli," jawab Ibu dengan cental-centil. "Anak saya 'kan sekarang kerja di kantor. Jadi dia harus pakai mobil," imbuh ibu terkagum-kagum. Aku hanya memperhatikan dari balik tirai."Wah, selamat ya, Bu. Semoga berkah," do'a Bu Ika te
"Gimana jalan-jalannya, Sayang? Seru?" tanyaku pada Afni si gadis kecil yang mungil. "Gak seru. Ibu gak ikut." Ia menjawab dengan ketus sembari menyilang lengan di bawah dada. Ya, karena Ibu dan Mas Jimy tak perbolehkan aku ikut karena rumah tidak ada yang jaga. Itu mungkin alasan mereka saja.Kuelus rambut kepang duanya. "Sayang, Ibu tadi 'kan lagi masak. Ibu juga belum mandi. Terus Ibu masih banyak kerjaan. Lain kali kita bisa jalan bareng," jawabku manis. Ia menoleh dan netranya menatapku lamat-lamat. Seperti ada raut wajah iba atau apa itu?"Afni, jangan contoh Ibu kamu ini. Dia kerjanya lelet. Jadi kemana-mana pasti di tinggal. Coba kalau dia tadi udah dandan. Udah selesai masak dan sebagainya. Pasti bisa ikut," celetuk ibu mertua ikut nimbrung.Sejenak kuatur napas dan beristighfar."Ibu gak malas, Nek. Kasihan Ibu kerjain semua tugas rumah sendiri." Ya ampun, anakku ternyata selama ini melihat dan memperhatikan kalau aku memang kerjakan apapun sendiri.Ibu seperti kaget menden