Franz membuka bajunya, ia.hanya memakai celana olahraga. Ia memukul samsak dengan semangat.
"Lihatlah tubuhmu Franz, tak ada otot sama sekali. Ini semua karena cita-citamu yang ingin menjadi manageman bukan jadi mafia. Kau lebih suka berhadapan dengan angka-angka dibandingkan dengan alat-alat latihan ini." Darma duduk sambil memperhatikan anaknya yang sedang berlatih.
"Sudah lah ayah, jangan meremehkanku," ujar Franz sambil memukul samsak.
Nafas Franz tersengal, ia menghentikan latihannya. Ia melirik ke kiri melihat Dilah yang membawa handuk kecil dan sebotol air minum. Dilah langsung membersihkan rambut, tubuh, dan wajah Franz dari keringat.
"Ini minumannya," Dilah membuka botol minuman tersebut dan memberikannya pada Franz. Franz duduk dan meminum air tersebut.
Mereka cocok sekali, Batin Darma yang melihat Franz dan Dilah sedang mengobrol.
"Setelah lelahmu hilang, kita lanjut lagi latihannya," Darma pergi meninggalkan Dilah dan Franz.
"Kau
"Wah... Kak Franz tubuhmu sudah sedikit berotot," mata Laura terbelalak melihat Franz yang berlatih bela diri tanpa mengenakan baju tetapi masih mengenakan celana.Franz menghentikan latihannya, " Doa kan saja kakak menang," Franz tersenyum kemudian ia mengambil sebotol air mineral."Aku pasti berdoa untuk kakak, asalkan.." Laura mengusap-usap tangannya."Apa maumu?" tanya Franz serius."Tidak ada Kak, tadi aku bercanda." Laura menggelengkan kepalanya dan tersenyum."Mana Dilah?" tanya Franz celingak celinguk, matanya terus mencari keberadaan Dilah."Dia masak bersama Ibu, mereka terlihat sangat akrab, kekasihmu itu sudah sangat akrab dengan Ibu,""Hmm... Aku tak salah pilih calon istri, seba
Franz sempoyongan akibat pukulan Reno. Sedangkan Reno tersenyum puas, ia merasa sudah menang.Teng Teng TengRonde pertama usai, Darma langsung membersihkan darah dari tubuh Franz. Sebenarnya di dalam lubuk hatinya, Darma tidak tega melihat anaknya terluka akan tetapi ambisiusnya untuk menjadikan anaknya sebagai pria tanguh membuatnya pasrah dan rela melihat Franz terluka."Franz, lihat ayah!" ucap Darma dengan nada tinggi."Iya Ayah," nafas Franz tersengal sesekali ia meringis kesakitan."Fokus Franz, lihat dimana letak kelemahannya." ucap Darma memberi instruksi."Dimana letak kelemahannya, Ayah?" Franz membersihkan luka pada bibirnya."Kau cari tahu sendiri. Kekuatan ada pada dirimu. Kau tak boleh kalah. Lihatlah wanita di sana! Ia sangat cemas bukan? Ia ingin sekali memelukmu, dan menyemangatimu seperti ketika kau latihan tapi dia tak bisa melakukannya sekarang," Darma menunjuk Dilah yang
"Hei, Alia," suara yang tidak asing di telinga Alia. Alia malas menengoknya. Ia berjalan terus tanpa menghiraukan panggilan tersebut."Alia, sombong sekali dirimu!" Kesal sang pria. Ia menatap Alia dengan perasaan jengkel.Alia menunjukkan wajahnya yang dingin. Pria tersebut menarik Alia dengan kasar. Sang pria mengukir sebuah pohon dan membuat angka."Aku pastikan aku akan menikah denganmu," ucapnya sombong. Ia berteriak keras ketika Alia berjalan melewati dirinya."Oh ya?" tanya Alia meremehkan sambil membalikkan tubuhnya mengarah sang pria itu."Itu akan terjadi," katanya dengan keras hingga Alia yang berjarak 1 meter dengannya dapat mendengar dengan jelas.Lima tahun kemudianUsia Alia sudah 25 tahun. Ia tinggal bersama ayahnya yang sangat kaya bernama Menir sedangkan ibunya sudah lama meninggal dunia. Alia mendapat tekanan dari sang ayah. Menir ingin Alia segera menikah. Akan tetapi, Alia masih sibuk dengan menjalankan hobi dan ti
"Apa keputusanmu?" Tanya Tina saat ia duduk bersama Alia di bawah pohon rindang dan mengeluarkan udara segar."Aku setuju," jawab Alia agak murung. Tina langsung syok, matanya seperti ingin keluar dari rongganya serta jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari kecepatan sebelumnya."Kau tahu Hendri itu orangnya seperti keledai. Dia aneh!" Hardik Tina geram. Tina ingin membuka mata sahabat baiknya."Kau tahu apa, gendut?" tanya Hendri dengan kesal. Tina dan Alia tak menyadari ada sosok calon suami Alia di sini. Hening seketika sampai Hendri tertawa iblis. Menertawakan argumen Tina."Jangan melihat orang dari penampilannya saja," menunjuk kening Tina dengan jari telunjuknya. Tertawa menang. Alia agak geram tapi pikirannya tak mau menanggapinya."Aku enggak melihat kau berdasarkan penampilanmu tapi realitanya kau manusia kejam." Tina melawan, harga diri nomor satu untuknya.Rahang tegas Hendri mengeras. Matanya bergelora merah. Ia meng
"Sudah jelas karena wajahmu yang menawan itu," ucap Hendri penuh kharisma. Alia tampak murung dengan jawaban dari Hendri yang tak dapat memuaskan hatinya."Hei! Ada apa? Bukankah itu logis?" tanya Hendri dengan nada kesal. Pria dengan garis wajah tegas itu tampak begitu kesal. Dari dulu hingga sekarang ia belum bisa meluluhkan hati Alia."Logis, tapi tidak memuaskan," jawab Alia ketus.Hendri semakin kesal, ia menatap Alia dengan tatapan begitu dingin. Kesal, dari dulu hingga sekarang Alia tak pernah membuka hati untuknya.***Suatu hari pemuda bernama Farhan pindah dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan. Karena tak punya ijazah ia sulit mendapatkan pekerjaan. Farhan mendapatkan informasi dari beberapa orang yang baik padanya bahwa seorang saudagar kaya bernama Menir menyewa angkutan umum miliknya. Singkat cerita Menir dan Farhan bertemu dan menyesuaikan kesepakatan. Kesepakatan telah mereka buat dan Farhan menjadi salah satu supir
"Ada apa Ayah?" Alia bertanya seraya merapikan rambutnya yang acak-acakan."Calon suamimu datang, ayo temui dia!"Alia memutar bola matanya. Ia kesal, jam tidur nikmatnya diganggu oleh seorang yang tak pernah ia cintai. Siapa lagi kalau bukan Hendri, pemuda yang tampan dan berkharisma serta memiliki kekayaan dan kekuasaan tak mampu membuat hati Alia bergetar sedikitpun."Hem, ada apa?" Alia merenggut kesal. Hendri tak henti-henti menganggunya."Aku ingin mengajakmu ke proyek properti milikku."Alia malas mendengarkan ucapan sang pria tampan tersebut."Alia," Hendri melambaikan tangan ke wajah Alia. Alia sedikit terkejut dengan lambaian tangan Hendri."Kau tidak fokus dengan apa yang aku bicarakan?!" tanya Hendri membentak. Alia benar-benar terkejut sekali. Sang pria pilihan ayahnya ternyata emosional. Alia murung membuat Hendri sedikit menyadari nada tinggi ucapannya."Aku ingin mengajakmu jalan-jalan," kata Hendri melunak
Setelah pulang dari Rumah Dilah, Reno merasa kesal. Hatinya hancur karena gagal menikah dengan pujaan hatinya. Reno berjalan mendekati anak buahnya yang seram dan berotot."Kalian semua, cari calon istriku sampai ketemu, jika kalian bertemu pemuda yang bersama calon istriku bunuh saja dia," amarah Reno menggelegar. Hatinya hancur, kepalanya mendidih. Ia benar-benar murka pada pemuda yang menculik Dilah."Baik Bos," mereka menunduk dan berpencar untuk mencari Dilah.Reno mengacak-acak rambutnya kesal. Ia menendang angin sangkin kesalnya."Lelah sekali aku mencarimu sayang, semoga kau baik-baik saja. Pemuda itu harus mati di tanganku." gumam Reno dengan senyum iblis miliknya.Reno keluar dari rumah mencari sesorang untuk di bunuh untuk menghilangkan rasa kesal."Ini Bos, laki-laki tua yang tak mau membayar utang," lapor anak buah Reno.SreeettttReno menyayat laki-laki paruh baya tersebut dengan ganas. Setelah puas membunuh, ia pergi ke
Di kediaman Darma, Darma sedang duduk dikursi kebesarannya bak seorang raja. Tiba-tiba rasa santainya dikejutkan dengan laporan anak buahnya."Tuan Darma, saya telah menyelidiki Franz ternyata dia menyamar menjadi Ali." suara anak buah Darma pelan. Ia berposisi berjongkok dan menunduk hormat."Berita yang membosankan sudah sana pergi!" teriak Darma menggelegar membuat seisi rumah mendengarnya."Tuan, saya belum selesai bicara." ucap anak buah Darma dengan keringat dingin di tubuhnya."Katakanlah!" teriak Darma dengan intonasi yang lebih kuat dari sebelumnya. Membuat anak buah Darma bernyali ciut. Ia hanya terdiam karena merasakan ketakutan."Katakan!" suara Darma semakin kuat, ia seperti singa yang ingin menerkam rusa."Anak Tuan yang bernama Franz menculik putri Menir rival abadi Tuan," suara gugup, ia bahkan tak berani melihat Tuannya."Apa! Franz jadi penculik?" tanya Darma sambil bangkit dari kursi kebesaraannya. Mungkin inilah berita te