Share

6. Sebutan Baru

Acara ijab kabul berlangsung dengan lancar. Kini Gauri bisa bernapas lega karena apa yang sempat mengganggu pikirannya tadi tidak terjadi. Wanita itu juga sudah tidak deg-degan lagi.

'Aku deg-degan pasti karena gugup dan takut bukan karena Kak Satya megang tanganku.' Pikir Gauri mengangguk pelan. Reaksi tubuhnya begitu berlebihan. Maklum saja Gauri memang kadang terserang rasa panik saat merasa gugup yang berlebihan.

Sekarang Gauri dan Satya harus menyapa para tamu yang datang. Walau tamu yang diundang juga tidak banyak hanya sanak saudara. Pasangan yang telah sah menjadi suami istri itu kini duduk di atas pelaminan menjadi raja dan ratu sehari. Beberapa tamu yang sudah memberikan selamat kini sedang menikmati hidangan.

"Bener ya, Si Gauri itu udah hamil?" tanya salah satu tamu yang sedang asyik berkumpul seraya menikmati hidangan di depan mereka.

"Katanya sih gitu," timpal yang lain dengan wajah julid mereka.

"Tapi kan Si Satya sudah hampir nikah sama Si Lia tapi dibatalin gitu aja."

"Mungkin Satya nyesel harus nikah sama orang lain padahal udah hamilin Gauri."

Spekulasi personal itu terus berlanjut tanpa henti. Begitulah jika orang-orang tidak tahu cerita yang sebenarnya, mereka akan mengeluarkan pendapat sendiri untuk menilai yang lambat laun justru menjadi sebuah fakta tak terbantahkan.

***

Malam pengantin Gauri dan Satya dihabiskan dengan mengobrol bersama kedua keluarga inti. Ayah dan Ibu Satya serta Ibu Gauri bersama kedua paman Gauri.

"Gauri pamit buat tidur duluan ya," kata Gauri pamit. Matanya sudah tidak bertahan lagi, ingin segera tertutup.

"Iya. Kamu tidur aja. Istirahat," ujar Maria mengelus lembut pundak Gauri. Kedua orang tua Satya hanya mengangguk sementara Satya hanya tersenyum tipis melihat Gauri mulai beranjak.

Gauri menghela napas pelan sesaat setelah dia sampai di kamarnya. Baru kali ini dia melihat kamarnya seramai ini. Dengan banyak hiasan bunga dan kain yang dibentuk sedemikian rupa. Wanita itu menggeleng pelan tak ingin ambil pusing. Dia membersihkan diri terlebih dahulu, shalat isya kemudian beranjak tidur.

Mungkin karena sudah terlalu lelah Gauri sudah tidak menyadari kedatangan Satya. Pria itu tersenyum lembut melihat istrinya sudah larut dalam mimpi. Kegiatan Satya tak jauh beda dengan Gauri. Hanya saja pria itu lebih lama saat berdoa. Sepertinya Satya punya banyak permintaan pada Allah.

Setelah selesai barulah Satya mengambil tempat di samping Gauri. Guling yang Gauri jadikan sebagai pembatas tak Satya pindahkan. Dia maklum Gauri tidak mungkin mau menganggapnya sebagai seorang suami sesungguhnya. Lagipula Satya juga tidak keberatan. Dia pun tidak akan menuntut apapun dari Gauri. Termasuk melayaninya seperti seorang istri.

Gauri terbangun saat adzan subuh berkumandang. 

"Udah bangun. Saya baru aja mau bangunin kamu," ujar Satya yang sudah lengkap dengan pakaian shalatnya.

Gauri tertegun beberapa saat menikmati pemandangan menghangatkan hati itu.

"Mau shalat bareng?" tanya Satya kemudian.

Gauri tersadar dan segera mengalihkan pandangannya. "Boleh. Aku ambil air wudhu dulu," jawabnya segera beranjak menuju kamar mandi.

Mereka pun shalat subuh bersama untuk pertama kalinya. Mungkin pernikahan yang terjadi karena sebuah perjanjian namun Gauri tetap mencoba untuk menghormati Satya sebagai seorang suami. Seperti mencium tangan Satya setelah mereka selesai berdoa.

"Kak Satya mau sarapan apa? Biar aku buatin," kata Gauri seraya melipat mukenanya.

"Saya akan makan apapun yang kamu sediakan," jawab Satya tanpa mengalihkan pandangannya dari Gauri.

"Baiklah," jawab Gauri kemudian berlalu setelah meletakkan mukenanya di atas meja.

Saat sampai di dapur, Gauri mendapati sang ibu sudah sangat sibuk dengan berbagai macam bahan makanan.

"Eh, pengantin baru udah bangun," kata Maria sebagai sebutan untuk putrinya.

"Iya, Bu. Baru aja selesai shalat subuh," jawab Gauri seraya melihat-lihat apa yang akan dimasak oleh ibunya.

"Oh gitu," kata Maria dengan nada yang membuat Gauri sedikit mengerutkan keningnya. 

"Kenapa nada bicara Ibu kayak gitu?" tanya Gauri dengan mata memicing. Terlebih saat sang ibu tertawa kecil. Gauri yakin jika ibunya sedang memikirkan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam pernikahan Gauri dan Satya.

Matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Nasi goreng ala Gauri dan Ibunya kini sudah tertata rapi di atas meja. Hanya tinggal menunggu anggota keluarga yang lain bangun dan ikut bergabung. 

Satya menjadi orang pertama yang datang ke arah meja makan. Pria itu terlihat begitu segar karena sudah mandi. Gauri jadi merasa kucel sendiri melihat suaminya sudah rapih.

"Wah! Kayaknya enak," ujar Satya dengan mata berbinar.

"Ayo, Nak. Dicicipin," ujar Maria pada menantunya. 

Satya mengangguk pelan kemudian duduk di samping Gauri. Dengan tanggap Gauri mengambil piring di depan Satya lalu mengisinya dengan nasi goreng.

"Ini Kak," ujar Gauri.

"Makasih," timpal Satya tersenyum senang mendapat perhatian kecil dari Gauri.

"Loh, Gauri, kok kamu manggil Satya dengan sebutan kakak sih?" 

Pertanyaan yang dilontarkan Maria membuat pasangan pengantin baru itu kompak menatapnya.

"Memangnya kenapa, Bu? Lagian aku memang selalu manggil Kakak ke Kak Satya," kata Gauri.

"Itu kan pas kalian pacaran. Sekarang kan udah nikah masa tetap manggil kakak," ujar Maria membuat putrinya bingung. Memang apa yang salah? "Harusnya kamu itu panggil Satya dengan sebutan sayang atau paling tidak Mas," lanjutnya.

"Uhuk ... uhuk ...." Satya sampai terbatuk di sana. Kaget tepatnya. 

Tidak jauh berbeda dengan Gauri. Wanita itu sampai menganga beberapa saat.

Melihat reaksi anak dan menantunya membuat Maria bingung. "Loh, kok kalian kayak kaget gitu?"

"Oh. Gak apa-apa kok, Bu. Terserah Gauri aja mau panggil saya Kakak atau Mas. Senyamannya aja," kata Satya berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.

"Gak bisa dong, Satya. Kalian itu udah nikah. Jangan panggil kakak atau adek, nanti ada yang salah paham loh." Maria masih kekeh dengan pendapatnya.

Gauri tahu sang ibu itu sangat keras kepala. Dia akan terus berusaha sampai kemauannya tercapai dengan kata-kata lembut yang sulit untuk dibantah.

"Iya, Bu. Mulai sekarang aku akan manggil Kak Satya dengan sebutan Mas," ujar Gauri pada akhirnya. Dia tidak ingin masalah sebutan saja akan membuat mereka berdebat.

Maria tersenyum bahagia di sana. "Nah, gitu dong," katanya dengan nada penuh kemenangan. "Ya udah kalian lanjut aja sarapannya, Ibu mau manggil paman sama bibi kalian dulu."

Maria kemudian berlalu meninggalkan Gauri dan Satya dalam kecanggungan.

"Kalau kamu gak suka gak usah manggil saya Mas. Gak apa-apa," kata Satya. Bukankah dia sudah mengatakan tidak ingin membuat Gauri terbebani? Sudah cukup dia membawa gadis itu dalam masalahnya, Satya tidak ingin berhutang budi terlalu banyak pada Gauri.

"Ibu bakalan marah kalau aku gak turutin apa maunya," timpal Gauri.

"Tapi, kalau kamu ...."

"Gak apa-apa kok. Gak usah diperpanjang," kata Gauri. "Atau justru kak Satya yang gak nyaman kalau seandainya aku panggil Mas?" Gauri balik bertanya.

"Gak kok, Gauri." Satya menjawab dengan cepat. Mereka saling menatap untuk beberapa detik lalu membuang muka setelahnya. "Malah saya sangat senang," kata Satya tersenyum malu-malu. Membayangkan Gauri akan memanggilnya panggilan Mas. Rasanya seperti puluhan kupu-kupu menggelitik perutnya.

Bahagia sekali.

Tbc.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status