Pak RT pulang dengan memasang wajah marah. Sementara mas Dasep tak memedulikan, dia langsung mengajakku berangkat ke rumah Pak Tisna."Mas, apa tadi tidak berlebihan? Pak RT kan tidak bersalah, yang curang itu kan Bu RT-nya. Tapi, tadi Mas terkesan menyalahkan Pak RT loh. Padahal, Pak RT datang untuk meminta maaf. Apa kita gak kelewatan memperlakukan tamu yang datang dengan niat baik ke rumah kita?"Di tengah perjalanan, kucoba berbicara dengan suamiku. Sekedar untuk mengingatkannya agar tak terlalu terbawa emosi ketika berbicara dengan orang lain."Ya memang bukan Pak RT yang melakukannya, tapi dia tetap bertanggungjawab atas kecurangan ini. Apalagi yang melakukan itu istrinya, keluarganya. Gak bisa dengan hanya meminta maaf lalu masalah selesai. Tetap, kita harus mengadu ke panitia, itulah yang seharusnya kita lakuka
"Yang ke dua apa, Husni?"Bapak Mertua bertanya karena Husni tak melanjutkan perkataaannya. Dia malah terdiam seperti tengah menyiapkan mental.Bapak Mertua pun tampak mulai menahan emosi karena mendengar Husni ingin menceraikan Mila."Yang ke dua ... ka—karena ... ibuku di Jakarta telah menjodohkanku dengan wanita lain," lanjut Husni dengan terbata.Berbeda dengan tadi saat menjelaskan alasan pertama, kali ini Husni terlihat ketakutan saat menjelaskan alasan yang ke dua.Tentu saja, kami semua yang mendengar tak hanya syok, tapi juga marah. Bagaimana bisa mertuanya Mila menjodohkan Husni yang masih sah menjadi suami Mila?!Bapak Mertua memukul dinding di sampingnya, sementara Mas Dasep menahan nap
"Bagaimana kalau Bibi?" usul Mas Dasep."Gak mungkin, Mas. Bibi kan jualan di terminal, dia juga sibuk."Sambil terus memikirkan siapa kira-kira orang yang bisa dipercaya untuk membantu mengurus usahaku, aku dan Mas Dasep terus mengerjakan pesanan hingga tak terasa kini semuanya sudah selesai dibungkus.Mas Dasep mencuci wadah dan membereskan dapur yang berantakan, sementara aku menyapu lantai.Di saat menyapu, aku teringat dengan masa-masa dulu saat pertama pindah ke desa ini. Waktu itu jualan orangtuaku di terminal masih sepi. Kadang untuk mendapatkan uang jajan, sebelum berangkat dan sepulang sekolah, aku selalu mampir di warung nasi Bu Aisyah untuk menyapu lantai di sana, dan aku mendapatkan upah. Dari situlah aku bisa mendapatkan uang jajan.&nb
Kejadian lagi. Ibu Mertua tidak peka dengan keadaanku. Padahal, baru saja Bapak berbicara tentang biaya persalinan, namun Ibu Mertua ribut ingin pinjam uangku lagi."Tiga juta saja ya, Bu. Semoga cukup. Maaf, aku hanya bisa beri segitu," jawabku."Tiga juta cukup beli apa, Mur? Ibu ingin jualan lengkap di warung, biar penuh gitu barang dagangannya, biar ramai pembeli. Masa tiga juta, nanggung," balas Ibu Mertua."Cukup kok, Bu. Aku aja pertama buka warung modal sejuta, lalu habis karena dipinjam. Yang kedua, aku modal dua ratus ribu, dan sampai sekarang malah semakin bertambah. Warungku penuh barang dagangan. Intinya bukan di modalnya, Bu, tapi mengelolanya."Aku coba memberikan pengertian pada Ibu Mertua. Namun, dia masih saja merajuk. "Jangan nasihatin orangtua, deh. Ibu dan kamu lebih pengalam
"Ikut ke mana, Neng Murni?" tanya Pak RT."Saya punya usaha jualan online dan warung kecil-kecilan di rumah. Kebetulan saya membutuhkan pegawai, saya mau ajak Azkia kerja di tempat saya," jawabku."Tapi Azkia masih usia sekolah, masih kecil. Kasihan kalau dia bekerja.""Lebih baik Azkia kerja daripada menikah di usia terlalu muda, Pak. Kasihan sekali, lagipula Azkia tidak mau menikah sekarang.""Saya sudah jodohkan Azkia dengan kenalan saya itu. Lebih baik Azkia menikah, dia tinggal mengurus rumahtangga dan mendapat nafkah, tidak perlu cape-cape kerja. Lebih baik seperti itu," balas Pak RT keukeuh dengan pendapatnya.Beginilah nasib seorang anak kecil yang sudah tak punya orangtua. Dia tak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri, mes
"Ya Alloh, Mas. Kalau benar ini tanah kuburan, kenapa bisa ada di atas tempat tidur kita? Siapa yang menaburkannya di sini? Apalagi tanah ini masih basah, dan bunga-bunga itu juga pasti bunga dari atas kuburan kan, Mas!""Sepertinya ini 'kerjaan' orang. Kamu yakin tadi siang gak ada yang masuk rumah kita? Jendela kamar gak dibuka?" Mas Dasep kembali mempertanyakan kesaksianku."Yakin, Mas. Jendela kamar selalu kututup kalau lagi jaga warung."Mas Dasep mengambil masker dari dalam lemari. Dia mengambilkannya untukku juga. Bau bunga semakin menyengat setelah kasur diangkat, jadi kami butuh masker untuk mengurangi baunya.Di lantai kamar, tanah kuburan yang tadi berjatuhan dari kasur mulai disapu oleh Mas Dasep. Ada cacing-cacing kecil juga yang menggeliat di tanah itu. Jijik
"Namanya Azkia, yatim piatu dari Desa Sindang. Mulai sekarang dia bekerja di sini," jawabku."Tak boleh kamu mempekerjakan seorang anak kecil, dia harusnya sekolah," balas Bu RT jutek dan dingin.Dari sikapnya, terlihat dia hanya ingin mempersukit urusanku saja, bukan karena benar-benar peduli pada Azkia."Azkia memang sudah putus sekolah, Bu. Lagipula, dia sudah cukup dewasa, bulan depan genap usia 17 tahun. Dia maunya kerja, nanti akan ngambil paket B dan C. Saya juga sudah bicarakan dengan RT di kampungnya, dan beliau mengizinkan. Karena, Azkia memang benar-benar butuh pekerjaan, dia hanya tinggal bersama neneknya yang sudah sangat sepuh," jelasku.Bu RT langsung mendelik, membuang muka dan melengos begitu saja. Padahal, aku hendak mempersilakannya duduk.
"Aduh, gimana ya, Bu. Warungku sekarang lagi sepi gak seperti biasanya. Takut kalau gak bisa bayar Mila nantinya," jawabku."Jualan sepi kan sudah biasa, nanti juga ramai lagi. Bilang aja kamu gak mau nerima Mila kerja denganmu." Ibu Mertua mendadak sinis.Memang salahku, tak berbasa-basi dulu menolaknya."Bukan begitu, Bu—""Sudah, kamu pecat saja anak itu," potong Ibu Mertua sambil matanya melirik Azkia di dapur. "Dia kan bukan siapa-siapa. Sedangkan Mila adik iparmu."Astaghfirulloh. "Maaf, Bu. Gak bisa, aku yang minta Azkia kerja di sini," kataku."Kok kamu begitu sih, lebih memihak ke orang lain daripada ke adik ipar sendiri?"